Jamaluddin Feeli

Arti dari khataman Nabiyyin

In Ahmadiyah on 21 Mei 2013 at 23:00

Arti dari khataman Nabiyyin

Dikompilasi dari berbagai tulas, hasil korespondensi di internet

ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN

Ayat KS Aquran (Quran Suci/QS) Surat Al Ahzab 33:40 A’udzubillah himinasy-syaithan

 

…… Maa kaana Muhammadun abaa ahadin minr rijaalikum wa laakinr rosuuulal laahi wa khaatamannabiyyin

Yang artinya Muhammad bukanlah Bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan Khaataman Nabiyyin, khatam-nya dari para nabi-nabi.

 

Ayat Khataman-Nabiyyin ini diturunkan di dalam rangkaian pembelaan dari Allah SWT kepada YM. Nabi Suci Muhammad Rasulullah s.a.w. atas tuduhan orang Arab Quraisy , bahwa pernikahan Rasulullah s.a.w dengan Hadhrat Siti Zainab, janda dari Zaid “anak angkat” Rasulullah s.a.w. yang dituduh mengawini janda menantunya sendiri. Tuhan menjawab cemoohan orang Quraisy terhadap Rasulullah s.a.w. yang melanggar tradisi berlaku pada saat itu yang tidak membolehkan orang mengawini janda bekas menantunya walaupun dari anak angkatnya, yang kedudukan anak angkat itu menurut adat kebiasaan orang Quraisy disamakan statusnya dengan anak sendiri.

Pada saat diturunkannya wahyu tentang Khaataman Nabiyyin tersebut, tidak pernah terpikir waktu itu oleh para sahabat Rasulullah s.a.w., bahwa khatam itu diartikan sebagai penutup untuk nabi-nabi, ini adalah berdasarkan keterangan dari YM. Rasulullah s.a.w. sendiri. Apalagi jika kita membaca keseluruhan ayat-ayat yang ada di dalam Rukuk ke-5 dari Surah Al Ahzaab ini bahkan di keseluruhan Surah al Ahzaab pun tidak ada disinggung satu pun indikasi yang berkenaan dengan inniy aakhirul-anbiya’ atau laa nabiyya ba’di; tetapi yang ada disebutkan di dalam surah ini Al Ahzaab ini adalah: Jangan engkau mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan orang munafik (ayat 1, dalam hal status anak angkat dll.), menjadikan istri-istrimu sebagai ibu dan anak-anak angkatmu sebagai anak sendiri (ayat 4), tetapi panggillah anak ini dengan nama bapak mereka (ayat 5), dan Kami pun mengatur pernikahan engkau dengan Zainab, yang janda dari Zaid anak angkat engkau itu; di mana sama sekali tidak ada sesuatu pun yang akan mencemarkan nama engkau, di mana engkau adalah Khaataman Nabiyyin.

Selain yang artinya penutup (yaitu khatim) ada banyak arti dari kata Khatam yaitu: Cincin, perhiasan (bagi yang memakainya), meterai, segel, yang membenarkan, yang paling afdhal, yang paling mulia, yang terbaik, sebagai pujian terutama kalau dikaitkan dengan kata benda plural / jamak, dan hanya sebagai penutup (khatim), terutama kalau dikaitkan dengan kata benda singular. Dalam tata bahasa Arab, kata Khaatam jika digandeng dengan kata jamak maka artinya bukan lagi terakhir atau penutup melainkan yang paling sempurna, paling afdhal. Contohnya:

  1. Nabi s.a.w. bersabda kepada Hadhrat Ali r.a. : Aku adalah khatam dari nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah khatamul aulia (khatam dari Wali-wali) (Tafsir Safi & Jalandari), benarkan Ali penghabisan dari wali-wali? Tentu bukan, karena di sini diartikan bahwa Hadhrat Ali sebagai yang paling mulia di antara wali-wali.
  2. Imam Safi’i r.h. (767-820) juga disebut “khaatam-ul auliya” (Al Tuhfatus-Sunniyya, hal. 45).
  3. Rasulullah s.a.w. berkata kepada Umar r.a.: Tenteramkanlah hatimu hai Umar, sesunguhnya engkau adalah khatamul Muhajjirin (sahabat yang mengikuti pindah ke Medinah yang paling afdhal) di dalam kepindahan ini, seperti aku khataman nabiyyin dalam kenabian. (Kanzul Umal).
  4. Dalam zaman-zaman berikutnya, kata khatam juga dipakai dalam arti sebagai yang paling nge-top (mulia):
  5. Imam Syech Muhammad Abdul dari Mesir ditulis sebagai Khatam Al-A’immah; Imam/Pemimpin agama (Tafsir Al-Fatihah halaman 148. Apakah tidak ada imam lainnya setelah Muhammad Abduh?
  6. Abu Tamaam At-Ta-i (804-805) ditulis oleh Hasan ibnu Wahab sebagai Khatimus-syuara (Ahli syair). (Dafiyaatul A’ayaan, vol. 1 hal 123, Kairo). Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi?
  7. Untuk Syekh Rasyid Ali Ridha ditulis sebagai Khatamul Mufasysyiriin (Al Jaami’atul Islamiyah 1354 H).
  8. Imam Suyuthi mendapat gelar khaatamu-ul- muhadditsin, ahli hadits (Hadya Al-Shiah, hal. 210).
  9. Aflatun ditulis sebagai Khatamul Hakim (Mirtusuruh hal. 38), Khatam Al-Hukkam.
  10. Tokoh-tokoh lainnya yang pernah ditulis/disebut sebagai Khatam Al-Kiram, Khatam Al-Wilayat (Muqaddimah Ibnu Khaldun hal. 271), Khatam Al-Jasinaniyyat, Khatam Al-Kamilin, Khatam Al-Asfiya, dalam sebutan sebagai yang paling afdhal, yang terbaik pujian terhadap seseorang yang dikagumi.

Arti kata Khatam sebagai penutup atau terakhir sebenarnya baru timbul di abad pertengahan, di mana ulama-ulama Medieval ini mulai mengartikan khataman nabiyyin itu sebagai nabi penutup dan nabi terakhir. Ada riwayat, bagaimana para ulama yang karena takutnya pada arti Khaatam sebagai yang paling afdhal, paling terbaik (kalau digabungkan dengan kata benda jamak/plural) , meterai, atau cincin, stempel, maka mereka dengan tidak takut-takutnya mempengaruhi pemerintah melalui Departemen Wakaf-nya, untukmerobah Kitab Suci Alquran, yaitu dengan merobah tulisan kata khatam dengan merobah tulisannya dengan kata khatim dalam Alquran yang diterbitkan- nya. Ini terjadi di Afrika pada tahun 1987, dan ada yang menunjukkannya kepada kita. Mereka ingin mengartikan kata khatam itu sebagai penutup dengan kata khatim, yang mereka pikir punya hak untuk menggantinya. Ini adalah perbuatan yang nyata-nyata campur-tangan terhadap keaslian KS. Alquran, hanya karena mereka takut kepada Ahmadiyah. Inilah gambaran keliru yang amat mengerikan sebagai usaha mereka untuk menyelamatkan diri dari pengaruh pendapat orang Ahmadi, mengenai arti dari kata khatam ini.

Kepercayaan tentang Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi terakhir memang pernah muncul dan sekarang kepercayaan yang demikian mestinya sudah lenyap kembali; kepercayaan mana adalah yang di-isukan oleh ulama dari zaman masa medieval (pertengahan) , bersamaan dengan kepercayaan bahwa, katanya Nabi Isa a.s. itu diangkat ke langit, dengan tubuh kasarnya dan akan turun kembali di akhir zaman.

Tentang penggunaan kata khatam yang berarti termulia, tertinggi dan sebagainya dalam berbagai istilah dalam bahasa Arab lainnya dapat dilihat pada beberapa kata di bawah ini:

  1. KHATAM-USH-SHU’ARAA (seal of poets) was used for the poet Abu Tamam. (Wafiyatul A’yan, vol. 1, p. 23, Cairo).
  2. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Tayyeb. (Muqaddama Deewanul Mutanabbi, Egyptian p.4)
  3. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul ‘Ala Alme’ry. (ibid, p.4, footnote).
  4. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Shaikh Ali Huzain in India. (Hayati Sa’di, p. 117.)
  5. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Habeeb Shairaazi in Iran. (Hayati Sa’di, p. 87) Note here that all five people have been given the above title. How could it be interpreted as “last”. They did not come and go at the exact same time.
  6. KHATAM-AL-AULIYAA (seal of saints) for Hazrat Ali (May God be pleased with him). (Tafsir Safi, Chapter AlAhzab) Can no other person now attain wilaayat, if “seal” meant last?
  7. KHATAM-AL-AULIYAA used for Imam Shaf’ee. (Al Tuhfatus Sunniyya, p. 45).
  8. KHATAM-AL-AULIYAA used for Shaikh Ibnul ‘Arabee. (Fatoohati Makkiyyah, on title page).
  9. KHATAM-AL-KARAAM (seal of remedies) used for camphor. (Sharah Deewanul Mutanabbee, p. 304) Has no medicine been found or used after camphor, if “seal” means “last”?
  10. KHATAM-AL-A’IMMAH (seal of religious leaders) used for Imam Muhammad ‘Abdah of Egypt. (Tafseer Alfatehah, p. 148) Don’t we have leaders today?
  11. KHATAM-ATUL-MUJAHIDEEN (seal of crusaders) for AlSayyad Ahmad Sanosi. (Akhbar AlJami’atul Islamiyyah, Palestine, 27 Muharram, 1352 A.H.)
  12. KHATAM-ATUL-ULAMAA-ALMUHAQQIQEEN (seal of research scholars) used for Ahmad Bin Idrees. (Al’Aqadun Nafees)
  13. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN (seal of researchers) for Abul Fazl Aloosi. (on the title page of the Commentary Roohul Ma’aanee)
  14. KHATAM-AL-MUHAQQIQEEN used for Shaikh AlAzhar Saleem Al Bashree. (Al Haraab,  p. 372)
  15. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Imam Siyotee. (Title page of Tafseerul Taqaan)
  16. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN (seal of narrators) for Hazrat Shah Waliyyullah of Delhi.  (‘Ijaalah Naafi’ah, vol. 1)
  17. KHATAMAT-AL-HUFFAAZ (seal of custodians) for AlShaikh Shamsuddin. (AlTajreedul Sareeh Muqaddimah, p. 4) A “hafiz” is one who has memorised the full arabic text of the Holy Quran. Two of my cousins happen to belong to this category and more people will memorize it.
  18. KHATAM-AL-AULIA (seal of saints) used for the greatest saint. (Tazkiratul Auliyaa’, p. 422)
  19. KHATAM-AL-AULIA used for a saint who completes stages of progress. (Fatoohul Ghaib,  p. 43)
  20. KHATAM-ATUL-FUQAHAA (seal of jurists) used for Al Shaikh Najeet. (Akhbaar Siraatal Mustaqeem Yaafaa, 27 Rajab, 1354 A.H.)
  21. KHATAM-AL-MUFASSIREEN (seal of commentators or exegetes) for Shaikh Rasheed Raza. (Al Jaami’atul Islamia, 9 Jamadiy thaani, 1354 A.H.)
  22. KHATAM-ATUL-FUQAHAA used for Shaikh Abdul Haque. (Tafseerul Akleel, title page)
  23. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN (seal of researchers) for Al Shaikh Muhammad Najeet. (Al Islam Asr Shi’baan, 1354 A.H.)
  24. KHATAM-AL-WALAAYAT (seal of sainthood) for best saint. (Muqaddimah Ibne Khuldoon, p. 271)
  25. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN WAL MUFASSIREEN (seal of narrators and commentators) used for Shah ‘Abdul ‘Azeez. (Hadiyyatul Shi’ah, p. 4)
  26. KHATAM-AL-MAKHLOOQAAT AL-JISMAANIYYAH (seal of bodily creatures) used for the human being. (Tafseer Kabeer, vol. 2, p. 22, published in Egypt)
  27. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Shaikh Muhammad Abdullah. (Al Rasaail Naadirah, p. 30)
  28. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Allaama Sa’duddeen Taftaazaani. (Shara’ Hadeethul Arba’een, p. 1)
  29. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Ibn Hajrul ‘Asqalaani. (Tabqaatul Madlaseen, title page)
  30. KHATAM-AL-MUFASSIREEN (seal of commentators) used for Maulvi Muhammad Qaasim. (Israare Quraani, title page)
  31. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN (seal of narrators) used for Imam Siyotee. (Hadiyyatul Shee’ah, p. 210)
  32. KHATAM-AL-HUKKAAM (seal of rulers) used for kings. (Hujjatul Islam, p. 35)
  33. KHATAM-AL-KAAMILEEN (seal of the perfect) used for the Holy Prophet (pbuh). (Hujjatul Islam, p. 35)
  34. KHATAM-AL-MARAATAB (seal of statuses) for status of humanity. (‘Ilmul Kitaab, p. 140) We have the “highest, not “last” status.
  35. KHATAM-AL-KAMAALAAT (seal of miracles) for the Holy Prophet (pbuh). (ibid, p. 140)
  36. KHATAM-AL-ASFIYAA AL A’IMMAH (seal of mystics of the nation) for Jesus (peace be on him). (Baqiyyatul Mutaqaddimeen, p. 184)
  37. KHATAM-AL-AUSIYAA (seal of advisers) for Hazrat Ali (R.A.A.). (Minar Al Hudaa, p. 106)
  38. KHATAM-AL-MU’ALLIMEEN (seal of teachers/scholars) used for the Holy Prophet(pbuh). (Alsiraatul Sawee by Allama Muhammad Sabtain  Now, I am a teacher myself, and you know that I still exist, AFTER the Holy Prophet (pbuh), but I am nowhere close to being able to teach as PERFECTLY as he could or did. How then could he be “last” of teacher Seal means “best” here and not “last”.
  39. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN (seal of narrators) for Al Shaikhul Sadooq. (Kitaab Man Laa Yahdarahul Faqeeh)
  40. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN used for Maulvi Anwar Shah of Kashmir. (Kitaab Raeesul Ahrar, p. 99)

 

Pendapat lainnya tentang masih berlanjutnya pintu Kenabian dalam Islam dapat dilihat dari berbagai hadits dan ulama berikut ini:

1. “Katakanlah bahwa beliau (Rasulullah s.a.w.) adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi).

2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada Nabi sesudahnya)” (Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, hlm.5).

3. Rasulullah s.a.w. adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka (lihat Syarh Zurqani oleh Imam Muhammad ibn `Abdul Baqi al-Zurqani, dan Syarah Mawahib al-Laduniyyah oleh Syihab-ud-Din Ahmad Qastalani).

4. Berkata Sheikh Muhyiddin Ibnu Arabi: “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku. Maka tidaklah nubuwat itu terangkat seluruhnya. Karena itu kami mengatakan sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i (kenabian yang pakai syariat), maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.(Futuhatul Makkiyah, jilid II halaman 73).
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi r.h. dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis: “Inilah arti dari sabda Rasulullah s.a.w., “Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada Rasul dan Nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan Syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah Syari’atku.” (Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3) Imam Muhammad Thahir Al-Gujarati berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan mebatalkan syariat beliau”….(Takmilah Majmaul Bihar, halaman 85).

5. Mulla ‘Ali Al-Qari berkata: “Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat “khaatamannabiyin” karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau dan nabi yang bukan dari umat beliau”….. .(Maudhuat Kabir, halaman 59).

6. Nawwab Siddiq Hasan Khan menulis: “Benar ada hadist yang berbunyi “la nabiyya ba’di” artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang menasikhkan/ membatalkan syariatku”.. …(Iqtirabussa’ ah, halaman 162).

7. Imam Sya’rani berkata:”Dan sabda Nabi Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul sesudahku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat”…. (Al-Yawaqit wal Jawahir, jilid II halaman 42).

8. Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata:”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad SAW ‘khaatamannabiyyin” …..(Al- Insanul Kamil halaman 66).

9. Sayyid Waliuyullah Muhaddist Al-Dahlawi berkata:” Dan khaatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia”…. (Tafhimati Ilahiyah, halaman 53).

10. Imam Suyuti berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa apabila turun nanti pangkatnya sebagai Nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya. Maka dia (Isa yang dijanjikan) sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad SAW, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula”…..(Hujajul Kiramah , halaman 31 dan 426).

11. Imam Abdul Wahab Asy-Syarani r.h. berkata: “Dan sabda Nabi s.a.w.: “tidak ada Nabi dan Rasul sesudah aku, adalah maksudnya: tidak ada lagi Nabi sesudah aku yang membawa Syari’at.”
(Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42).

12. Imam Thahir Al Gujrati berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada Nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi Nabi yang akan membatalkan Syari’at beliau.” (Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85).

13. Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan: “Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah s.a.w.. Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas ‘alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-Nabiyyiin . Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah s.a.w. tidak dapat lagi datang Nabi lain yang membatalkan Syari’at beliau s.a.w. dan bukan ummati beliau s.a.w.” (Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69).

14. Peristiwa wafatnya Ibrahim (putera Rasulullah dari Maria Qibtiyah) tercatat sebagai berikut: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah s.a.w. wafat, beliau menyembahyangkan jenazahnya dan berkata, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” (Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Alqazwaini, Darul Fikr, jld. II, hlm. 484, Hadits no. 1511).Peristiwa wafatnya Ibrahim terjadi pada tahun 9 H, sedangkan ayat “khaataman-nabiyyiin” diturunkan pada tahun 5 H. Jadi, ucapan beliau mengenai Ibrahim sebagaimana ditemukan dalam Hadits itu adalah 4 tahun kemudian setelah beliau menerima ayat “khaataman-nabiyyiin.” Jika ayat “khaataman-nabiyyii n” diartikan sebagai “penutup / sesudahan / penghabisan /akhir” nabi-nabi yaitu tidak boleh ada nabi lagi apa pun juga setelah beliau s.a.w., maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia tidak akan pernah menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Nabi s.a.w-lah yang menerima wahyu, jadi beliaulah yang paling mengetahui arti/makna wahyu yang diterimanya.

15. Dalam Kitab Nuzulul Masih, Imam Jalaluddin Assuyuti rh (Mujaddid abad
IX) menyatakan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa tidak ada lagi
wahyu setelah nabi Muhammad saw adalah Palsu.

Kini pertanyaannya adalah apakah ada Ulama Salaf yang menafsirkan kalimat “Khaataman Nabiyyin” dalam Al Qur’an dengan mengikuti kaidah tata bahasa Arab di atas? Mengingat tafsir yang dipopulerkan oleh para Ulama saat ini terhadap kalimat Khaataman Nabiyyin yang didasarkan atas klaim ijma’ seluruh Ulama adalah penutup para Nabi dalam arti tiada lagi akan ada Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Berikut adalah penafsiran dari beberapa Ulama Salaf :

1. Umayyah bin Abi Salt dlm Kitab Diwan hal 24 menulis mengenai Khaataman nabiyin : “Dengannya (Rasulullah saw) telah dicap/stempel para nabi sebelum maupun sesudahnya”.

2. Abu Ubaidah (wafat 209 H) ketika mengomentari Khair Al Khawatim dlm Naqa’id ibn Jarir dan Faradzaq tentang rasulullahsaw sebagai khaataman nabiyyin : “Nabi saw adalah Khaatam al Anbiya, yaitu sebaik-baik para nabi”.

3. Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al Qaisi (wafat 339 H) dlm mengomentari kitab Hasyimiyyat karangan Al Kumait berkata : “Barang siapa mengatakan Khaatim al anbiya, maka ia adalah dengannya para nabi di cap/stempel, dan barang siapa yg mengatakan Khaatam al anbiya, maka ia adalah sebaik-baik para nabi. Dikatakan” Fulan khaatam kaumnya”, yakni ia adalah terbaik dari antara mereka”.

4. Allamah Al Zarqani menulis dlm Syarah Al Mawahib Al Laduniyah Juz III, hal 163, bahwa jika khatam dibaca dengan baris di atas ta sebagaimana tersebut dlm Al Qur’an (al ahzab 40), maka artinya : “sebaik-baik para nabi dlm hal kejadian dan dalam hal akhlak”.

5. Imam Mulla Ali al Qari menulis dlm kitabnya Al Maudhu’at hal.59 tentang Khaatam Al Nabiyyin : “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yg akan memansukhkan agama Islam dan yg bukan dari umat beliau”.

6. Syekh Abdul Qadir Al Jaelani r.a. dlm Kitab ” Al Insanul Kamil” cetakan Mesir, bab 33, hal 76 menulis : “Kenabian yg mengandung sya’riat baru sudah putus. Nabi Muhammad adalah “Khaataman nabiyyin”, ialah karena beliau telah membawa syari’at yg sudah sempurna dan tiada ada seorang Nabi pun dahulunya yg membawa syariat yg begitu sempurna”.

7. Ibnu Khuldun telah menulis dalam mukadimah tarikh-nya hal 271 : “Bahwa ulama-ulama Tasawuf mengartikan “Khaataman Nabiyyin” begini; yakni Nabi yg sudah mendapat kenabian yg sempurna dalam segala hal”.

8. Syekh Abdul Qadir Al Karostistani r.a. menulis : ” Adanya beliau saw Khaataman nabiyyin maknanya ialah sesudah beliau tidak akan ada nabi diutus dengan membawa syariat lain”. (Taqribul Muram, jld 2, hal 233).

9. Hazrat Sufi Muhyidin Ibn Arabi menulis : “Nubuwat dan Risalah Tasyri’i ( pembawa Syariat) telah tertutup, oleh karena itu sesudah Rasulullah saw tidak akan ada lagi Nabi pembawa/penyandang Syari’at….kecuali demi kasih sayang Allah untuk mereka akan diberlakukan Nubuwat umum yg tidak membawa syariat” (Fushushul Hakam, hal 140-141). Lagi beliau menulis dalam Futuhat al makiyyah Juz 2 : ” Berkata ia : Yakni tidak ada Nabi sesudahku yg berada pada syariat yg menyalahi syariatku , Sebaliknya apabila nanti ada (Nabi) maka ia akan berada di bawah kekuasaan syariatku”.

10. Syekh Muhammad Thahir Gujarati menulis : “Sesungguhnya yg beliau kehendaki ialah tidak ada Nabi yg mengganti syari’at beliau”. (Takmilah Majma’il Bihar, hal 85).

11. Siti Aisyah r.a. bersabda : “Hai, orang-orang kalian boleh mengatakan Khaatamul anbiya, tapi jangan mengatakan setelah beliau tidak ada lagi nabi”. (Tafsir Darul Mantsur Imam As Suyuthi, Jld V, hal.204).

12. Hz. Abdul Wahab Sya’rani (Wafat 976H) menulis : “Ketahuilah bahwa kenabian mutlak tidak tertutup, hanya kenabian syar’i (yg membawa syariat) yg telah tutup”. (Al Yawaqit wal Jawahir, jld 2,h.35)

Dari keterangan di atas maka bisa disimpulkan bahwa penafsiran Khaataman Nabiyyin sebagai Penutup Kenabian (jenis apapun) bukanlah satu-satunya penafsiran. Para penafsiran Ulama Salaf di atas menerangkan bahwa:

1. Khaatamun Nabiyyin adalah pangkat / derajat kenabian tertinggi (tersempurna) yang dikaruniai oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw.

2. Kesempurnaan ini juga terkait dengan nikmat syariat yang beliau bawa yaitu Islam.

3. Tidak ada Nabi lagi yang akan datang yang akan melampaui atau bahkan membatalkan kesempurnaan derajat dan syariat beliau (Beliau saw penutup Kenabian Syar’i).

4. Tidak semua jenis kenabian tertutup, hanya kenabian yang membawa syariat yang tertutup.

5. Jika ada Nabi yang datang maka akan tunduk dalam syariat Islam dan berasal dari umatnya.

http://kodokpurba.wordpress.com/2008/06/16/arti-dari-khataman-nabiyyin/

 

Menteri Agama Menangis, Saat 20 Anggota Jemaah Ahmadiyah Tasikmalaya Ucapkan Syahadat

In Ahmadiyah on 21 Mei 2013 at 22:30

Ttg Berita Keluarnya Anggota Jema’at Tasikmalaya. “Ass.Wr.Wb. Hari ini di brbgai media massa tlh dimuat pmberitaan tlh keluarnya warga Ahmadi di Tasikmalaya sbnyk 20 org di Masjid Agung Pemda Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat pada saat kunjungan SDA/Surya Dharma Ali (Menteri Agama). Dgn ini kami smpikn dan britahukn kpd smuanya, bhw pmberitaan itu TDK BENAR, tdk ada org2 ahmadi yg mnyatakn keluar. Dan smpi saat ini kami tdk mndpat adanya laporan apapun dari masing2 Pengurus Jemaat Lokal di Wilayah Priatim perihal tsbt. Mohon hal ini di smpikn pada anggota Jema’at lainnya. Jzkmllh. Wass. Mln. Asep Jamaluddin, Mubwil Priangan Timur”. Wassalam-Dendi Ahmad Daud/Pengasuh.

Menteri Agama Menangis, Saat 20 Anggota Jemaah Ahmadiyah Tasikmalaya Ucapkan Syahadat

In Ahmadiyah on 21 Mei 2013 at 22:24

Ttg Berita Keluarnya Anggota Jema’at Tasikmalaya. “Ass.Wr.Wb. Hari ini di brbgai media massa tlh dimuat pmberitaan tlh keluarnya warga Ahmadi di Tasikmalaya sbnyk 20 org di Masjid Agung Pemda Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat pada saat kunjungan SDA/Surya Dharma Ali (Menteri Agama). Dgn ini kami smpikn dan britahukn kpd smuanya, bhw pmberitaan itu TDK BENAR, tdk ada org2 ahmadi yg mnyatakn keluar. Dan smpi saat ini kami tdk mndpat adanya laporan apapun dari masing2 Pengurus Jemaat Lokal di Wilayah Priatim perihal tsbt. Mohon hal ini di smpikn pada anggota Jema’at lainnya. Jzkmllh. Wass. Mln. Asep Jamaluddin, Mubwil Priangan Timur”. Wassalam-Dendi Ahmad Daud/Pengasuh.