Jamaluddin Feeli

Archive for Oktober, 2009|Monthly archive page

Ghulam Ahmad : Riwayat Pendiri Ahmadiyah (Bagian 3) Oleh HM.Basyiruddin. MA

In Ahmadiyah, Ahmadiyah, Ghulam Ahmad, Imam Mahdi, Isa, Isa Yang Dijanjikan, Khalifah II, Masih Ma'ud, Tabligh, Tarbiyat on 31 Oktober 2009 at 16:47

Pidato Lahore

Selama dalam perkara yang berlarut-larut di Gurdaspur, Hazrat ahmad as. pernah melakukan perjalanan penting. Pertama pada bulan Agustus 1904, beliau as. pergi ke Lahore untuk 15 hari lamanya. Orang datang berduyun-duyun untuk menjenguk beliau as.. Setiap hari di dekat tempat tinggal beliau, orang-orang pada berkumpul ramai. Para musuh beliau pun datang untuk membuat keributan dan mencaci maki beliau. Ada seseorang yang lolos menembus dan masuk ke dalam rumah, sehingga terpaksa dikeluarkan dengan cara kekerasan.

Atas permintaan saudara-saudara di Lahore, Hazrat Ahmad as. menyusun sebuah pidato yang kemudian dicetak dalam bentuk buku. Pidato ini dibacakan oleh Hz. Mlv. Abdul Karim Sialkoti dalam sebuah pertemuan besar yang dihadiri oleh sekitar 8000 orang. Hazrat Ahmad as. sendiri hadiir pada acara itu. Setelah selesai dibacakan, hadirin minta supaya beliau as. juga menyampaikan beberapa ucapan dari mulut suci beliau sendiri. Oleh karena itu Hazrat Ahmad as. berdiri dan berbicara dengan ringkas selama setengah jam.

Pengalaman yang berulang-ulang telah menyatakan bahwa di setiap tempat yang beliau as. kunjungi, orang-orang dari berbagai agama — terutama dari kalangan yang menamakan diri sebagai Muslim — bangkit untuk melawan dan memperlihatkan kebencian mereka pada Hazrat Ahmad as.. Maka para pejabat polisi telah mengatur dengan sebaik-baiknya. Polisi pribumi maupun polisi Eropa dengan senjata lengkap telah mengawal acara itu. Pejabat Polisi telah mendapat kabar terlebih dahulu bahwa beberapa orang yang tidak bertanggung jawab telah berkumpul di luar tempat pertemuan, sengaja untuk menimbulkan keributan. Maka polisi pun telah mengatur kepulangan beliau secara khusus dengan selamat. Di bawah pengawalan yang ketat, di depan dan di belakang serta di tengah-tengah kendaraan, Hazrat Ahmad as. pulang ke tempat beliau menetap. Orang-orang berniat jahat itu tidak berhasil melaksanakan apa yang mereka rencanakan. Dari sana Hazrat Ahmad as. kembalii lagi ke Gurdaspur.

Pidato Sialkot

Pada akhir Oktober 1904, Hazrat Ahmad as. mendapat sedikit kelonggaran dari urusan perkara di Gurdaspur untuk pulang ke Qadian. Pada tanggal 27 Oktober 1904, beliau berangkat ke Sialkot atas permintaan saudara-saudara Ahmadi disana. Mereka mengemukakan bahwa dahulu ketika masih muda beliau pernah beberapa tahun tinggal di Sialkot, maka sekarang pun setelah mendapat kemajuan yang begitu mulia, beliau dimohon mengunjungi tempat itu untuk memberkatinya.

Perjalanan ini pun membuktikan kemenangan Hazrat Ahmad as.. Di setiap stasiun, luar biasa banyaknya orang yang berkumpul untuk menjumpai beliau. Begitu banyaknya masa sehingga begitu sulit dikendalikan oleh petugas stasiun. Di stasiun Lahore karcis masuk ke stasiun habis sama sekali, dan terpaksa kepala stasiun mengizinkan orang-orang masuk tanpa karcis.

Ketika Hazrat Ahmad as. tiba di Sialkot, mulai dari stasiun sampai ke tempat penginapan beliau, lebih satu pal panjangnya penuh sesak oleh khalayak ramai yang ingin menyaksikan kedatangan beliau as.. Kereta api tiba di stasiun hampir malam, dan karena banyaknya penumpang yang mencari kendaraan untuk pergi ke tempat masing-masing, maka beliau as. terlambat. Dan kendaraan beliau aas. baru jalan sedikit, malam sudah gelap betul. Karena banyaknya orang dan kegelapan malam — dikhawatirkan ada yang dapat tergilas roda kendaraan — maka polsi mengambil tindakan penertiban yang perlu, untuk melapangkan jalan agar kendaraan beliau as. dapat berjalan dengan lancar.

Seorang hartawan dari Sialkot disertai seorang jaksa ditetapkan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut, dan mereka mengatur jalan-jalan dengan susah payah. Kendaraan-kendaraan pun jalan dengan sangat perlahan, dan jendela-jendelanya dibiarkan terbuka. Jalanan di kiri kanan penuh oleh manusia, dan banyak pula yang tidak dapat tempat berdiri sehingga terpaksa naik ke atap-atap rumah dan jendela.

Orang-orang Hindu dan Muslim menunggu-nunggu kedatangan Hazrat Ahmad as. Dengan menyalakan lampu-lampu malam itu. Banyak yang menggunakan obor besar untuk melihat wajah beliau as.. Dan ada pula yang menaburkan bunga kepada beliau as..

Di Sialkot, Hazrat Ahmad as tinggal selama 5 hari. Dan selain tabligh kepada orang-orang yang datang menjumpai beliau di rumah, beliau as. mengadakan pidato dalam pertemuan terbuka. Ketika berita tentang pidato tersebut disiarkan, maka para ulama di Sialkot pun berusaha keras agar masyarakat menambahkan fatwa: barangsiapa mendengarkan pidato beliau as. maka nikahnya akan batal.

Para ulama itu tidak berhenti sampai disitu saja, malah mereka mengumumkan akan menyelenggarakan ceramah-ceramah tandingan dari beberapa ulama di depan bangunan tempat Hazrat Ahmad as. akan menyampaikan pidato beliau as. dan tertahan di luar saja. Selain itu ditugaskan pula beberapa orang dipintu-pintu tempat rapat itu untuk melarang orang-orang masuk dan menjelaskan bahwa mendengarkan pidato Hazrat Ahmad as. adalah dosa.

Memang ada yang benar-benar dipaksa agar pergi ke tempat para ulama itu berpidato. Meskipun demikian, ketika mendengar kabar Hazrat Ahmad as. telah tiba di tempat yang telah ditentukan, maka banyak orang yang lari meninggalkan pidato para ulama tersebut, lalu masuk mendengarkan pidato yang disampaikan oleh Hazrat Ahmad as. sehingga para pegawai pemerintah yang pada hari itu tidak cuti sekali pun, telah merasa perlu menghadiri pidato beliau as. atas kemauan mereka sendiri.

Pidato Hazrat Ahmad as. tersebut telah dicetak dalam bentuk buku dan dibacakan oleh Hz. Mlv. Abdul Karim Sialkoti. Ada juga beberapa orang yang hendak menimbulkan keributan ketika pidato dibacakan, tetapi seorang pejabat polisi Eropa dapat mengendalikan mereka dengan bijaksana. Pejabat itu menjelaskan :

“Orang-orang Islam tidak perlu gelisah atau gusar atas pidato Mirza Ghulam Ahmad. Karena, pidato ini adalah untuk membela agama Islam serta untuk memuliakan Nabi Muhammad. Justru orang-orang Kristen lah yang berhak untuk merah dan gusar hati, karena pidato-pidato Mirza Ghulam Ahmad ini menyatakan bahwa Tuhan orang Kristen (Jesus) telah wafat.”

Pendeknya, karena kecakapan polisi, tidak ada keributan maupun huru-hara yang timbul. Satu hal yang istimewa dalam pidato ini adalah, pertama kali Hazrat Ahmad as.menyatakan diri sebagai Khrisna untuk menyempurnakan keterangan-keterangan bagi orang-orang Hindu.

Sesudah pidato itu, ketika Hazrat Ahmad as. menuju ke tempat tinggal beliau as., ada beberapa orang yang hendak melemparkan batu. Tetapi kejadian itu pun dapat dicegah oleh poliisi. Begitu pula pada hari kedua, ketika beliau as. berangkat pulang dari Sialkot, karena upaya polisi, tidak ada kejadian yang buruk. Orang-orang yang ingin memudaratkan beliau as. tidak mendapat kesempatan. Lalu beberapa orang dari mereka pergi ke pinggir kota di tepi rel kereta api, dan melempari kereta api itu dengan batu. Tetapi selain beberapa kaca yang pecah, tidak ada seorang pun yang terluka.

Mlv. Abul Karim Sialkoti Wafat & Pendidikan Ulama

Seorang murid mukhlis Hazrat Ahmad as. bernama Mlv. Abdul Karim Siialkoti — yang selalu membacakan pidato beliau as. pada beberapa acara besar — setelah lama sakit, wafat pada tanggal 11 Oktober 1905.

Hazrat Ahmad as. memberi anjuran untuk membuka sebuah lembaga pendidikan berbahasa Arab di Qadian untuk mempersiapkan orang-orang yang pandai dan alim dalam agama Islam. Sehingga para alim ulama yang wafat dapat digantikan oleh mereka.

Perjalanan ke Delhi

Beberapa hari setelah wafatnya Mlv. Abdul Karim Sialkoti ra., Hazrat Ahmad as. berangkat ke Delhi untuk 15 hari lamanya. Delhi pada kali ini tidaklah seperti Delhi 15 tahun lalu yang kacau, namun tidak pula kosong dari keributan atas kedatangan beliau as.. Selama 15 hari di Delhi itu, beliau as. tidak mengadakan pidato di hadapan umum di tempat terbuka. Tetapi di rumah tempat beliau menetap, hampir setiap hari beliau as. mengadakan ceramah-ceramah yang dapat dihadiri oleh 250 orang pada satu waktu, berhubung tempatnya sempit.

Satu dua hari ada juga orang-orang yang ingin menimbulkan keributan. Bahkan suatu hari mereka datang dengan niat menyerang rumah dimana Hazrat Ahmad as. menetap. Tetapi semua kejadian ini jauh berbeda dari kedatangan beliau as. yang pertama ke Delhi dahulu.

Kunjungan ke Ludhiana dan Amritsar

Ketika kembali, Jemaat Ahmadiyah di Ludhiana memohon agar Hazrat Ahmad as. singgah d Ludhiana untuk satu dua hari. Disana beliau as. menyampaikan sebuah pidato di hadapan umum yang mendapat cukup perhatian.

Kemudian datang permintaan dari Jemaat Ahmadiyah Amritsar agar beliau sudi pula datang ke Amritsar. Hazrat Ahmad as. memenuhi permintaan mereka, dan dari Ludhiana beliau singgah di Amritsar. Disana telah direncanakan agar beliau menyampaikan sebuah pidato di hadapan umum.

Di Amritsar banyak pihak yang memusuhi Jemaat Ahmadiyah. Dan saat itu para ulama yang mempunyai pengaruh besar menghasut masyarakat umum untuk menimbulkan keributan dan kekacauan. Pada hari pidato akan diselenggarakan, pihak musuh telah berniat mengacaukan suasana supaya pidato beliau as. tidak jadi diselenggarakan disana.

Ketika Hazrat Ahmad as. tiba di tempat acara pidato itu, tampak banyak para ulama mengenakan jubah-jubah panjang berdiri di pintu gedung. Mereka menghasut masyarakat untuk menentang beliau as.. Banyak orang membawa batu. Hazrat Ahmad as. terus masuk ke dalam gedung tempat diselenggarakannya pidato itu dan mulai menyampaikan pidato beliau, supaya orang-orang tidak berkesempatan untuk mencela.

Pidato baru saja berlangsung dua menit, lalu ada orang yang meletakkan secangkir teh di depan Hazrat Ahmad as.. Pada waktu itu tenggorokan beliau as. sakit, dan kalau minum sedikit dan berulang-ulang tentu akan meredakan sakit tenggorokan itu. Beliau as. memberi isyarat dengan tangan supaya tidak diberi teh, tetapi mengingat sakit tenggorokan beliau itu orang-orang tersebut tetap saja menaruh teh di hadapan beliau. Kemudian Hazrat Ahmad as meminum sedikit air teh tersebut. Sedangkan waktu itu Ramadhan, bulan puasa. Maka para ulama pun ribut menyatakan bahwa Hazrat Ahmad as bukan orang Islam, sebab tidak puasa pada bulan Ramadhan.

Hazrat Ahmad as. menjawab, menurut firman Allah dalam Al-Quran, orang-orang sakit dan bepergian tidak perlu berpuasa, melainkan apabila sudah sehat atau kembali dari perjalanan, barulah boleh berpuasa. Sedangkan beliau sendiri dalam keadaan sakit serta dalam perjalanan.

Tetapi mereka yang telah emosi itu tidak mau memperhatikan penjelasan beliau. Kekacauan semakin meningkat, polisi pun tidak dapat mengendalikan suasana. Melihat keadaan itu, Hazrat Ahmad as. duduk dan meminta orang lain untuk membacakan syair-syair dengan suara merdu. Hal itu berhasil juga menentramkan khalayak ramai. Kemudian beliau as. kembali berdiri dan meneruskan pidato beliau. Namun para ulama kembali ribut dan mulai menyerang ke arah mimbar, dan polisi yang sedikit itu tidak mampu mengendalikan ribuan orang yang maju seperti ombak itu. Karena pihak keamanan tidak berdaya lagi, Hazrat Ahmad as. pun menghentikan pidato beliau. Tetapi kekacauan tidak berhenti, dan mereka terus membuat keributan.

Para pejabat polisi meminta agar Hazrat Ahmad as. pindah ke ruangan lain, dan memerintahkan para petugas untuk segera mendatangkan kendaraan yang tertutup. Polisi mencegah orang-orang masuk ke ruangan yang ditempati Hazrat Ahmad as., dan dari pintu yang lain telah didatangkan kendaraan tersebut. Beliau pun keluar menaiki kendaraan itu, dan orang-orang yang mengadakan keributan tersebut mengetahui bahwa beliau akan berangkat, maka mereka serentak keluar dari gedung dan menyerbu ke arah kendaraan beliau.

Seorang dari mereka menyerang Hazrat Ahmad as. dengan tongkat besar. Tetapi seorang murid beliau as. menghalangi, dan pintu kendaraan yang masih terbuka justru menghalangi tongkat tersebut, sehingga murid beliau itu hanya mengalami luka ringan saja. Sekiranya tidak demikian, tentu orang itu akan mengalami luka parah.

Kendaraan terus berangkat membawa Hazrat Ahmad as.. namun pihak penentang terus saja melempari batu dari kiri dan kanan. Meski jendela kendaraan itu telah ditutup, lemparan-lemparan batu membuatnya terbuka lagi. Kami yang duduk dalam kendaraan itu menutup kembali jendela-jendela dan menahannya dengan tangan. Namun lemparan-lemparan batu itu cukup kuat sehingga jendela kendaraan tersebut berkali-kali terbuka lagi.

Dengan karunia Ilahi tidak ada yang terluka, hanya sebuah batu mengenai tangan adik saya. Polisi yang mengawal di sekelilling kendaraan itu banyak yang kena batu. Maka pihak yang berwajib mengambil tindakan untuk menjauhkan orang-orang itu. Dari depan dan belakang kendaraan itu terus dikawal oleh polisi. Bahkan ada polisi yang duduk di atap kendaraan. Dengan cepat kendaraan itu tiba di tempat kediaman beliau as.. Nafsu amarah para penentang itu bergelora, dan benyak yang berlari mengejar dari belakang kendaraan yang terus dikawal oleh polisi itu. Pada keesokan harinya Hazrat Ahmad as. pun kembali pulang ke Qadian.

Al-Wasiat

Pada bulan Desember 1905, Hazrat Ahmad as. mendapat ilham yang menerangkan bahwa saat kewafatan beliau telah dekat, oleh karenanya beliau menulis sebuah buku yang berjudul Al-Wasiat, yang disebar luaskan kepada seluruh warga Jemaat Ahmadiyah. Di dalamnya beliau as. memberitahukan bahwa saat kewafatan beliau telah dekat, dan menasihatkan agar Jemaat tenteram serta berbesar hati.

Demikian pula, berdasarkan ilham Ilahi, Hazrat Ahmad as. mengumumkan untuk membuat sebuah areal perkuburan khusus (Bahesyti Maqbarah), dan orang-orang yang akan dikebumikan disana harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Yakni mengurbankan paling sedikit 1/10 harta bendanya dan 1/10 dari penghasilannya setiap bulan untuk kepentingan Islam. Hazrat Ahmad as menjelaskan :

“Allah Taala telah memberi kabar suka kepada saya, bahwa di perkuburan itu hanya orang-orang ahli surga saja lah yang akan dikuburkan.”

Dan beliau as. juga membentuk sebuah badan untuk mengurus harta benda yang akan diserahkan oleh orang-orang yang akan dikuburkan di pekuburan tersebut, untuk digunakan bagi pengembangan Islam. Selain ketentuan tersebut, beliau as. memberikan sebuah kabar ghaib :

“Untuk menjaga dan mengurus Jemaat ini setelah kewafatanku Allah Taala sendiri yang akan mengaturnya sebagaimana Dia telah mengatur setelah (kewafatan) nabi-nabi terdahulu. Allah akan menegakkan orang yang akan mengurus Jemaat ini sebagaimana Hazrat Abu Bakar ra. mengurus umat Islam sesudah kewafatan Junjungan Yang Mulia Nabi Muhammad saw.”

Sebelum Al-Wasiat terbit, terlebih dahulu sudah ada badan-badan yang mengurus masalah pekerjaan-pekerjaan, pendidikan dan tabligh, yakni yang mengurus sekolah-sekolah dan majalah. Kemudian untuk mengurus Bahesyti Maqbarah, tempat perkuburan tersebut, telah pula dibentuk sebuah badan baru. Namun atas permintaan beberapa murid beliau as, pada bulan Desember 1906, badan urusan wasiat atau Bahesyti Maqbarah itu diganti dengan sebuah lembaga yang mengurus sekolah-sekolah, majalah Review of Religions, Bahesyti Maqbarah tempat perkuburan itu, dan urusan-urusan lainnya. Yakni sebuah lembaga yang dinamakan Sadr Anjuman Ahmadiyah yang berpusat di Qadian.

Kewafatan Mirza Mubarak Ahmad

Pada bulan September 1907, seorang putera Hazrat Ahmad as. yang bernama Mirza Mubarak Ahmad wafat dalam usia delapan setengah tahun, sesuai kabar ghaib yang telah disiarkan ketika anak itu lahir.

Sementara itu dalam tahun ini juga telah didirikan cabang-cabang Sadr Anjuman Ahmadiyah di kota-kota lain.

Tamu Dari Amerika

Pada tahun 1907 itu telah datang tiga orang Amerika dua laki-laki dan seorang perempuan — ke Qadian untuk berjumpa dengan Hazrat Ahmad as.. Mereka lama berbincang-bincang dengan beliau as. dan beliau telah menjelaskan kepada mereka tentang kedatangan Nabi Isa yang kedua kalinya.

Konferensi Agama Pihak Ariya

Pada tahun 1907 itu juga telah timbul kekacauan dan huru-hara di daerah Punjab. Oleh sebab itu Hazrat Ahmad as. menganjurkan kepada Jemaat beliau agar tetap setia kepada pemerintah. Dan di beberapa tempat Jemaat Ahmadiyah bekerja semata-mata untuk mencegah dan mengamankan huru-hara tanpa mengharapkan suatu apapun.

Pada bulan Desember 1907, orang-orang Ariya di Lahore menyelenggarakan konferensi agama, dan mengundang pihak-pihak dari agama lainnya. Mereka menetapkan sebuah persyaratan, bahwa para pengikut suatu agama tidak boleh menyerang agama lain dan mereka sendiri pun berjanji akan mentaati persyaratan itu. Mereka minta pula Hazrat Ahmad as. untuk menghadiri konferensi itu. Ketika itu beliau as. mengatakan bahwa beliau merasakan adanya tipu muslihat dalam rencana tersebut. Namun Hazrat Ahmad as tetap menyiapkan sebuah karangan untuk dibacakan dalam acara itu.

Dalam karangan itu Hazrat Ahmad as. mengajak kaum Ariya ke arah perdamaian, dan dengan sangat halus beliau memaparkan keindahan-keindahan Islam pada mereka. Sekitar 500 orang dari Jemaat kita membeli karcis untuk menghadiri konferensi itu. Dan karena mengikuti kita, banyak orang Islam lainnya yang turut menghadiri konferensi itu.

Dalam ceramah orang-orang Ariya, mereka sangat mencaci Junjungan Yang Mulia Nabi Muhammad saw. dengan cara kotor dan menggunakan kata-kata yang sangat buruk. Kami semua mendengarkan pidato-pidato orang Ariya dengan tenteram menurut ajaran Islam, dan tidak ada yang memperlihatkan bahwa kita ditipu oleh mereka.

Kunjungan Sir Wilson ke Qadian

Pada tanggal 21 Maret 1908, Sir Wilson sebagai Financial Commissioner propinsi Punjab berkunjung ke Qadian. Hazrat Ahmad as. memerintahkan warga Ahmadi menyambut dan menghormati Sir Wilson, serta menyediakan sebuah kemah di lapangan sekolah, dan memberikan jamuan kepadanya.

Para penentang Hazrat Ahmad sudah lama menyebarluaskan isu bahwa beliau anti pemerintah, sebab tidak suka bergaul dengan para pembesar negeri. Maka dengan amal perbuatan nyata beliau as. telah membersihkan tuduhan itu. Hazrat Ahmad as. sendiri beserta tujuh atau delapan tokoh Ahmadi lain pergi menemui tamu tersebut. Sir Wilson pun menerima Hazrat Ahmad as. dengan sangat hormat di depan pintu kemahnya, dan menanyakan berbagai hal tentang Jemaat Ahmadiyah.

Satu hal yang penting dalam pembicaraan tersebut ialah tentang Muslim League yang baru saja didirikan pada waktu itu. Para pembesar pemerintah Inggris waktu itu sangat menyetujui anggaran dasar partai Muslim League tersebut, dan menganggap bahwa partai ini benar-benar akan dapat menjauhkan kesalahan-kesalahan yang ditimbulkan oleh partai Kongres.

Bahkan ada juga para pembesar negeri yang dengan halus menganjurkan tokoh-tokoh terkemuka dan rakyat untuk masuk ke dalam partai tersebut. Sir Wilson pun menceritakan tentang Muslim League ke Hazrat Ahmad as. dan menanyakan tanggapan beliau as.. Hazrat Ahmad as. menerangkan, beliau tidak begitu menyetujuinya. Sir Wilson memuji lagi lembaga itu. Hazrat Ahmad as. menerangkan bahwa lembaga itu dapat membahayakan. Sir Wilson menyatakan, lembaga ini jangan disamakan dengan partai Kongres, karena dari permulaan pun telah kelihatan bahwa partai Kongres akan melampaui batas-batas yang diinginkan, tetapi lembaga yang satu ini telah didirikan atas undang-undang dan peraturan yang sedemikian rupa sehingga tidak akan menyerupai partai Kongres.

Seorang murid Hazrat Ahmad as. bernama Khwaja Kamaluddin — yang mendirikan Woking Mission dan menerbitkan majalah Muslim India — juga menyatakan persetujuannya atas keteranngan Sir Wilson. Ia menerangkan bahwa ia pun ikut menjadi anggota partai tersebut karena undang-undang dasarnya bagus dan jauh dari bahaya.

Tetapi Hazrat Ahmad as. menjawab, ” Saya merasa lembaga ini pun nanti pada suatu waktu akan menyerupai partai Kongres, dan caranya ikut campur dalam politik negeri akan berbahaya juga.”

Kini setiap orang yang memperhatikan masalah politik dapat menyaksikan kebenaran ucapan Hazrat Ahmad as. yang telah menjadi sempurna itu.

Perjalanan Terakhir

Pada tanggal 27 April 1908, berhubung karena sakitnya ibu kami, Hazrat Mu’minin (istri Hazrat Ahmad as., yang bernama Nusrat Jahan Begum ra. -pen.), beliau akan berangkat ke Lahore. malam itu beliau as. mendapat ilham :

Janganlah mengabaikan permainan zaman1

Hazrat Ahmad as. menerangkan bahwa ilham ini mengisyaratkan pada suatu peristiwa yang akan menyedihkan. Justru pada malam itu juga, adik kami, Mirza Syarif Ahmad jatuh sakit. Namun Hazrat Ahmad as. tetap memaksakan untuk berangkat.

Ketika sampai di Batala — stasiun kereta api terdekat dari Qadian — pada waktu itu diketahui bahwa karena ada huru-hara di perbatasan, hanya sedikit kereta api yang digunakan untuk keperluan umum. Maka Hazrat Ahmad as. terpaksa menunggu dua tiga hari di Batala, kemudian barulah diperoleh sebuah gerbong bagi beliau as.. Dan beliau menceritakan kepada kami anggota keluarga, bahwa beliau mendapat ilham yang menakutkan, dan juga mendapat beberapa hambatan di perjalanan. Oleh karena itu beliau as. menetapkan untuk sementara waktu menetap dulu di Batala dan memanggil seorang dokter perempuan.

Tetapi istri beliau as. meminta supaya tetap melanjutkan perjalanan ke Lahore. Setelah dua tiga hari, beliau as. meneruskan perjalanan ke Lahore. Kedatangan Hazrat Ahmad as di Lahore menimbulkan keributan besar. Dan sebagaimana biasanya, para ulama berkumpul untuk menentang beliau as.

Di sebuah lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah tempat Hazrat Ahmad as. menginap, setiap hari dari jam empat sore sampai jam sembilan malam para penentang itu menyelenggarakan pidato-pidato yang menghina dan mencaci maki beliau as. dengan kata-kata kotor. Para murid beliau as. yang terpaksa harus melalui kawasan itu, menyatakan keprihatinan atas kata-kata kotor para penentang tersebut. Hazrat Ahmad as. memberi nasihat kepada murid-murid beliau bahwa cacian dan kata-kata kotor itu sedikit pun tidak merugikan kita, maka jangan perdulikan hal itu, bahkan tidak perlu memandang ke arah itu.

Oleh karena Hazrat Ahmad as. akan menetap agak lama di Lahore, maka orang-orang Ahmadi dari kota-kora lain pun banyak berdatangan dan berkumpul di Lahore. Setiap waktu ramai orang yang datang untuk berjumpa dengan beliau as..

Umumnya orang-orang kaya di seluruh dunia kurang memberikan perhatian agama. Maka untuk menyampaikan tabligh kepda orang-orang kaya di Lahore, Hazrat Ahmad as. melalui seorang hartawan yang telah beriman kepada beliau as. mengundang orang-orang kaya lainnya dala sebuah jamuan khusus. Sebelum jamuan disajikan, Hazrat Ahmad as menyampaikan sebuah pidato yang agak panjang. Baru satu jam beliau as. berbicara, sudah ada seorang dari hadirin yang menyatakan kebosanannya. Tetapi hadirin lainnya segera membantah dan mendesak supaya santapan rohani itu dilanjutkan. Maka Hazrat Ahmad as. pun meneruskan pidato beliau setengah jam lamanya.

Ada yang salah paham tentang pidato tersebut, bahwasanya hazrat Ahmad as. telah menarik kembali penda’waan beliau sebagai nabi. Dan berita yang berisikan kesalah- pahaman itu dicetak pula oleh sebuah surat kabar bernama Akbhar-e-Aam Lahore.

Hazrat Ahmad as. pun segera membantah berita yang salah itu dan menyiarkan sebuah karangan yang berjudul Ek Ghalathy Ka Izalah, yakni memperbaiki suatu kesalahan. Beliau as. menjelaskan :

“Saya memang menda’wakan sebagai nabi dan sama sekali tidak pernah menarik kembali penda’waan itu. Hanya saja saya tidak membawa syariat baru, dan tetap hanya satu syariat saja, yang dibawa oleh Junjungan yang Mulia Nabi Muhammad saw..”

Kewafatan Hazrat Ahmad as.

Hazrat Ahmad as. sering terserang penyakit diare, dan kali ini setelah tiba di Lahore penyakit ini menyerang dengan lebih hebat lagi. Orang-orang tidak henti-hentinya datang menjumpai beliau, sehingga beliau tidak dapat waktu yang cukup untuk istirahat. dalam keadaan sakit demikian beliau as. menerima sebuah ilham :

Waktu berangkat telah tiba, lalu waktu untuk berangkat telah tiba2

Ilham ini menimbulkan kekhawatiran pada banyak orang. Lalu datang pula sebuah berita dari Qadian bahwa seorang Ahmadi mukhlis disana telah wafat. Sebagian orang mulai menganggap bahwa ilham tersebut berkenaan dengan Ahmadi yang telah wafat itu. Tetapi Hazrat Ahmad as. menjelaskan bahwa ilham itu adalah tentang seseorang yang terkemuka dalam Jemaat Ahmadiyah, dan bukan tentang orang yang telah wafat tersebut.

Karena perasaan yang ditimbulkan oleh ilham itu, Hazrat Ummul Mu’minin mengajak Hazrat Ahmad as. pulang ke Qadian. Hazrat Ahmad as. menjawab :

“Sekarang saya tidak kuasa lagi untuk pulang, dan jika Allah mau membawa nanti, saya dapat juga sampai ke Qadian.”

Meski pun beliau telah menerima ilham itu dan dalam keadaan sakit, Hazrat Ahmad as. tetap saja sibuk dalam pekerjaan beliau. Dalam keadaan sakit itu beliau merencanakan sebuah pidato untuk menimbulkan kecintaan dan perdamaian antara Hindu dan Muslim. Hazrat Ahmad as. mulai menulis pidato tersebut, yang diberi nama Peygham-e-Suluh yang artiinya : Himbauan ke Arah Perdamaian.

Pekerjaan ini semakin melemahkan tubuh belaiu as. dan penyakit buang-buang air pun bertambah parah. Sebelum karangan pidato tersebut selesai, pada malam hari itu Hazrat Ahnad as. mendapat ilham dalam bahasa Farsi :

Janganlah menyandarkan diri pada umur yang tidak kekal3

Hazrat Ahmad as. menyampaikan ilham ini kepada anggota keluarga beliau, dan menerangkan bahwa, “Ilham ini adalah tentang diri saya.”

Keesokan harinya naskah pidato itu telah selesai dan diserahkan untuk dicetak. Setelah itu pada waktu malam, penyakit Hazrat Ahmad as. semakin parah dan sangat melemahkan tubuh beliau. Hazrat Ummul Mu’minin bangun dan terkejut melihat keadaan beliau as. yang sudah benar-benar lemah, lalu menanyakan kenapa. Hazrat Ahmad as. menjawab, “Sekarang saat kewafatan saya sudah tiba.”

Kemudian beliau as. buang air lagi, dan kondisi beliau menjadi sangat lemah. Beliau memerintahkan agar memanggil Hazrat Mlv. Nuruddin ra. (tabib yang ahli dan seorang Ahmadi Mukhlis). Kemudian beliau as. meminta agar membangunkan Mahmud (penulis buku ini) dan Mir sahib (mertua beliau as.)

Tempat tidur saya tidak jauh dari tempat tidur beliau as.. Saya pun bangun dan melihat keadaaan beliau yang sangat gelisah. Para dokter telah datang, dan mulai mengobati beliau. Tetapi obat-obat itu tidak dapat menolong. Akhirnya beberapa obat diberikan melalui suntikan, dan beliau pun dapat tertidur. Pada waktu Subuh, Hazrat Ahmad as. terbangun dari tidur, dan melaksanakan shalat Subuh. Suara beliau as serak, sehingga sulit berbicara. Kemudian beliau meminta pena dan tinta untuk menulis sesuatu, tetapi karena terlalu lemah, Beliau tidak mempu memegang pena lagi dan tidak dapat menulis. beliau pun merebahkan diri di atas tempat tidur. Tidak lama kemudian tampak beliau as. seperti tertidur.

Pada tanggal 26 Mei 1908, pukul 10:30 pagi Hazrat Ahmad as. Telah mengkhidmati agama-Nya. Innaa lillahi wa innaa illayhi roji’uwn.

Sewaktu sakit, hanya satu perkataan yang selalu beliau ucapkan, yaitu “Allah”.

Kabar tentang kewafatan Hazrat Ahmad as. dengan cepat tersebar keseluruh Lahore. Jemaat Ahmadiyah di tempat-tempat lain -pun diberitahukan dengan telegram pada petang hari itu dan esok harinya, surat-surat kabar diseluruh India memuat berita tentang kewafatan beliau as..

Selama hidup, Hazrat Ahmad as. senantiasa bersikap halus dan sopan terhadap musuh-musuh beliau. Akan tetapi ketika beliau as. wafat, para musuh beliau memperlihatkan kebencian dan dendam mereka, dengan melakukan berbagai macam perbuatan yang hina.

Setengah jam setelah kewafatan beliau as., sebuah rombongan besar orang-orang yang tidak senang terhadap beliau as. telah berkumpul didepan rumah tempat tinggal beliau di Lahore. Mereka berteriak dan bersorak-sorak, serta melakukan berbagai macam tindakan yang menampakan kekotoran batin mereka.

Jemaat Hazrat Ahmad as. sangat mencintai beliau. Mereka menyaksikan jenazah beliau di hadapan mereka. Namun karena kecintaan yang tinggi, mereka hampir tidak sudi menerima kenyataan bahwasanya beliau as. telah wafat, berpisah dari mereka untuk selama-lamanya. Murid-murid Nabi Isa Israili dahulu sangat heran melihat Nabi Isa as. masih tetap hidup setelah disalib. Tetapi murid-murid Masih Mau’ud as. yang sekarang justru sangat heran melihat beliau as. telah wafat. Seribu tiga ratus tahun sebelumnya, ketika Junjungan Yang Mulia Nabi Muhammad saw. — Khaataman Nabiyyin, penghulu sekalian Nabi — telah wafat, seorang penyair Muslim pernah mengungkapkan perasaan hatinya sebagai berikut:

Engkau lah biji mataku,

kewafatanmu telah menghilangkan penglihatanku;

kini setelahmu, siapa pun yang meninggal aku tidak perduli,

sebab hanya kewafatnmu lah yang daku risaukan.

Kini setelah 1300 tahun, kita menyaksikan lagi keadaan semacam itu atas wafatnya Hazrat Ahmd as. — seorang murid Junjungan Yang Mulia Nabi Muhammad saw. Orang-orang yang telah beriman kepada Hazrat Ahmad as. sangat berduka dan bersedih hati atas kewafatan beliau. Seolah-olah dunia telah menjadi gelap bagi mereka. Hingga sekarang pun mereka tetap berduka demikian di dalam hati. Walaupun sudah seabad mereka tidak akan dapat melupakan suasana tersebut — tatkala Rasul Allah, Hazrat Ahmad as. yang mereka cintai itu masih hidup dan bergaul dengan mereka. Kedukaan hati dapat mempengaruhi dan menggelisahkan manusia. Saya pun sewaktu , menceritakan keawafatan Hazrat Masih Mau’ud as. ini telah jauh bergeser dari pokok pembahasan.

Saya telah ungkapkan tadi bahwa Hazrat Ahmad as. wafat pada pukul 10:30 pagi. Kemudian segera diatur segala yang perlu untuk membawa jenazah beliau as. ke Qadian. Dengan kereta api sore, pada hari itu juga, jenazah beliau as. disertai rombongan besar Jemaat Ahmadiyah, diberangkatkan ke Qadian. Demikianlah telah sempurna ilham beliau as. (dalam bahasa Urdu berikut ini) yang telah dicetak sebelumnya :

Jenazahnya telah dibawa dengan terbungkus kain kafan4.

Setelah turun di stasiun Batala, jenazah Hazrat Ahmad as. diusung sampai ke Qadian. Sebelum beliau dikebumikan Jemaat yang berada di Qadian dan ratusan wakil Jemaat Ahmadiyah dari tempat-tempat lainnya dengan sepakat telah mamilih Hazrat Haji Maulvi Nuruddin sebagai pengganti beliau as. dan sebagai Khalifatul Masih Awwal. Dan mereka pun bai’at kepadanya. Demikianlah kabar ghaib yang tercetak di dalam buku Al-Wasiat Hazrat Ahmad as. telah menjadi sempurna:

“Allah Taala akan menegakkan orang yang akan mengurus Jemaat ini sebagaimana Hazrat Abu Bakar ra. mengurus umat Islam sesudah kewafatan Junjungan Yang Mulia Nabi Muhammad saw..”

Kemudian Hz. Khalifatul Masih Awwal ra. memimpin shalat jenazah Hazrat Ahmad as.. Dan setelah Zuhur, jenazah hazrat Ahmad as. dikebumikan.

Demikian pula telah sempurna ilham Hazrat Ahmad as. yang beliau terima pada bulan Desember 1907, dan yang telah dicetak sebelumnya:

Sebuah peristiwa pada tanggal 275.

Hazrat Ahmad as. wafat pada tanggal 26 Mei 1908, dan dikebumikan di Qadian pada tanggal 27 Mei 1908. Selain ilham tersebut, ada lagi ilham (dalam bahasa Farsi) yang menjelaskan hal itu:

Telah tiba saatnya6.

Pada perstiwa kewafatan Hazrat Ahmad as., seluruh surat kabar berbahasa Inggris maupun Urdu di India — walau memusuhi — juga mengakui bahwa beliau as. adalah seorang tokoh besar zaman sekarang ini.

Wassalam
Hadhrat Al Hajj Basyiruddin Mahmud Ahmad ra.
Khalifatul Masih II

Ghulam Ahmad : Riwayat Pendiri Ahmadiyah (Bagian 2) oleh HM. Basyiruddin.MA

In Ahmadiyah, Ahmadiyah, Ghulam Ahmad, Imam Mahdi, Isa, Isa Yang Dijanjikan, Khalifah II, Masih Ma'ud, Tabligh, Tarbiyat on 31 Oktober 2009 at 16:20

Bai’at Pertama

Dengan tersiarnya Barahiyn Ahmadiyah orang-orang dari berbagai tempat mulai simpati kepada Hazrat Ahmad as. Qadian yang terletak jauh dan terpencil mulai sering dikunjungi para tamu dari tempat-tempat jauh. Para cendekiawan seperti Hazrat Maulvi Nuruddin, yang dipuji dan dijunjung oleh kawan maupun lawan karena ilmunya, sangat tertarik pula pada Barahiyn Ahmadiyah, sewaktu menjadi tabib istimewa Maharaja Jammu dan Kashmir. Hz. Mlv. Nuruddin ini kemudan tidak terpisahkan lagi dari Hazrat Ahmad as. untuk selama-lamanya. Barahiyn Ahmadiyah makin lama semakin mengambil tempat di hati umat, bahkan banyak yang mengajukan permintaan supaya Hazrat Ahmad as. mengambil bai’at. Tetapi permintaan itu senantiasa beliau as. tolak, dengan menjawab bahwa segala urusan beliau berada di tangan Allah.

Akhirnya tibalah bulah Desember 1888 ketika melalui ilham Ilahi, Hazrat Ahmad as. diperintahkan untuk mengambil bai’at dari orang-orang. Bai’at yang pertama diselenggarakan di kota Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889 di rumah seorang mukhlis bernama Mia Ahmad Jaan. Dan orang yang bai’at pertama kali adalah Hz. Maulvi Nuruddin ra.. Pada hari itu kurang lebih 40 orang telah bai’at. Setelah itu berangsur-angsur semakin banyak yang bai’at.

Pendakwaan Diri Sebagai Masih Mau’ud

Tetapi pada tahun 1891 telah terjadi suatu perubahan yang amat besar. Yakni Hazrat Ahmad as. diberi ilham oleh Allah Ta’ala bahwasanya Nabi Isa as. yang ditunggu-tunggu kedatangannya kedua kali kali itu telah wafat dan tidak akan datang lagi ke dunia ini. Kedatangan Nabi Isa kedua, adalah orang lain yang akan datang dengan sifat dan cara seperti Nabi Isa as., yaitu Hazrat Ahmad as. sendiri orangnya.

Ketika hal ini telah betul-betul jelas, dan ilham Ilahi berulang-ulang menyatakan supaya beliau as. mengumumkannya, maka mulailah beliau as. menjalankan kewajiban yang baru dan suci ini. Ilham tersebut turun ketika beliau as. berada di Qadian, lalu beliau menerangkan kepada anggota keluarga beliau bahwa kini beliau telah diserahi suatu kewajiban yang akan menimbulkan perlawanan dari orang-orang.

Setelah itu Hazrat Ahmad as. pergi ke Ludhiana, dan pada tahun 1891 mengumumkan pendakwaan sebagai Masih Mau’ud (Isa yang dijanjikan) melalui sebuah selebaran.

Awal Timbulnya Pergolakan dan Penentangan

Pengumuman itu tersiar secepat kilat, dan di seluruh India timbul perlawanan serta kehebohan yang sangat hebat terhadap pendakwaan tersebut. Para alim ulama yang dahulu simpatik dan memuji, kini serentak berdiri menentang beliau as. Mlv Muhammad Hussein Batalwi yang dahulu dalam majalahnya Isyaatus Sunnah sangat memuji Hazrat Ahmad as., kini menggunakan segala kekuatannya untuk menentang beliau as. Dengan sombong dia berkata:

“Saya yang dahulu telah memajukan orang ini, maka saya lah sekarang yang akan menjatuhkannya. Yakni, dahulu karena pertolongan dan pujian dari saya lah orang ini mendapat kehormatan, dan sekarang saya akan menentangnya dengan gigih, sampai orang ini akan dibenci dan dihina orang-orang.”

Mlv. Muhammad Hussein Batalwi bersama beberapa ulama lainnya pergi ke Ludhiana menantang Hazrat Ahmad as. untuk berdebat. Hal itu diterima oleh beliau as.. Tetapi dalam perdebatan itu, pihak mereka memakai bermacam cara untuk mengacau, sehingga acara itu gagal. Oleh karena keributan dan kekacauan tersebut, pihak yang berwajib memerintahkan Mlv. Muhammad Hussein Batalwi agar meninggalkan kota Ludhiana pada hari itu juga.

Untuk menghindari suasana yang tidak diinginkan, Hazrat Ahmad as. pun pergi ke Amritsar, dan setelah seminggu beliau kembali ke Ludhiana. Satu minggu beliau menetap disana, kemudian kembali ke Qadian. Beliau as. tinggal di Qadian untuk beberapa lama, kemudian pergi ke Ludhiana lagi untuk beberapa hari. Dari sana beliau terus ke Delhi.

Perdebatan Delhi

Hazrat Ahmad as. tiba di Delhi pada tanggal 27 September 1891. Pada waktu itu Delhi dipandang sebagai pusat ilmu pengetahuan di seluruh India. Dan pihak lawan lebih dahulu telah menghasut penduduk Delhi menentang beliau as.. Maka dengan kedatangan beliau timbulah suatu keributan dan kegoncangan yang hebat. Para ulama menantang Hazrat Ahmad as. berdebat. Akhirnya mereka secara sepihak telah menetapkan Maulvi Nazir Hussein, tokoh Ahli-Hadis, akan berdebat dengan Hazrat Ahmad as. di Masjid Jami’ Delhi. Sedangkan hal itu tidak diberitahukan kepada Hazrat Ahmad as..

Pada waktunya, datanglah Hakim Abdul Majid membawa kendaraan supaya Hazrat Ahmad as. berangkat ke Masjid Jamii’ untuk perdebatan itu. Hazrat Ahmad as. menjawab:

“Dalam keributan dan kekacauan yang begini hebat, jika belum ada pengawalan yang lengkap dari pemerintah, saya tidak dapat pergi ke tempat perdebatan itu. Lagi pula, masalah perdebatan serta syarat-syaratnya seharusnya telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan saya juga.”

Atas jawaban ini, para penentang semakin ribut. Oleh karena itu, Hazrat Ahmad as. mengumumkan:

“Baiklah, Mlv. Nazir Hussein Delwi menyatakan dengan sumpah di Masjid Jami’, bahwa menurut ayat-ayat Al-Quran Nabi Isa as. masih hidup dan sampai sekarang belum wafat. Setelah sumpah itu, jika dalam tempo satu tahun Mlv. Nazir Hussein tidak mendapat suatu siksaan dari langit, maka boleh lah saya dianggap sebagai pendusta dan saya akan membakar seluruh buku saya.”

Untuk hal itu Hazrat Ahmad as. telah pula menetapkan hari dan tanggalnya. Permintaan tersebut sangat menggelisahkan murid-murid Mlv. Nazir Hussein, dan mereka berupaya dengan berbagai cara untuk menghalangi persumpahan itu. Tetapi masyrakat umum mendesak Mlv. Nazir Hussein agar bersumpah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah dusta dalam pendakwaanya.

Pada waktu itu rakyat jelata berduyun-duyun berkumpul di Masjid Jami’ Delhi. Banyak orang memberi pandangan agar Hazrat Ahmad as. tidak usah pergi ke tempat itu, sebab diri beliau as. terancam dan mungkin timbul bahaya bagi diri beliau. Tetapi Hazrat Ahmad as beserta 12 orang sahabat beliau pergi juga ke tempat itu (Nabi Isa Israili dahulu juga mempunyai 12 orang sahabat/hawariyin, dan pada kejadian ini Hazrat Ahmad as. pun ditemani oleh 12 orang sahabat beliau).

Bagian luar dan dalam Masjid Jamii’ Delhi telah penuh sesak oleh massa, bahkan di tangga-tangga luar pun penuh dengan khalayak ramai. Dalam kerumunan puluhan ribu orang itu — yang sebagian besar berkumpul karena kebencian terhadap Hazrat Ahmad as. — telah naik darah dan gelap mata. Beliau as. dengan beberapa sahabat itu berjalan terus melalui kerumunan masa sampai ke tempat imam dalam masjid itu, dan beliau pun duduk disana. Seorang perwira polisi dengan seratus orang pasukannya telah berada di tempat untuk menjaga ketenteraman dan keamanan. Dari antara hadirin banyak pula yang membawa batu untuk melempar Hazrat Ahmad as..

Demikianlah Masih Mau’ud yang sekarang ini, seperti halnya Masih Israili dahulu juga terancam oleh para ulama dan pendeta. Hanya saja Masih Mau’ud as. ini bukan disalibkan, melainkan akan dirajam dengan batu-batuan.

Dalam perdebatan itu pihak lawan menderita kekalahan. Tidak ada yang mau memperbincangkan masalah kewafatan Nabi Isa as.. Demikian pula Mlv. Nazir Hussein atau orang lainnya tidak berani bersumpah seperti yang dimintakan. Seorang advokat dari Aligarh bernama Khwaja Muhammad Yusuf, telah menerima tulisan iktikad dan pendirian Hazrat Ahmad as. yang akan dibacakannya di hadapan umum. Tetapi para ulama yang telah menyebarkan fitnah — bahwa Hazrat Ahmad as. tidak mempercayai Al-Quran, Hadis dan Junjungan Nabi Muhammad saw.– mereka takut bila tipu muslihat dan fitnah mereka itu terbongkar. Maka mereka terus menghasut, supaya masyarakat umum jangan sampai mendengarkan iktikad dan pendirian Hazrat Ahmad as. yang sebenarnya.

Atas hasutan mereka timbul-lah keributan dan kekacauan besar, sehingga Khwaja Muhammad Yusuf tidak dapat membacakan tulisan itu. Oleh karena keadaan begitu gawat, perwira polisi memberi peringatan untuk membubarkan pertemuan, dan melarang mengadakan perdebatan pada waktu itu. Polisi mengantar Hazrat Ahmad as. sampai ke luar pintu mesjid, dan ketika menunggu kendaraan, banyak orang berkumpul hendak membuat keributan. Lalu beliau as. naik kendaraan untuk pulang, dan polisi membubarkan massa yang ada.

Kemudian pada kesempatan lain, masyarakat Delhi memanggil Maulvi Muhammad Bashir dari Bhopal untuk mengadakan perdebatan dengan Hazrat Ahmad as., dan pesan perdebatan itu telah dicetak juga. Beberapa hari setelah itu Hazrat Ahmad as. kembali ke Qadian. Setelah beberapa bulan, pada tahun 1891 itu juga, beliau as. berangkat ke Lahore dan mengadakan suatu perdebatan dengan Maulvi Abdul Hakim Kalanauri. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke Sialkot, lalu terus ke Jallandar dan Ludhiana. Dari sana beliau as. kembali ke Qadian.

Perdebatan Dengan Pihak Kristen

Pada tahun 1893 berlangsung perdebatan antara Hazrat Ahmad as. dengan Abdullah Atham yang mewakili pihak Kristen. Perdebatan ini diadakan di Amritsar dan berlangsung selama 15 hari, sedangkan hasil perdebatan ini dicetak dalam bentuk buku dengan judul Jangg-e-Muqaddas. Dalam perdebatan ini pihak yang melawan Hazrat Ahmad as. mengalami kekalahan seperti perdebatan-perdebatan lainnya. Perdebatan ini berlangsung secara tertulis. Kedua belah pihak duduk berhadapan satu sama lain dan menulis jawaban-jawabannya. Tulisan-tulisan itu yang kemudian dicetak dalam bentuk buku. Dampaknya, perdebatan tersebut sangat baik dan menyenangkan. Dalam perdebatan itu ternyata kadang-kadang pihak Kristen sama sekali tidak dapat menjawab argumentasi-argumentasi yang dipaparkan oleh Hazrat Ahmad as.. Bahkan kadangkala mereka berputar lidah dan merubah pendirian mereka, serta menggunakan kata-kata kasar yang tidak pada tempatnya.

Hazrat Ahmad as. telah mengemukakan suatu cara baru dalam ilmu kalaam, bahwa tiap pihak harus mengemukakan pendakwaan dan keterangan-keterangan tentang kebenaran agamanya dari kitab suci masing-masing. Dalam perdebatan itu, terjadi pula suatu kejadian aneh yang menggambarkan keunggulan dan kecerdasan Hazrat Ahmad as.. Meski pun hal yang dibahas adalah lain, tetapi untuk menghinakan beliau as. pihak Kristen telah mengumpulkan orang-orang buta, pincang dan cacat yang dihadapkan kepada Hazrat Ahmad as..

Pada saat berlangsung perdebatan, mereka mengatakan : “Jika betul Tuan sebagai Isa yang dijanjikan, cobalah Tuan sembuhkan orang-orang yang buta, pincang dan cacat ini. Sebab Isa yang dahulu dapat menyembuhkan orang-orang sakit semacam ini.” Permintaan orang-orang Kristen tersebut sangat mengherankan para hadirin. Dan tiap mereka ingin mendengarkan jawaban darii Hazrat Ahmad as.. Orang-orang Kristen pun merasa gembira, karena menganggap permintaan tersebut tidak akan dapat dijawab oleh Hazrat Ahmad as.. Tetap ketika beliau as. menjawab permintaan itu, maka segala kegembiraan mereka lenyap, berobah menjadi kekalahan. Semua orang merasa puas dan memuji jawaban yang jitu dari Hazrat Ahmad as.. Beliau as. menerangkan :

“Menyembuhkan orang-orang sakit semacam itu, adalah tersebut di dalam Injil. Sedangkan kami tidak mempercayai hal-hal demikian. Menurut pendapat kami, mukjizat Nabi Isa as. terjadi di dalam cara dan bentuk yang lain. Injil menyatakan bahwa Nabi Isa as. dapat menyembuhkan penyakit-penyakit zahir dalam badan manusia hanya dengan mengusap-usapkan tangan saja, tanpa menggunakan obat-obatan serta doa. Begitu pun dalam Injil dinyatakan bahwa kalau kamu mempunyai iman walau sebesar biji sawi sekali pun, maka kamu akan dapat melakukan pekerjaan yang lebih ajaib dari ini. Orang-orang sakit semacam ini, bukanlah pihak Kristen yang harus menyodorkannya kepada kami. Justru kami lah yang harus menyodorkannya kepada orang-orang Kristen. Maka orang-orang sakit yang telah dikumpulkan ini, kami serahkan kembali kepada pihak Kristen, dengan mengatakan bahwa jika tuan-tuan memiliki keimanan sebedar biji sawi sekali pun, cobalah dengan hanya meletakkan tangan pada mereka sembuhkanlah orang-orang sakit ini. Jikalau orang-orang sakit ini baik dan sembuh, maka kami akan percaya bahwa Tuan-tuan tidak dapat membuktikan dan menyempurnakan pendirian yang kalian paparkan sendiri, maka bagaimana mungkin kami akan dapat meyakini kebenaran Tuan-tuan?”

Jawaban Hazrat Ahmad as. ini sangat membingungkan orang-orang Kristen dan mereka tidak dapat menjawab apa-apa lagi, serta mengalihkan pembicaraan kepada hal-hal lain.

Permohonan Libur Umum Pada Hari Jumat

Tidak berapa lama sesudah itu, Hazrat Ahmad as. pergi ke Ferozpur. Pada semua perjalanan ini, di tiap-tiap tempat beliau as selalu disulitkan orang melalui lisan maupun tulisan. Mereka berusaha mencelakakan beliau.

Pada tanggal 1 Januari 1896, Hazrat Ahmad as. memulai suatu upaya baru berkaitan dengan shalat Jumat, untuk menjunjung kehormatan serta peraturan Islam. Beliau mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menetapkan hari Jumat sebagai hari libur. Sayang pada waktu itu di kalangan umat Islam sendiri sudah banyak timbul perselisihan tentang shalat Jumat. Banyak yang menetapkan berbagai macam syarat tentang boleh atau wajib diadakannya shalat Jumat. Bahkan banyak yang sudah tidak mengerjakan shalat Jumat lagi.

Upaya Hazrat Ahmad as. menghidupkan kembali shalat Jumat dan agar pemerintah menetapkan Jumat sebagai hari libur, adalah satu tanda kebenaran beliau as. yang amat jelas. Sebelum beliau menyampaikan permohonan itu pada pemerintah, para ulama telah menentang dan hendak mengambil alih urusan tersebut. Hazrat Ahmad as. bekerja semata-mata demi Allah dan bukan untuk mendapatkan pujian manusia. Tujuan beliau hanya ingin mengkhidmati dan menegakkan agama Allah semata, tidak peduli siapa pun yang menyelesaikannya.

Atas permintaan MLv. Muhammad Hussein Batalwi, Hazrat Ahmad as. mengumumkan bahwa jika Mlv. Muhammad Hussein mau, ia boleh menyelesaikan urusan libur hari Jumat itu. Sangat disayangkan, Mlv. Muhammad Hussein dengan cara demikian telah mengulur-ulur urusan yang baik itu. Namun anjuran beliau as. ini adalah anjuran Ilahi, dan pekerjaan baik ini akhirnya dilaksanakan sendiri oleh jemaat belaiu as.

Konferensi Agama-agama di Lahore

Pada akhir tahun 1896 beberapa orang membentuk sebuah panitia untuk mengadakan konferensi agama-agama di Lahore dan mengundang tokoh-tokoh dari berbagai agama untuk ikut serta dalam konferensi tersebut. Mereka semua menerima undangan itu dengan senang hati. Dalam konferensi itu ditetapkan satu syarat, bahwa tidak boleh seorang pembicara pun menyerang agama lain. Serta dimintakan kepada para wakil dari berbagai agama untuk menguraikan pandangan agamanya tentang kelima perkara di bawah ini :

1. Keadaan alami, akhlak dan ruhani manusia
2. Keadaan manusia sesudah mati
3. Tujuan hidup manusia di dunia ini, dan cara untuk mencapainya
4. Dampak amal perbuatan manusia di dunia dan di akhirat
5. Jalan untuk memperoleh ilmu dan makrifat Ilahi

Orang yang merencanakan konferensi ini datang ke Qadian menjumpai Hazrat Ahmad as., dan beliau menyatakan kesetujuan beliau serta berjanji menolong sedapat mungkin. Bahkan dapat dikatakan bahwa sebenarnya Hazrat Ahmad as. lah yang telah mencetuskan ide konferensi tersebut. Sebelum mulai merencanakan konferensi itu, orang tersebut pernah datang ke Qadian, dan Hazrat Ahmad as. menganjurkan padanya agar menyelenggarakan konferensi semacam itu. Beliau as. senantiasa berusaha menyampaikan amanat dan kebenaran yang beliau bawa tersebut ke seluruh dunia, dan beliau as. sekali-kali tidak mau mengerjakan suatu pekerjaan hanya untuk pamer atau untuk dipuji saja.

Maka Hazrat Ahmad as. menganjurkan kepada orang itu untuk menyelenggarakan konferensi yang dimaksud. Bahkan pengumuman pertamanya dicetak di Qadian. Beliau as. telah berjanji untuk mempersiapkan sebuah karangan tentang perkara-perkara tersebut pada konferensi itu, serta telah menetapkan seorang murid beliau untuk membantu dalam urusan konferensi tersebut. Ketika Hazrat Ahmad as. mulai mempersiapkan naskah untuk konferensi itu, tiba-tiba beliau sakit keras terserang diare. Namun dalam kondisi sakit demikian pun beliau tetap mempersiapkan sebuah karangan. Sewaktu menulis karangan itu lah beliau as. menerima ilham dalam bahasa Urdu sbb:

Inilah karangan yang akan unggul atas karangan lainnya1

Oleh karenanya, sebelum peristiwa tersebut Hazrat Ahmad as. telah mencetak sebuah selebaran untuk mengumumkan bahwa karangan beliau as. akan unggul dari karangan-karangan orang lain.

Konferensi itu diselenggarakan pada tanggal 26, 27, 28 Desember 1896, yang berlangsung di bawah penilikan 6 orang tokoh: 1. Rai Bahadur Pratul Chandra Chatterji, hakim Pengadilan Tinggi Punjab, 2. Khan Bahadur Shaikh Khuda Bakhs, hakim Pengadilan Negeri Lahore, 3. Rai Bahadur Pandit Radha Kishen, pengacara di pengadilan tinggi dan bekas gubernur Jammu, 4. Hazrat hakiim Maulvi Nuruddin, tabib Maharaja Kashmir, 5. Rai Bahadur Bhavani Darsan, M.A., Settlement Officer, Jhelum, 6. Ardar Jowahar Singh, Sekretaris Khalsa College Committee, Lahore.

Para alim ulama ternama dari masing-masing agama telah mempersiapkan karangan untuk dibacakan dalam konferensi itu. Masyarakat umum memberikan perhatian yang luar biasa terhadap konferensi yang merupakan arena perbandingan agama-agama ini. Tiap-tiap golongan mengharapkan kemenangan bagi utusan mereka. Agama yang tua dan telah memiliki banyak pengikut, lebih kuat dan terjamin di dalam konferensi itu karena pengikutnya banyak yang hadir untuk membela para utusan mereka. Sedangkan Hazrat Ahmad as. pada waktu itu baru mempunyai pengikut sekitar 300 orang saja, dan yang hadir dalam konferensi itu tidak lebih dari 58 orang.

Pidato Hazrat Ahmad as. ditetapkan pada tanggal 27 Desember 1896, dari jam 1.30 sampai 3.30 petang. Beliau sendiri tidak dapat hadir dalam konferensi itu. Beliau serahkan karangan itu pada seorang murid beliau yang mukhlis, bernama Maulvi Abdul Karim Sialkoti, untuk membacakannya pada konferensi tersebut.

Hadirin mendengarkan karangan beliau as. dengan penuh perhatian dan minat yang tinggi. Terpikat sedemikian rupa sehingga semuanya asyik mendengarkannya. Orang-orang terperanjat mendengar bahwa waktu yang ditetapkan untuk pidato Hazrat Ahmad as. itu telah habis. Padahal karangan beliau tentang perkara pertama saja belum lagi selesai dibacakan. Maulvi Mubarik Ali Sialkoti yang akan berpidato sesudah giliran Hazrat Ahmad as. mengumumkan bahwa waktu yang diisediakan bagi pidatonya dengan tulus hati ia serahkan agar dimanfaatkan untuk pembacaan karangan hazrat Ahmad as. lebih lanjut. Hal itu disambut oleh para hadirin dengan sangat senang dan gembira. Maka Mlv. Abdul Karim pun melanjutkan pembacaan pidato Hazrat Ahmad as. itu hingga tiba waktu penutupan acara itu, pukul 4.30 sore. Tetapi perkara pertama pun masih belum selesai dibacakan.

Hadirin mendesak supaya karangan tersebut dibacakan sampai tamat. Oleh karena itu panitia mengumumkan bahwa pidato Hazrat Ahmad as. boleh dilanjutkan tanpa dibatasi waktunya. Akhirnya perkara pertama selesai dibacakan pada pukul 5.30 sore. Dengan segera hadirin kembali mendesak agar konferensi diperpanjang satu hari lagi untuk menyelesaikan pembacaan karangan Hazrat Ahmad as.. Konferensi itu pun ditambah satu hari lagi sampai tanggal 29 Desember 1896.

Dikarenakan banyak orang yang meminta waktu dipercepat, maka diumumkan bahwa keesokkan hari acara akan dimulai pada pukul 9.30 pagi, bukan pukul 10.30, serta pembicara pertama ialah Hazrat Ahmad as. juga. Biasanya pada pukul 10.30 pun para hadirin belum pada datang semuanya, tetapi pada hari itu sebelum pukul 9.00 orang sudah berduyun-duyun datang dari masing-masing golongan, dan berkumpul di arena pertemuan tersebut.

Acara dibuka tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Meski pada hari itu pun dua setengah jam diberikan jatah waktu untuk karangan Hazrat Ahmad as., tetap saja karangan itu tidak selesai dibacakan dalam waktu tersebut. Seluruh hadirin dengan sepakat mendesak supaya pembacaan karangan itu terus dilanjutkan. Maka para pemimpin acara pun telah menambah lagi waktu untuk karangan tersebut.

Pidato Hazrat Ahmad as. selesai dibacakan dalam dua hari, memakan waktu tujuh setengah jam lamanya. Seluruh kota Lahore goncang dan gempar. Semua orang mengakui bahwa karangan Hazrat Ahmad as. betul-betul lebih unggul dari karangan lainnya. Para pengikut dari agama-agama lain pun memuji karangan beliau as. ini. Orang-orang yang menyusun laporan acara itu menyatakan bahwa ketika pidato beliau as. itu dibacakan jumlah hadirin mencapai 8.000 orang banyaknya. Boleh dikatakan dengan pidato ini Hazrat Ahmad as mendapat kemenangan yang amat besar. Musuh-musuh pun terpengaruh oleh kecerdasan dan penjelasan beliau as.

Surat-surat kabar dari pihak lawan pun mengakui bahwa dalam konferensi tersebut karangan Hazrat Ahmad as. paling unggul atas yang lainnya. Karangan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Teaching of Islam2, dan telah disebarluaskan di Eropa, Amerika serta benua lainnya, dengan mendapat sambutan yang memuaskan.

Tantangan Bagi Kaum Kristen

Pada permulaan tahun 1897 Hazrat Ahmad as. menantang pihak Kristen untuk menjawab dan menyangkal argumentasi-argumentasi beliau dalam tempo 40 hari. Dan beliau menyediakan hadiah sebesar 1000 rupis bagi orang yang dapat membuktikan kabar ghaib serta tanda-tanda Nabi Isa Israili as. lebih kuat dan lebih tinggi dari pada kabar ghaib dan tanda-tanda yang dimiliki oleh Hazrat Ahmad as..

Tidak ada seorang pun yang berani tampil ke muka. Tindakan ini beliau ambil untuk membuktikan keadaan Nabi Isa as. yang sebenarnya serta untuk memperbaiki kesalahan akidah kaum Kristen.

Kematian Pandit Lekhram

Pada tanggal 6 Maret 1897 seorang Hindu Ariya bernama Lekhram telah mati terbunuh berdasarkan kabar ghaib yang diterima oleh Hazrat Ahmad as. Kaum Ariya sangat heboh oleh kejadian itu. Banyak orang jahat dari kalangan mereka mulai memberikan kemudaratan pada orang-orang Ahmadi maupun orang Islam lainnya dengan berbagai macam cara, terutama terhadap diri Hazrat Ahmadd as.. Mereka mencetuskan fitnah besar secara terang-terangan menuduh beliau as. sebagai pembunuh. Pihak yang berwajib dengan segea mengadakan penyelidikan dan pengusutan atas diri beliau as.. Namun Allah Ta’ala menggagalkan segala usaha para musuh itu. Mereka berusaha dengan segala cara untuk menyalahkan Hazrat Ahmad as., tetapi tidak berhasil. dan beliau as. sama sekali bebas dan terlepas dari tuduhan serta fitnah itu.

Kesultanan Turki

Sebuah kejadian penting terjadi pada bulan Mei 1897 yang menjadi suatu tanda dalam riwayat Hazrat Ahmad as. Seorang duta dari Kesultanan Turki bernama Hussein Kami, setelah berulang kali mengajukan permohonan, datang ke Qadian untuk menghadap Hazrat Ahmad as.. Dengan firasat yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada beliau as., dan juga sesuai dengan ilham Ilahi, Hazrat Ahmad as. mendapat informasi tentang diri orang itu maupun tentang musibah yang bakal menimpa Kesultanan Turki.

Duta tersebut telah mengajukan permohonan doa khusus untuk Kesultanan Turki, maka Hazrat Ahmad as. terus terang menjelaskan kepadanya bahwa kondisi Sultan Turki serta kerajaannya tidak baik. Dan melalui perantaraan kasyaf Hazrat Ahmad as. pun telah menyaksikan keadaan para menterinya yang kurang baik. Maka menurut pendapat beliau as., dengan kondisi buruk demikian, akibatnya pun tidak akan baik.

Atas jawaban tersebut, sang duta itu merasa tidak senang dan pulang. Bahkan ia menulis sebuah surat berisi cacian dan kata-kata yang dicetak dalam sebuah surat kabar di Lahore, yang menimbulkan kegoncangan besar di kalangan kaum Muslim di Punjab, India. Tetapi kejadian dan peristiwa-peristiwa selanjutnya telah membuktikan hakikat yang sebenarnya. Dan banyak kabar ghaib tentang hal itu telah menjadi sempurna. Bahkan sang duta itu pun tidak luput dari ancaman yang terkandung dalam ilham yang diterima oleh Hazrat Ahmad as, ini:

Aku akan menghinakan orang yang bermaksud menghinakan engkau3

Kemudian dia ditangkap karena suatu kesalahan besar dan mendapat hukuman pula. Bahkan surat kabar yang memuat dan membantu menyiarkan keterangan-keterangan itu pun luput dari hukuman, dan kondisi Kesultanan Turki yang tidak baik telah terbuka di mata dunia.

Dr. Henry Martin Clark

Pada tanggal 1 Agustus 1897 seorang pendeta bernama Martin Clark telah membuat sebuah tuduhan palsu dan memperkarakan Hazrat Ahmad as. ke pengadilan yang dikepalai oleh A.E. Martineu, hakim Pengadilan Negeri Distrik Amritsar. Tuduhannya adalah, Hazrat Ahmad as. telah mengirim seorang bernama Abdul Hamid untuk membunuh kepala pendeta itu. Kepala daerah Amritsar pun pertama-tama mengeluarkan surat perintah untuk menangkap dan mengambil Hazrat Ahmad as. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa hal itu diluar kekuasannya, sebab Hazrat Ahmad as. tinggal di distrik lain. Maka perkara tersebut kemudian dilaihkan ke Kepala Pengadilan Distrik Gurdaspur, bernama M.W. Douglas, yang saat ini berada di England.

Dia hadapan hakim ini pun Abdul Hamid menguatkan pengakuannya bahwa ia telah diperintahkan oleh Hazrat Ahmad as. untuk membunuh pendeta Martin Clark dengan cara melemparkan batu besar kepadanya. Tetapi dalam pengakuannya dihadapan hakim di Amritsar bertentangan dengan pengakuan yang ia sampaikan di hadapan hakim di Gurdaspur. Karena itu, hakim M.W. Douglas meragukannya, dan mulai mengadakan penyelidikan intensif dan cermat. Dengan empat kali panggilan, dalam tempo 27 hari saja ia telah memutuskan perkara ini. Meski pun pihak kedua adalah golongan Kristen, namun dengan tidak berat sebelah hakim tersebut telah memberikan keputusan yang benar dan membebaskan Hazrat Ahmad as. untuk mengajukan tuntutan terhadap pihak lawan beliau itu., tetapi beliau as. telah memaafkan dan tidak mempermasalahkan perkara itu lagi. Hakim M.W.douglas didalam keputusannya menuliskan:

Kami menganggap pengakuan (Abdul Hamid) bertentangan dengan akal, sebab yang diterangkannya di depan kami berbeda dari yang ia terangkan di hadapan kepala pengadilan Amritsar. Demikian gerak-geriknya sangat meragukan. Dan kami menyaksikan satu hal yang paling ganjil dalam pengakuannya, bahwa selama ia tinggal bersama para petugas Kristen di Batala, pengakuan-pengakuannya pun senantiasa bertambah. Ia memberikan pengakuannya pada tanggal 12 Agustus 1897 dan 13 Agustus 1897. Tetapi pada pengakuan hari kedua banyak hal-hal yang tidak ia paparkan pada hari pertama. Hal ini menimbulkan syakwasangka dalam hati, bahwa mungkin ada yang mengajarinya untuk berkata demikian atau mungkin dia mengetahui banyak hal namun tidak mau memaparkannya. Oleh sebab itu kami mintakan kepada pejabat polisi supaya orang itu diambil dari tempat para pendeta Kristen dan dia harus tinggal dibawah pengawasan polisi untuk didengarkan lagi pengakuannya yang benar.

Pihak polisi pun mengambilnya dari tempat orang Kristen itu dan meminta lagi keterangan darinya. Tanpa ada perjanjian apa-apa lantas orang itu berlutut dan sambil menangis mengatakan: “Saya telah dipaksa dengan berbagai macam ancaman untuk mengatakan segala tuduhan dan keterangan-keterangan yang dusta itu. Dan sebenarnya apa yang telah saya katakan untuk menentang Mirza Ghulam Ahmad, semua itu adalah rekayasa dan perintah orang-orang Kristen yang bernama Abdul Rahim Warisuddin dan Prim Das.

Mirza Ghulam Ahmad tidak memerintahkan apa-apa pada saya. Dan saya pun tidak punya hubungan apa-apa dengan beliau. Hal-hal yang tampaknya sulit pada pengakuan saya di hari tertentu, maka orang-orang itu itu mengajarkan lebih lanjut tentang hal-hal tersebut untuk dapat saya utarakan pada hari berikutnya. Apa yang telah saya terangkan tentang seorang murid Mirza Ghulam Ahmad, bahwa sesudah pembunuhan tersebut dia akan memberikan perlidungan pada saya, sebetulnya saya sama sekali tidak mengenalnya, bahkan tidak pernah mendengan namanya. Merekalah yang telah memberikan nama serta alamat orang itu pada saya, dan supaya tidak lupa, namanya dituliskan di telapak tangan saya sehingga dapat terlihat pada waktu memberikan pengakuan.”

Kemudian dia menerangkan lagi: “Waktu pertama kali saya memberikan keterangan di pengadilan untuk melawan Mirza Ghulam Ahmad, orang-orang Kristen itu mengatakan dengan sangat gembira: ‘Kini cita-cita kami telah terwujud. Sekarang kami dapat mencelakakan Mirza Ghulam Ahmad.'”

Setelah menulis segala keterangan yang itu, Kepala Pengadilan tersebut pun membebaskan Hazrat Ahmad as..

Musuh-musuh Hazrat Ahmad as. sangat gembira beliau diseret ke pengadilan. Bahkan ada seorang advokat dari golongan Ariya yang ikut membela perkara tersebut di pihak Kristen secara cuma-cuma. Demikian pula ada seorang ulama Islam yang datang memberi kesaksian memberatkan Hazrat Ahmad as.. Boleh dikatakan orang-orang Kristen, Hindu dan beberapa orang Islam sekaligus menyerang beliau as.. Dan mereka menggunakan berbagai cara yang tidak dibenarkan oleh agama demi mewujudkan hawa nafsu mereka. Tetapi Allah Ta’ala telah memberikan keberanian dan kecakapan kepada hakim M.W. Douglas lebih daripada yang diimiliki oleh Pilatus (di masa Nabi Isa Israili as.) dahulu. Dalam setiap langkahnya dia memegang teguh kejujuran. Ia tidak mencuci tangan dan menyerahkan Masih Mau’ud as. ke tangan para musuh beliau. Bahkan ia membebaskan beliau dari segala tuduhan. Demikianlah hakim itu telah menyatakan ketinggian Kerajaan Inggris lebih dari Kerajaan Romawi zaman dahulu itu.

Tawaran Damai Kepada Para Ulama Islam

Pada hari-hari itu Hazrat Ahmad as. menerbitkan sebuah selebaran dengan judul Ash-shuluh Khair. Selebaran ini ditujukan kepada para ulama Islam dimana beliau mengemukakan supaya dalam tempo sepuluh tahun para ulama itu tidak menentang dan menghalangi beliau dulu dan agar membiarkan beliau menghadapi musuh-musuh Islam terlebih dahulu. Hazrat Ahmad as. menjelaskan :

“Sekiranya saya seorang pendusta, penipu, niscaya saya akan binasa dalam tempo tersebut. Dan jika saya benar, maka kalian pun akan terpelihara dari sikasan yang akan diturunkan oleh Allah Ta’ala untuk mereka yang melawan orang yang benar.”

Tetapi sayang, para ulama itu tidak menyambut permohonan beliau tersebut, dan daripada melawan para musuh Islam ternyata mereka lebih suka melawan seorang pembela Islam.

Pada bulan Oktober 1897 Hazrat Ahmad as. pergi ke Multan sebagai saksi dalam sebuah perkara. Ketika kembali beliau singgah dulu di Lahore untuk beberapa hari lamanya. Di setiap jalan dan gang yang beliau lalui, orang-orang berkumpul mencaci-maki dan menghina beliau as. dengan kata-kata yang sangat kotor.

Pada waktu itu saya (Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad -pen) baru berumur 8 tahun, dan saya pun ikut serta dalam perjalanan itu. Saya belum dapat mengerti ketika itu, mengapa orang-orang memusuhi dan menghina beliau as.. Hal itu sangat mengherankan saya. Saya masih ingat, saat itu di tangga Masjid Wajir Khan ada seseorang yang tangannya buntung sebelah. Bahkan bekas potongan atau lukanya masih baru dan dibalut kain perca. Ia pun ikut dengan orang-orang ramai serta bersuit dan bertepuk tangan dengan menepuk tangan yang buntung itu ke tangan yang lain sambil berteriak-teriak mengatakan, ” Mirza sudah lari… Mirza sudah lari!”

Pemandangan tersebut sangat mengherankan hati saya, dan agak lama saya mengeluarkan kepala (dari kendaraan) untuk melihat orang itu. Dari Lahore kemudian Hazrat Ahmad as. terus kembali ke Qadian. Pada tahun itu juga berjangkit wabah pes di Punjab. Semua golongan agama pada waktu itu sangat menentang cara-cara yang ditempuh pemerintah untuk membasmi wabah tersebut. Tetapi Hazrat Ahmad as. justru menyetujui cara-cara itu dan menganjurkan agar para pengikut beliau jangan ragu-ragu menggunakan cara-cara itu, sebab Islam menganjurkan menjaga kesehatan.

Demikianlah Hazrat Ahmad as. telah berjasa menegakkan ketenteraman publik. Karena, secara umum tersiar kabar bahwa pemerintah sendirilah yang telah menyebarkan wabah pes tersebut, sedangkan cara-cara yang dikatakan dapat membasmi wabah, sebenarnya itulah yang menyebabkan tersebarnya penyakit tersebut, dan bertentangan dengan agama Islam. Maka para ulama pun memberi fatwa tegas, bahwa pada masa wabah pes berjangkit orang-orang sama sekali tidak dibenarkan keluar rumah. Fatwa ini pun telah menyebabkan kematian beribu-ribu orang yang tidak tahu apa-apa. Obat pembasmi tikus mereka anggap sebagai bibit penyakit pes. Perangkap-perangkap tikus pun mereka tolak dan mereka cemoohkan.

Pendek kata pada waktu itu kekacauan merajalela dan di beberapa tempat para pembesar negeri diserang oleh rakyat. dalam keadaan demikian, anjuran dan seruan Hazrat Ahmad as. serta contoh dan amal yang ditampilkan oleh Jemaat beliau telah memberi inspirasi kepada orang-orang lain juga. Beliau as. menerangkan kepada orang-orang Islam bahwa menurut agama Islam, dalam musim wabah pes, keluar dari rumah atau tinggal jauh dari kota, tidaklah dilarang. Yang dilarang adalah, pada musim wabah pes pergi dari suatu kota (yang telah terjangkiit wabah pes tersebut) ke kota lain. Karena hal itu akan menjangkitkan wabah pes tersebut ke kota lainnya.

Undang-Undang Sedition

Pada tahun 1897 dan 1898, perdebatan-perdebatan agama terjadi berulang kali. Hal itu telah mempertajam pergesekan antar golongan agama di kalangan penduduk India. Keadaan yang kacau dan bergolak itu dimanfaatkan oleh sebagian orang yang bertujuan politik untuk menghasut khalayak umum menentang pemerintah. Untuk menghindari keadaan kacau yang tidak diharapkan, pemerintah telah membentuk Undang-Undang Sedition (undang-undang anti hasutan menggolakkan publik). Tetapi keadaan di India semakin kacau dan undang-undang tersebut tidak mendatangkan dampak yang baik.

Di India pengaruh agama sangat mendalam. Dan orang-orang India lebih rela berkorban untuk agama daripada untuk politik. tetapi Undang-Undang Sedition tidak menutup pintu pergeseran dan pertentangan agama. Lagi pula hal itu tidak dianggap perlu dan penting oleh pemerintah. Hal-hal yang tidak dipahami oleh para petinggi negeri pada waktu itu ternyata telah dipahami betul oleh Hazrat Ahmad as., walaupun beliau berdiam di tempat yang sepi dan terpencil. Maka pada bulan September 1897 beliau as. telah menyampaikan sebuah memorial (imbauan) kepada Lord Eligen, raja muda di India, dan dicetak serta disiarkan. Dalam surat itu Hazrat Ahmad as. mengatakan bahwa sumber kekacauan dan keributan ini adalah pergeseran dan perselisihan agama, yang menimbulkan kegelisahan serta pergolakan dalam perasaan masyarakat umum. Dan kesempatan ini lalu dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menentang pemerintah. Maka di dalam Undang-Undang Sedition itu harus ditambahkan lagi larangan untuk melontarkan ucapan-ucapan kasar serta melewati batas kesopanan dalam perkara agama satu sama lainnya. Hazrat Ahmad as. mengemukakan tiga pasal berikut ini:

(1) Harus ditetapkan undang-undang bahwa pengikut suatu agama boleh memaparkan keindahan-keindahan agamanya, tetapi dilarang untuk menyerang agama lain. Peraturan ini tidak akan mengganggu kemerdekaan beragama dan tidak akan membantu suatu agama tertentu dengan berat sebelah. Hendaknya tiiap-tiap agama pun menyetujui peraturan yang adil ini, yakni tidak boleh menyerang agama lain.

(2) Jika peraturan no 1 tidak disetujui, sekurang-kurangnya ditetapkan bahwa suatu agama tidak dibenarkan menyerang atau mencela perkara-perkara tertentu ditemukan juga di dalam agama itu sendiri. Yakni tidak boleh mencela agama lain, dimana cela itu pun terdapat di dalam agamanya sendiri.

(3) Sekiranya peraturan no 2 pun tidak diterima, sebaiknya pemerintah meminta dari pihak masing-masing agama daftar kitab-kitabnya yang sah dan resmi, untuk menetapkan sebuah peraturan bahwa agama itu tidak boleh dicela tentang hal-hal yang tidak terkandung di dalam kitab-kitabnya tersebut.

Suatu hal yang tidak tertera dalam akidah seseorang, tidak dapat dituduhkan atau dicela hanya berdasarkan pada dugaan, khayalan maupun cerita yang bohong belaka. Sebab, tuduhan dan celaan semacam itu hanya akan menambah kebencian serta permusuhan saja.

Sekiranya pemerintah pada waktu itu menerima imbauan atau usul tersebut, niscaya negeri India akan terhindar dari kekacauan maupun kerusuhan yang terjadi selanjutnya. Tetapi pemerintah pada waktu itu tidak merasakan pentingnya hal tersebut. Para penasehat pemerintah pun tidak dapat meramalkan perkara-perkara kecil yang kemudian hari akan menimbulkan kerusakan besar — yang pada waktu itu telah terlihat oleh seorang nabi akhir zaman tersebut.

Akan tetapi, sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1908, pemerintah terpaksa menetapkan undang-undang bahwa para pengikut agama tidak boleh kasar dan menyerang kepercayaan agama lain. Dan kalau ada yang melanggar undang-undang itu, maka percetakan atau kantor yang menyiarkan selebaran maupun keterangan demikian harus dicabut jaminannya atau dirampas segala percetakannya. Hanya saja undang-undang ini terlampau lambat ditetapkan, sehingga tidak begitu bermanfaat sebagaimana yang seharusnya pada waktu iitu.

Sesungguhnya sumber keributan di India adalah perselisihan agama yang disalah gunakan oleh beberapa orang yang menginginkan keributan dengan jalan licik untuk menghasut rakyat terhadap pemerintah. Bila para pengikut suatu agama dihina agamanya — yang sangat mereka cntai — maka orang-orang lugu dari mereka dengan sangat mudah dapat dihasut melawan pemerintah dengan menyatakan karena sikap pemerintah-lah mereka menderita kesusahan itu. Niiscaya mereka pun akan bersedia untuk melawan pemerintah.

Menjawab Serangan Yang Ditujukan Kepada Islam

Pada tahun 1898, seorang Kristen yang asalnya murtad dari Islam, telah menerbitkan sebuah buku yang sangat kotor menghina serta menimbulkan kemarahan dan pergolakan yang sangat hebat di kalangan orang-orang Islam. Hazrat Ahmad as. pun menganggap bahwa hal itu akan menggoyahkan keamanan dalam negeri. Sebuah perkumpulan Islam di Lahore mengajukan suatu permohonan kepada pemerintah, supaya buku tersebut disita kesemuanya. Hazrat Ahmad as menyarankan kepada mereka bahwa permintaan semacam itu tidak akan begitu bermanfaat, dan lebih baik diterbitkan sebuah jawaban yang jitu dan tepat terhadap buku itu. Namun perkumpulan tersebut tidak mengindahkan saran beliau as. dan akhirnya maksud mereka pun tidak berhasil — seperti yang telah beliau as sampaikan pada mereka. Hazrat Ahmad as. tidak menyetujui permohonan mereka itu, karena dengan dikabulkanya permintaan tersebut berarti terbukti kelemahan Islam. Beliau as. lebih setuju untuk menjawab buku itu. Pemerintah pun lebih menghargai permintaan beliau ini. Demikanlah beliau as. telah memelihara hak-hak orang Islam, untuk menablighkan Islam dan menjawab segala tuduhan pihak lain terhadap Islam.

Perkawinan Antar Sesama Ahmadi

Pada tahun 1898 itu juga, untuk mendisiplinkan Jemaat, serta untuk memelihara ciri khas ke-ahmadiyah-an, Hazrat Ahmad as. telah menganjurkan kepada orang-orang Ahmadi peraturan-peraturan perkawinan serta cara-cara pergaulan hidup, dengan menetapkan bahwa wanita Ahmadi tidak boleh kawin dengan orang-orang non Ahmadi.

Tabligh Kepada Para Pejabat Pemerintah

Pada tahun itu juga Hazrat Ahmad as. mengundang pemerintah menyaksikan tanda-tanda beliau as.. Sebenarnya dengan jalan demikian beliau berniat hendak menablighi para pembesar dan pejabat-pejabat pemerintah, dan beliau as. berhasil juga dengan baik.

Mendirikan Sekolah

Pada tahun 1898, Hazrat Ahmad as. mendirikan sebuah sekolah untuk pendidikan anak-anak Ahmadi dari berbagai tempat, agar mereka terpelihara dari pengaruh buruk yang ada di tempet-tempat lain. Pada awalnya sekolah ini dimulai sebagai sekolah dasar, tetapi setiap tahun maju terus sehingga pada tahun 1903 telah menjdi sekolah lanjutan pertama (Kini telah menjadi sekolah lanjutan atas serta perguruan tinggi).

Diperkarakan Kembali

Pada tahun 1899 para penantang Hazrat Ahmad as. kembali memperkarakan beliau as. dengan tuduhan mengacau keamanan. Tetapi dalam perkara ini pun para musuh beliau menderita kekalahan yang hina, dan beliau as. memperoleh kemenangan yang gemilang.

Tantangan Untuk Bishop Lahore

Pada tahun 1900, Hazrat Ahmadd as. memenuhi pertablighan kepada para penganut agama Kristen dengan mengundang Bishop Lahore untuk meminta keputusan Ilahi agar tampak siapa yang benar. Walau pun hal ini dibantu pula oleh surat-surat kabar yang terkenal, namun Bishop tersebut tidak berani tampil menghadapi beliau as..

Pernyataan Sebagai Ahmadi Muslim

Pada tahun 1901, akan diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hazrat Ahmad as. menrbitkan sebuah pengumuman kepada seluruh pengikut beliau untuk mencatatkan diri dalam sensus tersebut sebagai Ahmadi Muslim. Yakni, pada tahun itulah Hazrat Ahmad as. telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau as., untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya.

Memperkarakan Pihak Keluarga Yang Anti

Ada beberapa orang dari keluarga Hazrat Ahmad as. yang tidak senang kepada beliau. Untuk menyusahkan beliau as., mereka telah sengaja mendirikan sebuah dinding di hadapan Mesjid Mubarak, Qadian. Sehingga beliau dan para pengikut beliau yang biasa shalat di mesjid itu terpaksa harus berputar jauh untuk masuk ke dalam mesjid. Dan hal ini sangat menyusahkan hati. Hazrat Ahmad as. telah berusaha dengan berbagai cara untuk memecahkan permasalahan itu, namun mereka tetap tidak memperkenankan juga. Sehingga terpaksa pada bulan Juli 1901 Hazrat Ahmad as. mengajukan perkara ini ke pengadilan.

Pada bulan Agustus 1901 perkara itu diputuskan dengan kemenangan di pihak Hazrat Ahmad as., maka dinding itu pun diruntuhkan kembali. Dan segala biaya serta kerugian dibebankan pada pihak lawan, akan tetapi hal itu telah dimaafkan semuanya oleh beliau as.

Penerbitan Majalah Review of Religions

Pada tahun 1902, Hazrat Ahmad as. menerbitkan sebuah majalah bulanan untuk pertablighan kepada orang-orang Eropa, yang hingga sekarang masih berjalan, dengan nama Review of Religions. Terbit dalam dua bahasa, Inggris dan Urdu. Majalah ini menyiarkan tabligh Islam ke Eropa dan Amerika, dengan jalan yang sebaik-baiknya. Para musuh pun memuji karangan-karangan yang sangat bermutu di dalamnya.

Pada masa permulaan, Hazrat Ahmad as. sendiri sering memuat karangan-karnagn beliau di majalah tersebut, dari bahasa Urdu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karangan-karangan beliau sangat menarik para pembaca. Dan karena karangan-karnagan itu lah dalam tempo satu tahun saja majalah Review of Religions telah terkenal dimana-mana.

Khutbah Ilhamiyah

Pada tahun 1902 itu juga, dalam kesempatan hari raya Idul Adha, Hazrat Ahmad as. telah menyampaikan khutbah yang langsung berisikan ilham-ilham Ilahi dalam bahasa Arab yang sangat fasih. Sewaktu berpidato itu keadaan beliau sangat lain. Wajah beliau as. menjadi merah dan memancarkan cahaya serta kegagahan. Tampak seolah-olah beliau as. berada dalam keadaan bawah sadar. Khutbah itu sangat halus dan bahasanya juga sangat bagus, sehingga banyak orang yang pandai bahasa Arab pun tidak sanggup mengarang yang demikian. Apalagi isinya pun mengandung hikmah serta rahasia-rahasia yang menakjubkan akal pikiran manusia.

Khutbah ini seluruhnya di dalam bahasa Arab, dan telah dicetak dalam bentuk buku yang berjudul Khutbah Ilhamiyah.

Pelajaran Bahasa Arab

Pada masa-masa itu juga, Hazrat Ahmad as. telah mengemukakan sebuah rencana untuk mengajarkan bahasa Arab kepada warga Jemaat Ahmadiyah. Yakni tiap-tiap orang harus menghafalkan beberapa kalimat bahasa Arab yang fasih dan mudah serta lazim dipakai dalam percakapan sehari-harii. Dengan demikian, orang-orang akan lekas dapat mempelajari bahasa Arab. Beberapa kali pelajaran semacam itu telah diterbitkan, namun kemudian karena banyaknya pekerjaan, pelajaran itu terhenti.

Contoh dan cara yang dimaksudkan oleh Hazrat Ahmad as. ini dapat dipakai oleh Jemaat untuk maju dalam pelajaran bahasa Arab. Beliau as. sangat menghendaki agar orang-orang Islam di negerinya masing-masing, selain menguasai bahasa setempat, seharusnya juga menguasai bahasa Arab seperti bahasanya sendiri. Laki-laki dan perempuan semua harus belajar bahasa Arab, supaya keturunan yang akan datang tidak akan sulit mempelajari bahasa Arab itu. Anak-anak pun sejak kecil, selain bahasa negerinya, haruslah diajari bahasa Arab juga. Inilah suatu hal pentiing yang harus disempurnakan untuk menegakkan agama Islam dengan benar dan kuat.

Suatu kaum yang tidak mengetahui bahasa agamanya, tentulah tidak akan dapat memahami agamanya dengan benar. Suatu kaum yang tidak memahami agamanya sendiri, niscaya tidak akan dapat menjaga diri dari serangan agama lain. Suatu bangsa yang hanya mengenal terjemahan kitab agamanya, niscaya tidak akan dapat mempelajari agamanya dengan sempurna. dan kitab agamanya pun akan rusak. Karena terjemahan itu maka lambat laun orang-orang akan lalai membaca bahasa asli kitab tersebut. Memang, terjemahan itu tidak dapat dikatakan benar seperti kitab aslinya, maka akhirnya, lambat laun golongan itu akan tersesat dari tujuan agamanya. Jemaat Ahmadiyah berupaya pula untuk menyempurnakan keinginan Hazrat Ahmad as. tersebut, dan insya Allah akan berhasil.

Minaratul Masih

Pada tahun 1902 itu juga, Hazrat Ahmad as. telah menanamkan batu fondasi untuk mendirikan sebuah menara guna menyempurnakan secara zahir sebuah kabar ghaib (dari Rasulullah saw.), bahwa Masih Mau’ud akan turun di atas sebuah menera putih di sebelah timur Damaskus.

Memang yang dimaksud oleh kabar ghaib itu sebenarnya adalah : Masih Mau’ud akan datang membawa keterangan-keterangan yang jelas dan tanda-tanda nyata, serta kegagahannya akan tampak ke seluruh dunia, dan beliau akan memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang. Menurut ilmu ta’bir ru’ya, menara berarti keterangan-keterangan yang tidak dapat dibantah oleh manusia. Berada di tempat tinggi yang dapat disaksikan oleh manusia. Menuju ke jurusan Timur berarti akan memperoleh kemajuan yang tidak dapat dihalangi oleh siapa pun juga.

Perjalanan ke Jhelum

Pada akhir tahun 1902, seorang bernama Karam Din memperkarakan Hz. Masih Mau’ud as. di Jhelum dengan tuduhan bahwa beliau berencana untuk membinasakan orang itu. Maka pengadilan negeri Jhelum memanggil belaiu as.. Untuk itu pada bulan Januari 1903, Hazrat Ahmad as berangkat ke Jhelum. Perjalanan ini menjadi salah satu tanda mulainya kemajuan beliau as..

Meski pun Hazrat Ahmad as. pergi hanya untuk menjawab tuduhan dan fitnah yang dilemparkan kepada beliau itu, tetapi masyarakat telah ramai yang datang untuk menjumpai beliau dalam jumlah besar. Ketika Hazrat Ahmad as. tiba di stasiun Jhelum, orang-orang yang menjemput dan menjenguk sedemikian rupa banyaknya sehingga ruangan stasiun itu penuh sesak oleh massa. Bahkan sampai bagian luar stasiun, di jalan-jalan besar, sampai jauh, penuh oleh orang-orang. Dan kendaraan pun sukar bergerak. Para pejabat pihak yang berwajib telah mengambil tindakan-tindakan khusus untuk mengatur massa yang begitu ramainya.

Ghulam Heydar, wedana Jhelum ditetapkan untuk menyertai Hazrat Ahmad as. supaya kendaraan dapat bergerak. Ribuan orang dari kampung-kampung telah datang untuk melihat dan menyaksikan kedatangan beliau as.. Sekitar seribu orang telah bai’at kepada Hazrat Ahmad as. pada saat itu. Ruang pengadilan dan lapangan di luar pun betul-betul sesak oleh orang-orang yang mengikuti jalannya perkara itu. Sampai pihak yang berwajib kewalahan mengatur masaa yang demikian banyaknya. Dalam pemeriksaan pertama saja, Hazrat Ahmad as. telah dibebaskan. Maka dengan selamat sejahtera, beliau as. kembali ke Qadian.

Kemajuan Yang Pesat

Pada tahun 1903 Jemaat Ahmadiah mulai mengalami kemajuan yang luar biasa. Kadang-kadang dalam satu hari saja sekitar 500 orang bai’at kepada Hazrat Ahmad as.. Sedangkan pengikut beliau sudah ratusan ribu banyaknya. Orang-orang dari segala lapisan mulai bai’at kepada beliau. Jemaat Ahmadiyah mulai maju dengan sangat cepat dan pesat, dari kawasan Punjab sampai ke daerah-daerah lainnya. Dan kemudian mulai tersebar ke benua-benua lain.

Mati Syahidnya Syahzada Abdul Lathief

Pada tahun 1903 itu juga, Jemaat Ahmadiyah mengalami kejadian yang sangat menyedihkan. Seorang Ahmadi terpandang dan terhormat di Kabul, Afghanistan — Syahzada Abdul Lathief — telah dirajam dengan batu sampai beliau syahid hanya karena perbedaan paham masalah agama saja.

Perkara Pengadilan di Gurdaspur

Perkara-perkara yang ditimbulkan oleh Karam Din di Jhelum pada zahirnya telah selesai dan ditutup. Tetapi tidak lama kemudian Karam Din kembali memperkarakan Hazrat Ahmad as. dengan tuduhan-tuduhan palsu seperti dahulu, di pengadilan negeri Gurdaspur. Perkara ini menjadi sangat panjang, sampai-sampai hakim pengadilan itu telah pindah digantikan dengan yang baru. Hari-hari pemeriksaan pun ditetapkan cepat-cepat, sehingga untuk sementara waktu beliau as. terpaksa harus menetap di Gurdaspur.

Perkara ini diperpanjang dengan tidak semestinya. Padahal yang hanyalah beberapa perkara saja. Karam Din telah berdusta tentang Hazrat Ahmad as., oleh karena itu di dalam sebuah buku beliau as. telah menyebut orang ini sebagai kadzab dalam bahasa Arab, yang bertarti pendusta atau pendusta besar. Demikian pula beliau menggunakan kata la’iyn dalam bahasa Arab yang artinya terkutuk, atau kadang-kadang digunakan juga dalam arti haramzadah.

Karam Din mengemukakan bahwa ia dituduh pendusta dan haramzadah, padahal yang dikemukakan oleh Hazrat Ahmad hanyalah berupa kedustaan yang memang telah dilakukan oleh orang itu sendiri. Pengadilan pun mulai mengusut perkataan tersebut. Hal itu semakin berlarut-larut, yang mengakibatkan perkara ini berlangsung sampai dua tahun lamanya.

Walau perkara ini masih dalam pengusutan, telah tersiar di surat kabar bahwa rekan-rekan seagama sang hakim pengadilan itu telah mendesaknya untuk menghukum Hazrat Ahmad as. — walau satu hari sekali pun. Para pengikut Hazrat Ahmad as. sangat gelisah mendengar kabar tersebut dan segera menyampaikannya dengan rasa haru kepada beliau as.. Mendengar kabar itu, Hazrat Ahmad as. dengan wajah merah dan lantang menjawab:

“Apakah dia mau menyerang singa Allah?! Jika dia berani berbuat demikian, niscaya dia akan menanggung akibatnya!”

Terlepas dari benar tidaknya berita tersebut, tetapi pada masa-masa itu juga hakim tersebut telah dipindahkan ke tempat lain. Kekuasaannya dikurangi, bahkan tidak lama sesudah itu pangkatnya pun diturunkan.

Perkara itu kemudian diserahkan kepada hakim lain, dan ia pun mengulur-ulur perkara itu tanpa seperlunya. Biasanya Hazrat Ahmad as. mendapat kursi tempat duduk di pengadlan, tetapi hakim ini tidak memberikan kursi bagi beliau as., padahal beliau dalam keadaan sakit. Bahkan beliau tidak diperkenankan minum ketika beliau benar-benar haus. Akhirnya setelah pemeriksaan yang begitu panjang, Hazrat Ahmad as. didenda 200 rupis.

Tetapi keputusan itu ditinjau kembali di pengadilan oleh Mr. Hetry di Amritsar. Setelah mempelajari perkara tersebut, Mr. Hetry menyatakan keheranannya, mengapa perkara yang begitu sederhana diperpanjang sampai berlarut-larut demikian lamanya? Mr. Hetry mengatakan :

“Saya dapat menyelesaikan perkara ini dalam satu hari saja. Dan Karam Din memang patut disebut dengan perkataan yang lebih keras dari apa yang telah dikatakan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Dan pengusutan yang demikian panjang itu memang tidak pada tempatnya.”

Dalam waktu dua jam saja hakim Mr. Hetry ini telah membebaskan Hazrat Ahmad as. dan membatalkan seluruh denda itu. Demikianlah, untuk kedua kalinya seorang hakim bangsa Eropa telah membuktikan dengan amal-amalnya bahwa Allah Ta’ala suka menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada orang-orang yang memang dianggap ahli untuknya. Perkara tersebut diputuskan pada bulan Januari 1905. Maka wahyu Allah Ta’ala yang turun kepada Hazrat Ahmad as. beberapa tahun sebelumnya — tentang hasil perkara itu — telah menjadi sempurna.-
bersambung ke bagian 3

Ghulam Ahmad : Riwayat Pendiri Ahmadiyah (Bagian 1) oleh HM. Basyiruddin.MA.

In Ahmadiyah, Ahmadiyah, Ghulam Ahmad, Imam Mahdi, Isa, Isa Yang Dijanjikan, Masih Ma'ud, Tabligh on 31 Oktober 2009 at 15:59

Pendahuluan

Kemajuan Jemaat Ahmadiyah yang pesat dan mengagumkan di seluruh dunia menarik serta membangkitkan perhatian umum untuk mempelajari hal ikhwal gerakan yang meluas ini dengan lebih mendalam.

Terutama untuk mengenal keadaan orang yang mendirikan gerakan Ahmadiyah ini. Oleh karena itu saya bermaksud menguraikan secara ringkas dan tegas tentang riwayat hidup pendiri gerakan Ahmadiyah. Supaya, dengan karunia llahi, penjelasan ini akan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang mencari kebenaran, dan menggerakkan hati mereka untuk menyelidiki lebih lanjut, serta meratakan jalan bagi orang-orang yang hendak masuk ke dalam kerajaan Ilahi. Amin.

A h m a d

Pendiri Jemaat Ahmadiyah bernama Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Nama beliau yang asli hanyalah Ghulam Ahmad. Mirza melambangkan keturunan Moghul. Kebiasaan beliau adalah suka menggunakan nama Ahmad bagi diri beliau secara ringkas. Maka, waktu menerima baiat dari orang-orang, beliau hanya memakai nama Ahmad. Dalam ilham-ilham , Allah Ta’ala sering memanggil beliau dengan nama Ahmad juga. Hazrat Ahmad as. lahir pada tanggal 13 Februari 1835 M, atau 14 Syawal 1250 H, hari Jumat, pada waktu shalat Subuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar. Yakni beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama kemudian meninggal dunia. Demikianlah sempurna sudah kabar-ghaib yang tertera di dalam kitab-kitab agama Islam bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar. Qadian terletak 57 km sebelah Timur kota Lahore, dan 24 km dari kota Amritsar di propinsi Punjab, India.

Keturunan Barlas

Hazrat Ahmad as. adalah keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh, yang merupakan paman Amir Tughlak Temur. Tatkala Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand, dan mulai menetap disana. Tetapi pada abad kesepuluh Hijriah atau abad keenambelas masehi, seorang keturunan Haji Barlas, bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 orang pengikutnya hijrah dari Khorasan ke India karena beberapa hal, dan tinggal di kawasan sungai Bias dengan mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur, 9 km jauhnya darii sungai tersebut.

Q a d i a n

Mirza Hadi Beg adalah seorang cerdik pandai, karena beliau oleh pemerintah pusat Delhi diangkat sebagai qadhi (hakim) untuk daerah sekelilingnya. Oleh sebab kedudukan beliau sebagai qadhi itulah maka tempat tinggal beliau disebut Islampur Qadhi. lambat laun kata Islampur hilang, tinggal Qadhi saja. Dikarenakan logat daerah setempat, akhirnya disebut sebagai Qadi atau Qadian.

Demikianlah keluarga Barlas tesebut pindah dari Khorasan ke Qadian secara permanen. Selama kerajaan Moghul berkuasa, keluarga inii senantiasa memperoleh kedudukan mulia dan terpandang dalam pemerintahan negara. Setelah kejatuhan kerajaan Moghul, keluarga ini tetap menguasai kawasan 60 pal sekitar Qadian, sebagai kawasan otonomi. Tetapi lambat laun bangsa Sikh mulai berkuasa dan kuat, dan beberapa suku Sikh dari Ramgarhia, setelah bersatu mulai menyerang keluarga ini. Selama itu buyut Hazrat Ahmad as. tetap mempertahankan diri dari serangan musuh. Teapi di zaman kakek beliau, daerah otonomi keluarga ini menjadi sangat lemah, dan hanya terbatas di dalam Qadian saja yang menyerupai benteng dengan tembok pertahanan di sekelilingnya. Daerah-daerah lain telah jatuh ke tangan musuh. Akhirnya bangsa Sikh dapat juga menguasai Qadian dengan jalan mengadakan kontak rahasia dengan beberapa penduduk Qadian, dan semua anggota keluarga ini ditawan oleh bangsa Sikh. Tetapi setelah beberapa hari, keluarga ini diiziinkan meninggalkan Qadian, lalu mereka pergi ke Kesultanan Kapurtala dan menetap disana selama 12 tahun. Setelah itu tibalah zaman kekuasaan Maharaja Ranjit Singh yang berhasil menguasai semua raja kecil, dan beliau mengembalikan sebagian harta benda keluarga tersebut kepada ayah Hazrat Ahmad as. yang bekerja dalam tentara Maharaja itu beserta saudara-saudaranya.

Kemudian datanglah bangsa Inggris yang mengalahkan pemerintah Sikh, dan merampas segala kekayaan keluarga ini, kecuali satu daerah Qadian yang amat kecil dibiarkan dalam kepemilikan keluarga tersebut.

Dokumen Tentang Keluarga

Baiklah sekarang kami cantumkan di bawah iini apa yang ditulii oleh Sir Lepel Griffin dalam bukunya The Punjab Chiefs, tentang keluarga Hazrat Ahmad as :

“Pada tahun 1530, tahun-tahun terakhir pemerintahan kaisar Babar, Hadi Beg, seorang Moghul dari Samarkand , hijrah ke Punjab dan menetap di daerah Gurdaspur. Ia adalah seorang terpelajar serta bijak, dan diangkat oleh pemerintah menjadi qazi atau magistrate untuk 70 kampung di sekitar Qadian. Dialah yang mendirikan Qadian, dan mula-mula dinamainya Islampur Qazi, yang lambat laun berubah menjadi Qadian. Keluarga ini tetap memegang kedudukan dan pangkat yang pantas serta terpandang dalam pemerintahan hingga beberapa turunan. Hanya waktu pemerintahan Sikh keluarga ini jatuh miskin.”

“Gul Muhammad dan puteranya yang bernama Ata Muhammad, terus menerus bertempur dengan Ramgarhia serta Kanahaya Misals yang menguasai kawasan-kawasan sekitar Qadian. Akhirnya semua daerah itu lepas dari tangan mereka, dan Ata Muhammad melarikan diri ke Begowal meminta perlindungan pada Sardar Fateh Singh Ahluwalia (buyut kepala suku penguasa kawasan Kapurtala sekarang), dan ia menetap disana selama 12 tahun. Ketika (Maharaja) Ranjit Singh menaklukkan seluruh kawasan Ramgarhia Misal, ia mengundang Ghulam Murtaza kembali ke Qadian dan mengembalikan sebagian warisan kekeyaan nenek moyangnya kepadanya.”

“Kemudian Ghulam Murtaza dan saudaranya menjadi tentara Maharaja, dan menjalankan tugas-tugas pentingnya di tapal batas Kashmir serta tempat-tempat lainnya.”

“Pada zaman Nao Nihal Singh dan Darbar, Ghulam Murtaza rutin memegang jabatan (di ketentaraan). Pada tahun 1841, ia dikirim ke daerah Mandi dan Kulu beserta Jenderal Ventura. Pada tahun 1843 ia memimpin tentara yang dikirim ke Peshawar dan dalam kerusuhan di Hazarah ia berjasa besar. Dalam pemberontakan tahun 1848, ia tetap setia pada pemerintah dan bersama saudaranya, Ghulam Muhyiddn, ikut membantu pemerintah. Tatkala Bhai Maharaj Singh sedang membawa pasukannya ke Multan untuk menolong Diwan Mul Raj, waktu itu Ghulam Muhyiddin beserta kepala suku lainnya, Langer Khan Sahiwal dan Sahib Khan Tiwana menggerakan orang-orang Islam, dan dengan tentara Misra Sahib Dayal menyerang kaum pemberontak dan mengalahkan mereka secara total; mengusir mereka sampai ke [sungai] Chenab, disana mereka 600 orang mati tenggelam.”

“[Ketika Inggris menguasai Punjab], harta benda dan tanah milik keluarga ini dirampas kembali. Hanya satu, pensiun sebesar 700 rupis, dan hak miliik untuk Qadian serta beberapa kampung sekitarnya ditetapkan bagi Ghulam Murtaza serta saudara-saudaranya. Dalam pemberontakan tahun 1857, keluarga ini memainkan peran yang terpuji. Ghulam Murtaza memasukkan banyak orang ke dalam tentara, dan anaknya yang bernama Ghulam Qadir ikut dalam tentara Jendral Nicholson di Trimughat ketika menghancurkan para pemberontak 46 Native Infantry melarikan diri dari Sialkot.”

“Jendral Nicholson telah memberikan sebuah surat penghargaan kepada Ghulam Qadir yang menyatakan bahwa dalam tahun 1857 keluarganya di Qadian distrik Gurdaspur betul-betul telah membantu dan setia kepada pemerintah, melebih keluarga-keluarga lain di kawasan itu.”1

Ghulam Murtaza adalah seorang tabib yang sangat mahir. Ia wafat pada tahun 1876, dan anaknya Ghulam Qadir senantiasa suka membantu para pejabat pemerintah dan ia mendapat banyak surat penghargaan dari pemerintah. Ghulam Qadir pernah bekerja sebagai superintendant di kantor pemerintah distrik dii Gudaspur. Anaknya meningal waktu kecil, dan ia pungut keponakannya, Sultan Ahmad (putra Hazrat Ahmad as. sendiri-pen), sebagai anak. Ghulam Qadir wafat pada tahun 1883. Mirza Sultan Ahmad pun mulai jadi pegawai pemerintah sebagai asisten wedana, dan sekarang2 menjadi collecteur serta kepala daerah Qadian. Saudara Nizamuddin yang bernama Isamuddin wafat pada tahun 1904, dan waktu pengepungan Delhi, ia menjadi kepala pasukan dalam tentara Hadson Horse, dan bapaknya yang bernama Ghulam Muhyiddin menjabat wedana.

Perlu rasanya disebutkan disini, anak kedua Ghulam Mutaza, bernama Ghulam Ahmad adalah orang yang mendirikan jemaat Ahmadiyah yang mashur ini dalam Islam. beliau lahir pada tahun 1835, dan memperoleh pelajaran serta pendiidikan yang baik. Pada tahun 1891 beliau menda’wakan diri sebagai Imam Mahdi atau Masih Mau’ud menurut agama Islam. Beliau adalah seorang yang pandai dan alim, sehingga perlahan-lahan banyaklah orang yang mengikuti beliau. Dan sekarang Jemaat Ahmadiyah di Punjab serta kawasan-kawasan lainnya di India telah melebihi tiga ratus ribu orang. Mirza Ghulam Ahmad mengarang benyak buku dalam bahasa Arab, Farsi dan Urdu, serta memberikan penjelasan yang benar tentang masalah jihad. Orang-orang berpendapat buku-buku itu sungguh telah menguntungkan orang-orang Islam. Lama beliau mengalami penderitaan karena perlawanan pihak lain. Acapkali beliau diseret ke pengadilan maupun ke dalam perdebatan-perdebatan. Akan tetapi sebelum beliau wafat pada tahun 1908, beliau telah memperoleh kedudukan yang demikian rupa sehingga orang-orang yang menentang pun menghormati beliau.

Pusat golongan ini di Qadian. Disana Anjuman Ahmadiyah telah mendirikan sebuah sekolah dasar dan percetakan yang digunakan untuk menyiarkan ajaran serta berita-berita tentang Jemaat ini. Pengganti Mirza Ghulam Ahmad as. yang pertama adalah Maulvi Nuruddin, yang pernah menjadi tabib terkemuka di Maharaja Kashmir beberapa tahun lamanya.

Keluarga ini mempunyai hak kekuasaan atas seluruh kawasan Qadian dan hak untuk menarik pajak 5 % dari tiga desa yang berdampingan dengan Qadian.

Masa Kanak-kanak

Setelah sejarah ringkas silsilah Hz. Mirza Ghulam Ahmad as., baiklah sekarang saya terangkan keadaan beliau dimasa kanak-kanak. Sebagaimana telah dijelaskan, Hz. Ahmad lahir pada tahun 1835 ketika ayah beliau sedang jaya dan gembira karena berhasil mendapatkan kembali tanah-tanah pusaka, serta mempunyai kedudukan yang baik di kerajaan Maharaja Ranjit Singh. Akan tetapi Allah Ta’ala menghendaki supaya Hazrat Ahmad mendapat pendidikan dan pemeliharaan dalam suasana yang lebih menarik perhatian beliau kepada-Nya.

Tiga tahun setelah Hazrat Ahmad as. lahir, Maharaja Ranjit Singh meninggal dunia, dan kerajaan Sikh mulai melemah. Kejadian ini mempengaruhi keadaan ayah beliau. Dan ketika seluruh Punjab jatuh ke tangan Inggris, tanah-tanah pusaka dirampas kembali. Meskipun ayah beliau membelanjakan puluhan ribu rupis untuk mengambil kembali tanah-tanah pusaka tersebut, tetap tak berhasil. Dan hal ini sangat menyedihkan hatinya. Hazrat Ahmad as. sendiri telah menerangkan hal itu dalam sebuah buku beliau sbb :

“Ayahanda berduka dan bersedih hati karena kekalahan-kekalahan yang dialaminya dalam perkara-perkara untuk mendapatkan kembali tanah-tanah pusakanya. Beliau telah membelanjakan 70.000 rupis dalam perkara-perkara semacam itu, yang kesemuanya tidak berhasil sedikit pun. Kehilangan semua harta pusaka dari tangan kami yang tidak mungkin diperoleh kembali. Kerugian ini sangat menyedihkan ayahanda, dan beliau menjalani hidupnya dengan penuh duka dan penyesalan yang amat dalam. Melihat keadaan ayahanda demikian, saya mendapat gerakan dan kesempatan untuk mengadakan perubahan suci dan sejati dalam diri saya. Pengalaman yang sedih dan pahit dari kehidupan ayahanda menjadi pelajaran bagi saya untuk mencari kehidupan yang suci dan bersih dari kekotoran dunia. Walaupun ayahanda masih memiliki beberapa kampung dan mendapat hadiah tahunan dari pemerintah serta menerima pula pensiun dari dinasnya, namun kesemuanya itu tidak berarti baginya dibandingkan dengan kejayaannya dahulu. Oleh karena itulah beliau selalu sedih dan berduka. Biasanya ayahanda suka mengatakan: “Usaha dan perjuangannya yang telah aku lakukan untuk dunia yang kotor ini aku sudah menjadi wali atau orang suci.”

Demikian pula beliau sering membaca syair-syair yang menyatakan betapa dalam penyesalan hati beliau atas kehidupannya sendiri yang sebagian besar disia-siakannya dalam urusan dunia belaka. Dan hati beliau berhasrat untuk mendapat rahmat serta karunia Allah.

Penyesalan beliau– karena tidak mengusahakan apa-apa untuk menghadap ke hadirat Ilahi–makin lama semakin bertambah kuat di hati beliau. Dengan sedih beliau sering berkata: “Sayang aku telah merusak hidupku untuk urusan dunia yang sia-sia belaka.”

Tulisan tentang keadaan ayah beliau tersebut, sewaktu beliau masih kanak-kanak sampai baligh, menyatakan bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan kondisi tertentu sebagai pelajaran dan pendidikan bagi beliau sehingga kecintaan terhadap dunia tidak timbul di hati beliau. Ayah serta kakek beliau pada waktu itu memiliki kedudukan tinggi dan terhormat di masyarakat dunia, dan para pejabat negara sangat hormat serta ta’zim kepada mereka. Tetapi upaya mereka seumur hidup — untuk merebut kemuliaan dan kekayaan dunia sebagaimana yang mereka inginkan menurut hak keluarga itu — akhirnya gagal semua. Hal ini menjadi pelajaran bagi seorang yang hatinya suci dari segala kekotoran, bahwasanya dunia ini tidak kekal dan akhirat-lah yang disukai oleh Allah. Maka Hazrat Ahmad as. pun tidak melupakan pelajaran ini sampai wafat. Walau dunia mencoba menarik beliau dengan berbagai cara untuk menyesatkan beliau dari tujuan, beliau tetap tidak pernah tergoda untuk keluar setapak pun dari jalan yang benar.

Pendek kata, Hazrat Ahmad as. sewaktu kanak-kanak telah menyaksikan contoh-contoh yang begitu pahit dalam kehidupan ayah beliau, sehingga kemauan untuk dunia telah padam dari sanubari beliau. Ketika masih kecil sekali, segala keinginan dan cita-cita beliau as. ditujukan pada keridhoan Ilahi.

Tuan Syekh Yaqub Ali, pengarang riiwayat hidup Hazrat Ahmad as., telah mencantumkan suatu kejadian yang amat menarik. Ketika kecil, Hazrat Ahmad as. sering mengatakan kepada seorang anak perempuan yang seumur dengan beliau, “Doakanlah, supaya Allah memberi taufik kepada saya untuk shalat.” Perkataan ini menyatakan betapa perasaan suci bergelora dalam sanubari beliau ketika masih kanak-kanak. Dan segala keinginan serta cita-cita beliau as. hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala semata.

Demikianlah pula hal ini menampilkan anggapan beliau ketika kecil bahwa hanya Allah lah yang dapat menyempurnakan segala keinginan dan yang memberi taufik, juga untuk beribadah. Sejak kecil beliau hidup dalam keluarga yang sama sekali condong kepada dunia belaka. Tetapi beliau as. pada waktu kanak-kanak mempunyai keinginan untuk shalat dan percaya bahwa taufik untuk menyempurnakan keinginan itu hanya Allah lah yang dapat memberikannya.

Hal ini membuktikan bahwa keadan semacam itu tidak mungkin timbul dalam sanubari seseorang selain yang hatinya suci dari sentuhan dunia sama sekali, serta yang ditolong oleh Allah untuk mengadakan suatu perubahan agung dan suci di dunia ini.

Masa-Masa Pendidikan

Kejahilan/kebodohan benar-benar dominan ketika Hazrat Ahmad as. lahir ke dunia ini. Orang-orang umumnya tidak memberikan perhatian pada pelajaran dan pengetahuan sedikitpun. Pada zaman pemerintahan Sikh, jarang terdapat orang yang pandai membaca dan menulis. Sebagian besar orang-orang kaya dan terpandang pun buta huruf. Tetapi karena Allah Ta’ala hendak menggunakan beliau as. untuk suatu pekerjaan yang sangat agung, maka Dia menanamkan kemauan yang cukup kepada beliau as.

Berbagai macam hambatan dan keadaan jahiliah zaman itu tidak melalaikan sang ayah dari kewajibannya menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya. Waktu Hazrat Ahmad as. masih kanak-kanak, ayah beliau telah mempekerjakan seorang guru bernama Fazal Ilahi untuk mengajar beliau mengaji Al Quran serta beberapa kitab bahasa Farsi (1841). Setelah berusia 10 tahun, dipanggil lagi seorang guru bernama Fazal Ahmad yang amat baik dan benar-benar beragama (1845). Hazrat Ahmad as. sendiri menuliskan bahwa guru itu mengajar beliau beberapa kitab saraf-nahu (gramatika) bahasa Arab, dengan giat dan penuh kecintaan. Setelah beliau as berusia 17 tahun, ditetapkan seorang guru lain bernama Gul Ali Shah, untuk mengajarkan beberapa kitab nahu dan mantik ( logika). Ilmu ketabihan beliau pelajari dari ayah beliau sendiri yang merupakan seorang tabib mahir dan pandai. Pelajaran semacam ini pada zaman itu terpandang cukup tinggi, namun bila dibandingkan dengan kewajiban yang akan beliau emban, hal itu tidak berarti sedikit pun. Kami telah menyaksikan sendiri orang-orang lain yang ikut belajar bersama beliau as. dari guru-guru yang sama. Mereka tidak memiliki kepandaian yang luar biasa dan mereka tidak berbeda dengan orang-orang lain yang mendapatkan pelajaran semacam itu. Begitu pun guru-guru yang mengajar beliau as. bukanlah alim ulama yang tinggi ilmunya, melainkan hanya menguasai beberapa kitab bahasa Arab serta Farsi saja. Pelajaran yang diberikan kepada beliau as. pada waktu itu sama sekali tidak cukup untuk mempersiapkan beliau terhadap kewajiban yang bakal Allah Ta’ala serahkan kepada beliau as.

Setelah Masa Pendidikan

Ketika Hazrat Ahmad as. selesai menuntut pelajaran, waktu itu pemerintah Inggris sepenuhnya telah menguasai seluruh Punjab. Dan bahaya pemberontakan pun telah padam. Warga India telah mulai bekerja di pemerintah Inggris untuk mendapakan kedudukan dan kemajuan. Para pemuda dari berbagai keluarga telah mulai bekerja di kantor-kantor pemerintah. Dalam situasi demikian, Hazrat Ahmad as. yang sama sekali tidak tertarik pada pekerjaan pertanian — atas kehendak ayah beliau — berangkat di kantor Bupati Sialkot. Tetapi sebagian besar waktu beliau digunakan untuk menimba ilmu. Waktu di luar beliau pakai untuk menelaah buku-buku atau mengajar orang lain, berdiskusi tentang agama. Walupun beliau masih muda — waktu itu berusia 28 tahun — karena taqwa dan kesucian amal beliau, para orang tua dari golongan Islam maupun Hindu sama-sama menghormati beliau. Pada waktu itu beliau jarang bepergian, justru suka menyendiri dan menyepi.

Para pendeta Kristen pun pada waktu itu mulai menyebarkan agama mereka di Punjab. Sebagian besar orang Islam tidak dapat menjawab serangan-serangan mereka. Tetapi ketika berdiskusi dengan Hazrat Ahmad as., senantiasa saja orang-orang Kristen mengalami kekalahan dan dari antara pendeta Kristen, mereka yang mencintai kebenaran sangat hormat terhadap beliau as.. Seorang pendeta Kristen bernama Mr. Butler M.A. yang bekerja di Scoth Mission di kota Sialkot, sering bertukar pikiran dengan Hazrat Ahmad as., dan sangat tertarik pada beliau. Tatkala Mr. Butler hendak kembali ke negerinya, ia datang ke kantor kabupaten Sialkot untuk berjumpa dengan Hazrat Ahmad as.. Bupati menanyakan, untuk apa tuan datang ke kantor kami? Dijawab oleh Mr. Butler, bahwa ia datang hanya untuk berjumpa dengan Tuan Mirza Ghulam Ahmad saja. kemudian ia terus pergi ke tempat Hazrat Ahmad as., dan setelah berbincang-bincang beberapa saat, ia pun pulang.

Ada waktu itu, para pendeta Kristen menganggap kemenangan pemerintah Inggris sebagai kemenangan agama mereka, dan mereka sangat sombong serta karangan-karangan mereka ketika itu menyatakan keinginan mereka untuk memasukkan semua orang Islam ke dalam agama Kristen melalui tangan besi pemerintah. Mereka menggunaan kata-kata yang sangat kotor dan keji terhadap agama Islam dan Nabi Muhammad saw.. Beberapa orang Eropa yang ahli, pernah menyatakan bahwa kemungkinan timbulnya kembali pemberontakan seperti tahun 1857 dapat muncul akibat tulisan-tulisan yang sekeji itu dari kalangan Kristen. Lama sekali para pendeta Kristen berpendirian seolah-olah merekalah yang berkuasa di India, dan bukan pemerintah Inggris. Tetapi akhirnya mereka insyaf juga , bahwa pemeriintah Inggris yang bekuasa di India dan pemerintahan Ratu Victoria tidak ingin mengembangkan agama Kristen dengan tangan besi, dan sama sekali tidak ingin mengganggu agama manapun.

Boleh dikatakan bahwa pergeseran antara orang-orang Islam dan Kristen ketika itu sangat hebat. Para pendeta Kristen suka marah kepada siapa saja yang berani membantah keterangan-keterangan mereka. Meski pun Hazrat Ahmad as. senantiasa menyalahkan keterangan-keterangan Kristen, tetapi pendeta Butler M.A. sangat tertarik pada kesucian, ketaqwaan dan keikhlasan beliau as.. Sekali pun Mr. Butler mengetahui bahwa ia tidak akan dapat menarik Hazrat Ahmad as. dan malahan ia sendiri yang akan tertarik oleh keterangan-keterangan yang jitu dari Hazrat Ahmad as., namun ia tidak mampu menjauhkan diri dari beliau as.. Mr. Butler benar-benar tertarik pada kesucian dan ketaqwaan Hazrat Ahmad as. dan ketika hendak pulang ke negerinya, ia menyempatkan waktu untuk berjumpa dengan Hazrat Ahmad as. terlebih dahulu.

Behenti Bekerja

Hampir 4 tahun lamanya Hazrat Ahmad as. bekerja di Sialkot dengan memaksakan diri. Namun akhirnya setelah mendapat izin dari sang ayah, beliau as. minta berhenti dari pekerjaan beliau dan pulang dari Qadian.

Berdasarkan perintah sang ayah, beliau as. bekerja harus mengikuti perkara-perkara pengadilan tanah pusaka keluarga, namun hati beliau sama sekali tidak tertarik pada hal-hal semacam itu. Beliau as. sangat patuh dan tunduk terhadap perintah orang-tua beliau. Beliau tidak mau membantah perintah sang ayah. padahal beliau sendiri tidak senang terhadap pekerjaan itu. Seringkali setelah kalah dalam suatu perkara beliau pulang dengan air muka yang berseri-seri, sehingga orang-orang menganggap beliau as. telah menang dalam perkara tersebut. Tatkala beliau as. menerangkan bahwa beliau kalah dalam perkara itu, orang-orang bertanya, mengapa Tuan begitu gembira? Beliau as menjawab, “Saya telah berupaya tetapi terjadi apa yang telah dikehendaki oleh Allah Ta’ala, dan dengan selesainya perkara ini saya mendapat kelonggaran waktu untuk mengingat Allah Ta’ala.”

Itulah masa yang sangat sukar dan ganjil bagi Hazrat Ahmad as.. Sang ayah menghendaki beliau as. mengurus tanah-tanahnya atau mencari pekerjaan lain, sedangkan kedua hal itu tidak beliau sukai. Oleh karenanya, sering beliau as. dicela atau dimarahi, tetapi ketika ibu beliau masiih hidup, sang ibu senantiasa melindungi beliau as.. Setelah ibu beliau wafat, beliau as. sering menanggung kemarahan serta celaan dari kakak dan ayah beliau, sebab mereka menganggap beliau as. tidak suka bekerja untuk penghidupan hanya karena malas.

Ayah beliau sering mengatakan dengan sedih, “Bagaimanakah anakku ini akan memperoleh penghidupannya, dan juga sangat sedih kalau nanti untuk keperluan hidupnya ia memerlukan pemberian kakaknya saja.” Melihat Hazrat Ahmad as. siang malam hanya membaca buku saja, sang ayah sering gusar hati, dengan menamakan beliau maulvi (kiai) sang ayah mengatakan: “Dari mana pula maulvi yang satu ini telah muncul di rumah kita ?”

Walau pun begitu, sang ayah sangat terkesan oleh kesucian dan ketakwaan beliau as.. Apalagi ketika merasakan dan teringat akan kekalahan dalam usaha-usaha duniawinya. Sang ayah gembira juga melihat beliau as. begitu giat dalam keagamaan dengan mengatakan, “Inilah sebenarnya pekerjaan yang tengah dikerjakan oleh anakku ini.” Disebabkan ayah beliau seumur hidup berjuang hanya untuk dunia saja, maka rasa penyesalan sering mempengaruhi Hazrat Ahmad as.. Tetapi hal itu sama sekali tidak menghalangi beliau as. dari tujuan yang sebenarnya. Bahkan as. sering membacakan Alquran dan Hadis bagi ayah beliau.

Itulah suatu kondisi yang amat menakjubkan, bapak dan anak asyik dalam suatu tujuan yang berlainan, masing-masing hendak menarik yang lain kepada tujuannya. Sang bapak ingin supaya anaknya menyetujui pendiriannya dan berjuang untuk kehormatan serta kekayaan dunia, tetapi sang anak berkeinginan agar bapaknya lepas dari cengkeraman dunia dan masuk dalam kecintaan Ilahi. Pendek kata, keadaan hari-hari itu tidak dapat digambarkan dalam tulisan. Masing-masing hanya dapat dibayangkan dalam sanubarinya.

Sekali lagi beliau as. dimintakan untuk menjadi kepala pendidikan di Kesultanan Kapurtala, tetapi itu pun beliau tolak dan lebih suka tnggal di rumah saja, supaya sedapat mungkin menolong sang ayah yang amat sedih itu. Sebagaimana telah dijelaskan, beliau memang tidak menyuka urusan-urusan tanah pusaka itu, tetapi atas perintah ayah beliau dan guna menggembirakan serta menghibur sang ayah yang sudah lanjut usia itu, beliau as. dengan giat menjalankan perkara-perkara tersebut tanpa memperhatikan menang kalahnya.

Walau pun Hazrat Ahmad as. menjalankan perkara-perkara tu sekedar untuk membantu ayah beliau, namun hati beliau tetap terkat dalam kecintaan Ilahi. Misi beliau as. adalah : “Tangan bekerja, hati tertumpu pada Sang Kekasih.” Setiap selesai urusan perkara-perkara itu beliau as. langsung kembali tenggelam dalam ibadah dan zikir Ilahi. Selama bepergian untuk perkara-perkara tersebut, tidak ada satu shalat pun yang tidak beliau kerjakan pada waktunya. Bahkan ketika pengadilan sedang berlangsung, shalat tetap tidak beliau lewatkan dari waktunya.

Sekali peristiwa, beliau as. pergi ke pengadilan untuk suatu urusan perkara yang sangat penting dan dapat mempengaruhi perkara-perkara lainnya. Waktu itu hakim sedang memeriksa perkara lain, maka perkara beliau lambat diperiksa. Sementara menunggu giliran perkara beliau, waktu shalat sudah mulai sempit, maka setelah berwudhu beliau langsung shalat di bawah pohon, dengan menyerahkan perkara itu kepada Allah Ta’ala. Ketika beliau as. sedang shalat, hakim memanggil nama beliau, tetapi beliau as. dengan tenang terus saja mengerjakan shalat beliau dan sama sekali tidak peduli pada hal-hal lain. Menurut peraturan pengadilan, dalam suatu perkara kalau satu pihak tidak hadir bila dipanggil, maka perkara itu akan diputuskan dengan memenangkan pihak yang lain. Maka setelah shalat, beliau as. menganggap tentu perkara beliau telah dikalahkan, dan beliau menuju ke ruang pengadilan untuk mendapatkan kabar tentang keputusan perkara tersebut. Kepala pengadilan disitu adalah seorang Inggris. Setelah memeriksa berkas-berkas perkara tersebut, kepala pengadilan itu ternyata telah memutuskan perkara tersebut dengan kemenangan di pihak Hazrat Ahmad as..

Demikianlah Allah Ta’ala menolong beliau. Dapat dikatakan bahwa beliau as. menjalankan tugas itu seperti dipaksakan mengerjakan hal-hal yang tidak beliau sukai. Padahal perkara-perkara itu akan bermanfaat bagi di beliau as.. Sebab dengan terpeliharanya harta pusaka sang ayah, berarti terpelihara pula harta pusaka bagi diri beliau as. sendiri, karena beliau akan mewarisinya. meskipun beliau as. cukup cerdas dan cerdik, beliau tetap tidak suka perkara-perkara demikian. Hal itu membuktikan bahwa beliau as. sangat tidak menyukai keduniawian dan hanya bertujuan kepada Allah Ta’ala semata.

Rajin Bekerja

Sekali pun beliau as. tidak menyukai keduniaan, beliau sama sekali bukan orang yang malas. Justru beliau sangat rajin dan suka bekerja keras. Beliau suka menyepi dan menyendiri, tetapi sedikitpun tidak berarti menjauhkan diri dari kerja keras. Kadangkala bila bepergian, Khadim disuruh menunggang kuda ke depan lebih dulu dan beliau sendiri jalan kaki sampai lebih dari 20 pal hingga ke tujuan. Jarang sekali beliau memakai kendaraan, bahkan sering pergi dengan berjalan kaki saja. Sampai akhir hayat pun beliau biasa berjalan kaki demikian. Walau usia telah lebih 70 tahun dan beliau sering sakit keras, namun hampir tiap hari beliau berjalan kaki empat sampai lima pal. Bahkan kadang-kadang sampai tujuh pal. Sebelum beliau terlalu tua, kadang-kadang sebelum Subuh beliau as. berangkat dari rumah ddi Qadian untuk berjalan kaki dan setelah sampai di kampung Wadulah yang terletak lima setengah pal dari Qadian barulah masuk waktu untuk shalat Subuh.

Kewafatan Sang Ayah & Ilham Pertama

Pada tahun 1876 Hazrat as berusia kurang lebih 40 tahun ketika ayah beliau sakit, dan penyakitnya tidaklah begitu berbahaya. Tetapi Allah Ta’ala menurunkan ilham berikut ini kepada beliau as:

Persumpahan demi Langit yang merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah tenggelamnya matahari pada hari in3 i.

Beriringan dengan itu kepada beliau diberikan pengertian bahwa ilham ini mengabarkan tentang kewafatan ayah beliau as. yang akan terjadi setelah Maghrib. Sebelum ilham ini, sudah lama Hazrat Ahmad as. sering mendapat ru’ya shalihah (mimpi yang benar) yang telah sempurna dengan jelas pada waktunya, dan disaksikan pula oleh orang-orang Sikh dan Hindu yang sebagian masih hidup sampai sekarang. Tetapi sebagai ilham, inilah ilham yang pertama beliau terima , dan dengan perantaraan ilham ini Allah Ta’ala dengan cinta-Nya seolah-olah menyatakan behwa : ayahmu di dunia ini akan wafat sekarang, dan mulai hari ini Aku dari Langit akan menjadi ayah bagimu.

Demikianlah ilham pertama yang diterima Hz. Masih Mau’ud as. yang mengabarkan tentang kewafatan sang ayah. Sudah wajar khabar ini membuat hati beliau sedih, bahkan kesedihan itu ditambah dengan kekhawatiran tentang siapa yang akan mengurus penghidupan beliau as. selanjutnya? Oleh sebab itu Allah Ta’ala memberikan ilham kedua kepada beliau as. untuk menenteramkan hati beliau. Baiklah, kejadian itu saya terangkan dalam kata-kata Hazrat Ahmad as. sendiri:

“Ketika saya diberi khabar oleh-Nya bahwa ayahanda akan wafat setelah matahari terbenam, sebagai manusia hati saya sangat sedih dan gelisah. Sebagian besar penghidupan kami bergantung pada ayahanda. Sebab beliau biasa mendapat pensiun dan hadiah yang agak besar dari pemerintah, yang tentu akan dihentikan setelah beliau wafat. Maka timbullah di dalam pikiran, apa yang akan terjadi setelah ayahanda wafat? Hati merasa khawatir kalau-kalau dalam hari-hari mendatang kami akan menderita kesusahan dan kesukaran. Semua pikiran ini secepat kilat melewati diri saya, tiba-tiba saya rasakan seperti tidur dan menerima ilham yang kedua ini :

Apakah Allah tidak cukup bagi hamba- Nya?

Dari ilham ini hati saya menjadi teguh, bagai luka parah yang tiba-tiba menjadi sembuh dan pulih karena suatu obat. Setelah mendapat ilham ‘Alaysallaahu bikaafin ‘abdahu’ saya yakin bahwa Allah Ta’ala pasti akan menolong saya. Kemudian saya memanggil seorang warga Hindu penduduk Qadian, bernama Malawa Mal yang hingga kini masih hidup, dan menceritakan semua kejadian itu kepadanya. Lalu saya serahkan tulisan ilham itu kepadanya dan menyuruhnya pergi ke Amritsar minta tolong Hakim Maulvi Muhammadd Syarif Kalanauri untuk mengukirkan ilham tersebut pada sebuah mata cincin berupa stempel (cap). Untuk menyelesaikan urusan ini saya sengaja memilih orang Hindu supaya ia menjadi saksi tentang khabar ghaib itu. Maka cincin cap itu diselesaikan oleh Maulvi tersebut dengan harga 5 rupis, kemudian oleh Malawa Mal diserahkan pada saya.”

Cincin itu sampai sekarang ada pada saya (Khalifatul Masih II, penulis buku ini-pen.). Pendek kata, pada hari kewafatan beliau., beberapa jam sebelum Maghrib Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang kewafatan ayah beliau. Sesudah itu Allah Ta’ala menenteramkan dan membesarkan hati beliau dengan menerangkan bahwa beliau tidak perlu khawatir, sebab Allah Ta’ala lah yang akan mengatur segala urusan beliau. Pada hari beliau mendapat ilham-iham itu, ayah beliau as. pun wafat setelah Maghrib, dan mulailah suatu era baru dalam kehidupan beliau as.

Harta pusaka ayah beliau berupa rumah-rumah, toko dan tanah-tanah terletak di kota Batala, Amritsar, Gurdaspur dan Qadian. Beliau punya saudara seorang lagi, sehingga hanya dua orang saja yang akan mewarisi harta pusaka ayah beliau. Yakni beliau as. berhak mendapat setengah harta pusaka itu yang akan mencukupi keperluan hidup beliau as.. Tetapi beliau tidak minta harta benda itu dibagi, melainkan apa saja yang diberi oleh kakak beliau, beliau terima dengan rasa syukur dan senang.

Demikianlah Hazrat Ahmad as. menganggap sang kakak sebagai pengganti ayah beliau. Tetapi berhubung sang kakak dinas dan tinggal di Gurdaspur, waktu itu beliau as. selalu mengalami kesulitan yang berlanjut sampai kewafatan sang kakak. Dapat dikatakan beliau as. mendapat cobaan yang berat dalam tahun-tahun itu. Namun beliau as. tetap sabar dan teguh menghadapi cobaan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa beliau as. sangat mulia dan tinggi dalam kerohaniannya.

Walau pun beliau as. mampunyai hak sama dalam harta pusaka itu, namun melihat sang kakak sangat cenderung pada keduniaan, beliau as. tidak meminta bagian sendiri dan hanya mencukupkan diri dengan pakaian dan makanan saja. Sang kakak pun, karena cinta dan hormat, menurut perasaannya ingin mencukupi keperluan-keperluan beliau as.. Tetapi sang kakak lebih mencintai keduniaan, sedangkan beliau as. sangat tidak menyukai keduniaan. Oleh sebab itu sang kakak menganggap beliau pemalas dan tidak mengenal tuntutan zaman. Malah sang kakak sering mengungkapkan kekesalannya, karena beliau as. tidak mau memperhatikan urusan-urusan keduniaan.

Sekali peristiwa Hazrat Ahmad as. meminta sedikit uang untuk berlangganan sebuah surat kabar, namun meskipun menguasai harta pusaka beliau as. sang kakak menolak permintaan itu dengan mengatakannya sebagai pemborosan untuk orang yang tidak mau bekerja dan hanya duduk-duduk saja membaca surat kabar serta buku-buku.

Demikianlah sang kakak tenggelam dalam keduniaan, sehingga tidak mau tahu akan keperluan-keperluan beliau as. serta tidak mau memberikan perhatian guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Keadaan itu sangat menyusahkan beliau as., tetapi hal yang lebih menyusahkan dari itu adalah, sang kakak jarang tinggal di Qadian. Maka pegawai dan pengurus-pengurus hartanyapun mendapat kesempatan untuk lebih menyusahkan Hazrat Ahmad as..

Mujahidah

Dalam masa itu Allah Ta’ala menerangkan kepada beliau as. bahwa untuk mendapatkan nikmat-nikmat Ilahi perlu melakukan mujahidah juga. Yakni beliau as. harus berpuasa. Menurut perintah Ilahi ini beliau as. berpuasa berturut-turut 6 bulan lamanya. Acapkali makanan yang dikirim untuk beliau telah beliau bagikan kepada fakir miskin. Setelah berbuka puasa, bila beliau as. meminta makanan dari rumah, sering ditolak. Karena itu Hazrat Ahmad as. mencukupkan hanya dengan sedikit air, atau barang lain semacam itu, dan esok harinya berpuasa terus tanpa makan sahur lebih dahulu.

Pendek kata, pada waktu itu beliau dalam keadaaan mujahiidah yang tinggi, dan beliau menjalaninya dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Pada waktu yang amat susah sekali pun beliau as. tidak menunjukkan– secara langsung ataupun dengan isyarat — untuk memperoleh bagian dari harta pusaka beliau. Bukan hanya selama hari-hari puasa itu saja, bahkan pada waktu-waktu lainnya pun Hazrat Ahmad as. suka membagikan makanan kepada orang-orang miskin, dan untuk diri sendiri beliau as. hanya mencukupkan dengan sekerat roti yang tidak lebih dari 50 gram. Kadang-kadang beliau hanya makan kacang-kacangan yang disangrai, sedangkan makanan beliau dibagikan kepada fakir miskin. Maka banyak para fakir miskin suka tinggal dengan Hazrat Ahmad as.. Mereka diperhatikan dan diurus oleh beliau lebih dari keperluan dan kepentingan sendiri — walau pun beliau as. sendiri berada dalam kesusahan. Sedangkan kakak beliau hanya bergaul dan bersahabat dengan orang-orang kaya saja.

Tampil di Hadapan Umum

Hazrat Ahmad as. mulai mengkhidmati agama Islam dengan mengarang buku yang berisi keterangan-keterangan untuk melawan agama Kristen dan Hindu Ariya. Karangan-karangan beliau diterbitkan juga di surat-surat kabar. Karena karangan-karangan inilah nama Hazrat Ahmad as. populer di masyarakat umum, meski pun beliau sendiri jarang keluar dari ruangan yang kecil dan sunyi itu. Malah para tamu sering beliau terima di dalam mesjid, atau suka berdiam di rumah saja. Pada waktu tu nama Hazrat Ahmad as. telah mulai dikenal dan tersiar, tetapi beliau sendiri tidak tampil di hadapan umum, dan tetap dalam suasana yang sunyi dan terpisah itu.

Ketika Hazrat Ahmad as. tengah menjalankan mujahidah tersebut, Allah Ta’ala sering memberi ilham kepada beliau yang mengandung kabar-kabar ghaib, dan menjadi sempurna pada waktunya. Hal-hal ini menambah keimanan serta keyakinan beliau maupun rekan-rekan beliau yang diantaranya terdapat juga orang-orang Sikh serta Hindu. Mereka amat heran dan takjub melihat kejadian-kejadian itu.

Mula-mula beliau as. memuat karangan dalam surat-surat kabar saja. Tetapi ketika beliau melihat bahwa musuh Islam menyerang dengan lebih hebat dan orang-orang Islam tidak mampu menjawab serangan-serangan itu, hingga ghairat Islam bergolak di dada beliau as. Maka berdasarkan ilham dan wahyu Ilahi, beliau bangkit untuk mengarang sebuah buku yang menerangkan perkara-perkara tentang kebenaran agama Islam, yang betul-betul tidak dapat dijawab oleh para musuh Islam untuk selamanya. Tiap-tiap orang Islam dapat mempergunakan keterangan-keterangan itu untuk menjawab segala serangan terhadap Islam. Dengan kemauan dan tujuan itulah beliau as. mulai mengarang buku yang terkenal dengan nama Barahiyn Ahmadiyah, yang tidak ada bandingannya dari karangan-karangan orang lain.

Ketika sebagian karangan telah selesai, beliau as. menganjurkan agar dicetak, dan atas pertolongan orang-orang yang sangat gemar dan memuji karangan-karangan beliau, dapatlah tercetak bagian pertama berupa suatu pengumuman dan seruan. Bagian yang pertama itu saja telah menggoncangkan dan menggemparkan seluruh negeri. Walau pun bagian pertama itu hanya berupa pengumuman dan seruan, tetapi di dalamnya diterangkan juga hal-hal tertentu untuk membuktikan kebenaran Islam, yang amat menarik dan mendapat pujian dari para pembaca buku tersebut.

Dalam pengumuman itu Hazrat Ahmad as. mengemukakan suatu syarat, bahwa keindahan-keindahan Islam yang akan beliau terangkan, jika hal demikian dapat dipaparkan oleh seorang pengikut suatu agama lain dalam agamanya, atau setengahnya saja, atau malah seperempatnya saja sekali pun, maka beliau as. akan menghadiahkan seluruh harta pusaka beliau yang berharga 10.000 rupis kepada orang itu. Inilah pertama kali beliau as. menggunakan harta pusaka beliau dengan menetapkannya sebagai hadiah demi memaparkan keindahan-keindahan Islam, supaya para pengikut agama lain memberanikan diri tampil melawan Islam, yang akhirnya akan membuktikan keunggulan serta kemenangan Islam.

Bagian pertama buku ini dicetak pada tahun 1880, bagian kedua pada tahun 1881, bagian ketiga tahun 1880 dan bagian keempat pada tahun 1884. Sebelum selesai penulisan seluruh buku ini, Allah Ta’ala telah memberi ilham bahwa beliau akan membela dan menyiarkan Islam dengan cara yang lain lagi. Tetapi apa yang telah ditulis dalam buku tersebut pun cukuplah untuk membukakan mata dunia. Setelah tersiarnya buku itu, lawan mau pun kawan memuji serta yakin akan kecakapan beliau as. Tidak seorang pun musuh-musuh Islam dapat menyanggah buku itu. Orang-orang Islam sangat bergembira hati dan mulai menganggap beliau sebagai mujaddid, padahal waktu itu beliau as. belum menda’wakan apa-apa. Para alim ulama pun mengaku kepandaian beliau.

Mlv. Muhammad Hussein Batalwi yang memimpin golongan Ahli-hadiis dan Wahabi — pemerintah pun waktu itu menghormatinya — menulis komentar panjang lebar yang memuji buku Barahiyn Ahmadiyah, dan menerangkan bahwa dalam 13 abad sebelumnya, tidak pernah terbit sebuah buku yang membela Islam sedemikian rupa seperti buku tersebut.

Di dalam buku itu Hazrat Ahmad as. juga mencantumkan beberapa ilham yang beliau terima, sebagian diantaranya kami paparkan disini supaya dapat terlihat bukti-bukti kebenarannya :

Seorang nabi telah datang ke dunia, namun dunia tidak menerimanya4

Akan datang kepadamu hadiah-hadiah dari tempat-tempat yang jauh, dan orang-orang banyak akan datang dari tempat-tempat yang jauh5.

Raja-raja akan mencari berkat dari pakaian-pakaianmu6

Ilham-ilham ini telah dicetak dalam Barahiyn Ahmadiyah pada tahun 1884, ketika beliau as. masih hidup dalam suasana yang sepi dan terpisah dari dunia ramai. Tetapi setelah terbitnya buku itu, nama Hazrat Ahmad as. mulai tersiar ke seluruh India. Banyak pula yang menaruh harapan bahwa pengarang Barahiyn Ahmadiyah akan membela Islam menjawab segala serangan serta tuduhan yang dilontarkan kepada Islam. Dugaan mereka benar, tetapi Allah Ta’ala mengkehendaki agar hal itu sempurna dengan cara lain.

Kejadian-kejadian berikutnya menyatakan bahwa mereka yang tadinya begitu memuliakan serta menghormati beliau as. ternyata merekalah yang menjadi musuh keras beliau, serta berusaha menjatuhkan beliau as. Akan tetapi penerimaan diri beliau capai tidaklah bergantung pada pertolongan manusia, melainkan Allah Ta’ala semata lah yang dengan serangan-serangan hebat akan memastikan dan membuktikan hal itu.

Kewafatan Sang Kakak

Pada tahun 1884 kakak Hazrat Ahmad as, Mirza Ghulum Qadir yang tidak mempunyai keturunan itu telah wafat. dan beliau as. pula yang menjadi warisnya. Tetapi untuk menyenangkan hati janda sang kakak, beliau tidak mengambil harta warisnya. Bahkan atas permintaan janda itu, separuh harta waris beliau as. dipindahkan atas nama Mirza Sultan Ahmad yang telah diangkat sebagai anak pungut oleh janda tersebut.

Hazrat Ahmad as. menyatakan dengan jelas, bahwa menurut Islam tidak ada anak angkat. Tetapi untuk menyenangkan dan menolong janda Mirza Ghulam Qadir itu, beliau as. dengan senang hati telah menyerahkan separuh harta pusakanya. Bagian yang separuh lagi pun tidak segera beliau ambil dan lama dipegang oleh sanak keluarga beliau as.

Satu setengah tahun setelah kewafatan kakak beliau, berdasakan ilham Ilahi, Hazrat Ahmad as. melaksanakan pernikahan kedua di Delhi. [ Selanjutnya ] bersambung ke bagian 2

Khutbah Khalifah Ahmadiyah : Jum’atul Wida dan Tatakrama Mesjid

In Ahmadiyah, Khutbah Khalifah Ahmadiyah, Shalat, Tarbiyat on 31 Oktober 2009 at 04:12

ِمْKHUTBAH JUM’AH
HADHRAT KHALIFATUL MASIH V ATBA.

Tanggal 21 November 2003 di mesjid Fadhal – London.
Tentang : JUM’ATUL WIDA & TATAKRAMA MESJID

Setelah membaca tasyahud, ta’awwudz dan surah Al Fatihah selanjutnya Hudhur Atba
menilawayatkan ayat berikut :
َ
Yang artinya:
“(Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian dipanggil untuk menunaikan shalat pada hari Jum’ah maka bergegaslah untuk mengingat Allah. Dan tinggalkanlah segala urusan jual beli. Hal demikian adalah terbaik bagi kalian sekiranya kalian mengetahui. Dan, apabila shalat telah usai maka bertebaranlah kalian di bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah sebanyakbanyaknya kepada Allah supaya kalian mendapatkan kebahagiaan/kesuksesan (Al-Jumu’ah 10-11).

Hari ini merupakan Jum’ah terakhir bulan Ramadhan, yang mana sudah berjalan sebuah istilah menyebutnya “Jumatulwida.” Di kalangan luar, memang telah diciptakan dalam agama sedemikian rupa kerusakan, sehingga apa yang mereka inginkan mereka dapat namakan, apa yang mereka inginkan mereka amalkan, seberapa yang hati mereka inginkan mereka dapat lakukan, komentarnya terserah apa yang mereka inginkan dan ini merupakan urusan mereka. Bahkan, menurut mereka, jika pada hari Juma’atulwida’ melakukan shalat empat rakaat maka qadhoe umri akan terpenuhi, yakni shalat-shalat yang tertinggal menjadi terbayar sebagai ganti tiga dan empat rakaat yang mereka lakukan. Dan kini/seterusnya tidak perlu lagi melakukan shalat. Shalat-shalat yang dahulu tidak dikerjakan telah cukup.

Mengqadha Shalat

Kemudian pemikiran ini berkembang bahwa apabila Juma’atul-widha’ tiba, maka kita akan shalat empat rakaat lalu akan libur setahun penuh.Maka kalau sudah demikian siapa yang akan enggan pergi ke mesjid melakukan shalat lima waktu (apabila jum’atulwidaa’ tiba – yang sesuai pandangan mereka ?). Atas gerakangerakan/sikap mereka seperti itu ,jelas kita tidak merasa heran sedemikian rupa, karena mereka pasti akan melakukan demikian; sebab dari orang-orang yang ingkar kepada Al-Masih Muhammadi tidak dapat diharapkan sesuatu yang lebih dari itu.

Akan tetapi keheranan itu pasti timbul apabila kondisi itu terjadi pada mereka yang mengimani Imam Zaman dan mendakwakan diri bergabung dalam baiatnya lalu tidak menjaga agama mereka. Pada kondisi umum/hari-hari biasa tidak begitu teratur datang ke mesjid, yang dengan teratur sejumlah orang lakukan, dan sejumlah orang inipun menjadi kian banyak yang dengan begitu teratur datang pada Jum’ah terakhir Ramadhan ini. Padahal, perintah ialah untuk shalat lima waktupun harus datang ke mesjid. Maka, kita yang mendakwakan diri berbaiat di tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., bukanlah merupakan pekerjaan kita bahwa karena meniru orang-orang lain, kitapun menjadi sedemikian tekun/hanyut dalam pekerjaan-pekerjaan dunia sehingga jangankan melaksanakan shalat-shalat (lima waktu) pelaksanaan shalat Jum’ah pun tidak dapat dilakukan dengan teratur. Dan perkiraan akan perkara itu dapat dilihat bahwa di antara kita sejumlah orang-orang Ahmadi pun secara tidak sadar mulai terus mengekor meyakini akan pentingnnya Jum’atulwida. Itu dapat dihitung dari jumlah yang hadir di mesjidmesjid. Jika hari ini, dari antara kita yang pada umumnya datang ke mesjid tidak teratur (belang-belang), tidak menganggap begitu penting hari Jum’ah (lalu hari ini) mereka datang ke mesjid karena Ramadhan telah menciptakan perubahan dalam diri mereka, timbul kesenangan dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan ibadat kepada-Nya dan mereka berjanji bahwa “untuk yang akan datang kami akan menjaga Jum’ah-Jum’ah kami, dan untuk yang akan datang kami akan menjalankan shalat Jum’ah dengan disiplin, sebab, terdapat perintah Allah yaitu: ”Hai orangorang yang beriman! apabila pada suatu bagian hari Jum’ah kalian diseru pada shalat, maka bergegaslah berzikir pada Allah dan tinggalkanlah perniagaan. Ini adalah merupakan hal terbaik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dan apabila shalat telah dilaksanakan maka bertebaranlah di bumi dan carilah dari antara karunia Tuhan dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian menjadi orang yang berjaya.”

Sebagai Kaffarah (Tebusan)

Inilah terjemah ayat-ayat yang saya bacakan tadi. Jika memang seperti ini situasinya, maka orang seperti itu layak untuk mendapat ucapan selamat, bahwa Allah telah menganugerahkan taufik kepadanya untuk menciptakan perubahan di dalam dirinya. Semoga Allah menganugerahkan keteguhan padanya bahwa untuk yang akan datangpun seperti itu mereka akan menyambut perintahperintah Allah, mengamalkannya dan dengan penuh semangat seperti itu semoga mereka termasuk orang-orang yang mengambil bagian dalam semua perintahperintah itu dan kitapun menjadi orangorang yang mengamalkan hadits-hadits itu.

Tertera dalam sebuah hadits yang bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Untuk orang yang menghindar dari dosa-dosa besar adalah [menunaikan] lima shalat, [menunaikan Jum’ah] dari satu Jum’ah sampai ke Jum’ah berikutnya dan dari satu Ramadhan sampai ke Ramadhan berikutnya adalah merupakan kaffarah/tebusan”. (Shahih Muslim kitabul- thaharah.)

Sesuai dengan hadits ini Allah mengingatkan kepada kita terkait dengan penganugerahan taufik. Dan dalam bulan Ramadhan ini perubahan suci yang telah Dia ciptakan dalam diri kita, atas hal itu maka kita sambil memohon karunia-Nya kitapun seyogianya berupaya untuk bekerja. Semoga Allah menegakkan kita pada hal itu dan mesjid-mesjid kita memberikan kesaksian akan hal itu bahwa orang-orang Ahmadi juga memberikan perhatian ke arah datang [untuk beribadah] ke mesjid-mesjid pada waktu shalat lima waktu, dan sebagaimana mereka telah meramaikan mesjid-mesjid jangan dengan berlalunya Ramadhan mulai nampak mesjid-mesjid itu menjadi kosong, bahkan kinipun seperti itulah ramainya sebagaimana itu ramai dalam bulan Rmadhan.

Kemudian sesudah Ramadhan setiap Jum’ah yang akan datang memberikan kesaksian bahwa setelah mengimani Imam Zaman, perubahan suci yang telah kita ciptakan dalam diri kita, dan di dalam Ramadhan kita tambah lebih menjadikannya lebih cemerlang, kini penzahiran keelokan/keindahan itu sedang nampak pada setiap Jum’ah. Ini (orang Ahmadi) bukanlah orang-orang yang hanya datang untuk shalat qadhae umri (shalat empat rakaat sebagai tebusan shalat yang tertinggal di masa yang lalu) mereka nampak ke mesjid. Bahkan mereka adalah orang-orang yang telah menciptakan perubahan-perubahan suci di dalam diri mereka. Ini adalah orang-orang yang ketakwaannya telah begitu tinggi sehingga setiap langkahnya lebih maju dari sebelumnya.

Kini mereka bukanlah orangorang tak peduli bahwa, “Tak apalah, karena Ramadhan telah usai, kini apabila datang Ramadhan yang akan datang maka nanti kita akan lihat belakangan, kita akan melaksanakan (shalat) Juma’atulwidha”. Bahkan mereka ini merupakan orang-orang yang telah menciptakan perubahan sedemikian rupa, sehingga senantiasa berada dalam posisi penantian bahwa untuk menghindarkan diri dari dosa-dosa besar sesuai dengan sabda Rasulullah saw.. yang baru ini saya bacakan, bahwa “Setelah Jum’ah ini Jum’ah yang akan datangpun kita harus laksanakan, itupun juga perlu. Ya, kami akan senantiasa menantikan Ramadhan, namun bukanlah dengan tujuan akan mendapatkan bahwa kami akan mendapat peluang untuk melaksanakan qadhae umri, (penebusan meninggalkan shalat dengan empat rakaat shalat), bahkan karena di dalamnya dibukakan pintu rahmat Allah dan syaithan diikat/dibelenggu. Akan tersedia peluang yang lebih banyak lagi untuk meraih kedekatan dengan Tuhan”.

Sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. :
”Melarang Orang Yang Shalat”
Bahasan terkait dengan qadhai umri tengah berlalu. Di dalam hal ini tertera sebuah sabda dari Hadhrat Masih Mau’ud juga itu saya akan bacakan: “Ada sebuah soal, bahwa di saat Juma’atulwidha orang-orang melaksanakan shalat empat rakaat dan mereka menamakannya qadhae umri dan maksudnya adalah shalat-shalat yang tidak dapat dikerjakan di masa yang lalu itu dapat disempurnakan, apakah itu ada buktinya atau tidak?”

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda : “Ini merupakan hal yang sia-sia, namun ada seorang yang tengah shalat pada saat yang bukan pada waktunya lalu seorang berkata kepada Hadhrat Ali bahwa: “Tuan ini adalah khalifah, kenapa Tuan tidak melarangnya?” Beliau bersabda bahwa “Jangan sampai saya termasuk dalam katagori ayat yang berbunyi: يِذــ.لا َتــ ْيَأَرَأ ىـ َهْنَي () ى.لـَص اَذِإ اًدـْبَع (bagaimana pendapatmu mengenai orang yang melarang seorang hamba tatkala dia melakukan shalat? – Al- ‘Alaq).

Nah, jika ada orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja bahwa, “Saya akan melaksanakan shalat qadhae umri”, maka dia telah melakukan hal yang tidak benar, dan jika dia karena rasa menyesal lalu dia melakukan shalat untuk menjauhkan apa yang telah hilang maka biarkanlah dia melaksanakan itu kenapa kalian melarangnnya? Akhirnya kan dia itu berdoa juga.Ya, di dalam dirinya pasti terdapat tekad yang lemah. Waspadalah, jangan sampai dengan melarangnya maka kalianpun termasuk dalam apa yang disebutkan ayat itu”. Al-Hakam 24 April ; 1901 hal. 65. Fatwa-fatwa Hadhrat Masih Mau’ud a.s.

Beliau bersabda: “Barangsiapa yang dengan sengaja sepanjang tahun meningggalkan shalat dengan niat bahwa dia akan melaksanakannya pada hari qadhae umri maka dia berdosa, tetapi barangsiapa karena malu/menyesal dia bertaubah dan dengan niat bahwa untuk yang akan datang saya/dia tidak akan meninggalkan shalat maka untuknya tidak apa-apa/boleh. Kami dalam perkara itu hanya akan memberikan jawaban seperti jawaban Hadhrat Ali r.a. “Al-Badar jilid 2 no. 15 tanggal 1 Mei 1903 hal. 114.

Maka Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Niat orang yang shalat seperti itu kita tidak mengatahui bahwa dengan niat apa dia melakukan itu. Jika niatnya adalah ingin menciptakan perubahan suci di dalam dirinya dan sambil bertaubah dia melakukan itu bahwa “Untuk yang akan datang saya tidak akan meninggalkan shalat dan saya akan melakukan itu dengan kesungguhan sepenuhnya dan shalat Jum’ah juga saya tidak akan tinggalkan”, maka biarkanlah dia melakukan itu, tidak apa-apa. Dan jika niatnya melaksanakan untuk qadhai umri/sekedar penebusan bahwa “Kali ini kita lakukan baru untuk yang akan datang kita akan lihat bagaimana nanti”, maka ini jelas adalah salah dan dia adalah orang yang berdosa.”

Berkenaan dengan wajibnya Jum’ah sejumlah hadits akan saya sajikan, yang di dalamnya tertera berkenaan dengan tentang wajibnya shalat Jum’ah bahwa betapa pentingnya Jum’ah itu, tetapi tidak tertera seberapa pentingnya Juma’atulwidha itu.

Keutamaan-keutamaan hari Jum’at

Hadhrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda: “Dari antara hari-hari yang terbaik dimana matahari terbit adalah hari Jum’ah. Pada hari itu Adam diciptakan dan pada hari itulah dia dimasukkan ke dalam surga dan pada hari itulah Adam turun [dari surga] dan di dalamnya terdapat saat dimana apapun yang seorang muslim minta/panjatkan kepada Allah maka Allah akan memberikannya”. Jami’ Tirmidzi kitabul-jumu’ah fissa’ati allati turja fiyaumil jumu’ati.

Nah, perhatikanlah betapa banyak berkat-berkat Jum’ah. Satu, itu dinyatakan sebagai hari yang terbaik. Kini, dari hari terbaik pada pandangan Allah dan Rasul-Nya siapa yang tidak ingin mengambil faedah dan mengambil berkah-berkahnya. Di sini jelas, sama sekali tidak terbukti bahwa hanya Jum’atulwidaa merupakan hari yang terbaik. Dengan mendapatkan hari itu kita harus lebih banyak seyogianya beribadah, seyogianya takut kepada Allah, sebab setelah mengirim Adam ke bawah Dia memberitahukan bahwa “Kini pekerjaan kalian adalah beribadah kepada Allah dan menghindar dari seranganserangan syaitan. Dari antara kalian barangsiapa yang takut kepada Aku dan menjadi orang-orang yang beribadat kepada-Ku maka mereka akan disebut hamba-hamba Allah yang Rahmaan. Dan sebaliknya orang-orang yang berjalan bertentangan dengan ajaran-Ku mereka akan menjadi hamba-hamba syaitan.”

Jadi Allah telah memberitahukan bahwa “Orang yang berjalan mengikuti syaitan maka neraka akan saya penuhi dengan mereka”. Tetapi rahmat Allah setiap saat senantiasa bergejolak untuk makhluknya. Meskipun Dia berfirman ini, tetapi Dia senantiasa mengajarkan kepada kita metode pengampunan (dosa-dosa) kita. Oleh karena itulah berfirman bahwa “Barangsiapa yang mengamalkan perintahh-perintah-Ku dan beriman pada Khaatamul-Anbiya maka khabar suka/salam sejahtera bagi kalian, bahwa untuk kalian Aku telah menetapkan suatu hari sedemikian rupa dan pada hari itu ada suatu saat dimana di dalamnya apa saja yang kalian minta kepada-Ku maka Aku akan kabulkan”. Maka bagi orang-orang Ahmadi ini merupakan kedudukan yang tambah lebih menyenangkan bahwa mereka sesuai dengan nubuatan Rasulullah saw.. mereka telah mengenal Imam Zaman, mereka tentu harus lebih menaruh perhatian ke arah ini. Dan bersama doa-doa mereka inipun mereka seyogianya terus panjatkan doa supaya Allah setiap saat terus memperdalam (meningkatkan) ketakwaannya, dan dengan perantaraan pengabulan doa yang sebelumnya dalam khutbah telah saya katakan bahwa kini selain Rasulullah saw.. tidak ada lagi [washilah/perantara]. Oleh karena itu upayakanlah perantara (washilah) itu maka doa akan mencapai titik pengabulannya/doa akan diterima. Oleh karena itu pada hari Jum’ah seyogianya mengirim selawat kepada Rasulullah saw. lebih dari hari-hari umum.

Perbanyak Membaca Shalawat

Di dalam hadits Rasululah saw. bersabda: “Dari antara hari-harimu (satu) adalah hari Jum’ah. Pada hari itulah Adam diciptakan, pada hari itulah dia diwafatkan, dan pada hari itulah akan terjadi peniupan sangkakala dan pada hari itulah akan terjadi pingsan. Maka perbanyaklah olehmu pada hari itu mengirim selawat kepadaku”. دـمحم لا ىـلع و دمحم ىلع لص مهللا كراـبو دـيجم دبمح كنا ملسو- (Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin wa aali muhammad wa baarik wa sallim innaka hamiydun majiid) Dan selawat kalian akan disampaikan kepada saya.” Perawi berkata: Maka sahabah bertanya, “Ya Rasulullah, apabila wujud Tuan telah lapuk maka pada waktu itu selawat kami bagaimana akan disampaikan? Beliau bersabda bahwa “Allah telah mengharamkan wujud pada nabi dimakan tanah”. Sunan Abu Daud abwaabul-Jum’ah.

Kemudian terkait dengan pentingnya hari Jum’ah tertera sebuah hadits dari Hadhrat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah sw bersabda: “Apabila tiba hari Jum’ah maka di pintu setiap mesjid terdapat malaikat-malaikat. Dia menulis nama-nama orang-orang yang pertamatama datang di mesjid dan seperti itulah dia terus menyiapkan daftar orang-orang permulaan datang sehingga imam duduk setelah menyampaikan khutbah, maka dia menutup buku catatannya”. Shahih Muslim kitabul jumu’aah.

Kemudian tertera sebuah hadits yang bersumber dari Al-Qamah bahwa Hadhrat Abdullah bin Mas’ud bersabda: Saya telah mendengar Rasulullah saw. Bersabda : ”Pada hari Qiamat orang-orang akan duduk di hadapan Tuhan sesuai dengan hisab datangnya pada hari Jum’ah, yakni pertama, kedua dan ketiga”, kemudian beliau bersabda, “Yang keempat dan yang keempat pun dari segi duduknya di hadapan Tuhan/singgasana Ilahi tidaklah jauh.” Ibnu Majah kitab iqamatishalat bab maajaa- a- fi tajhiizi ilal Jum’ah.

Bersumber dari Hadhrat Ibni Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hari ini (Jum’ah) adalah Hari Raya yang Allah telah ciptakan untuk orang-orang Islam. Jadi, barangsiapa yang datang untuk menunaikan shalat Jum’ah maka sayogianya [sebelumnya] dia mandi, dan barangsiapa yang memiliki minyak wangi/parfum maka gunakanlah wewangian itu dan haruskanlah diri kalian untuk bermiswak.” Sunan Ibnu Majah kitab iqamatishalat wa sunnah fiha bab maa fi zzinati yaumal jumu’aah.

Nah, cermatilah dari semua haditshadits itu, di manapun tidak terdapat kesan bahwa jika ingin meraih sarana pengampunan maka lakukanlah Jumu’aatulwida. Bahkan setiap Jum’ah itu adalah penting, lazim dan wajib. Dan dalam pandangan orang-orang bahwa lakukanlah shalat yang sehari maka sudah cukup. Sejumlah orang dua langkah lebih maju dari orang-orang yang melaksanakan Jum’aatulwida. Mereka pada Jumaatulwida pun tidak datang, mereka hanya datang pada hari hari Raya.

Semoga Allah mengasihi mereka, maka untuk mereka hadits yang saya telah bacakan di dalam itu Dia memberitahukan bahwa: “Hari Jum’ah pun merupakan hari Raya. apabila hari-hari raya ini akan menyatu, maka akan mendapatkan taufik pula untuk meraih keberkatan-keberkatan bulan Ramadhan. Dan kemudian dari hari raya yang datang setelah Ramadhan pun kalian akan mendapatkan karunia dan kalian akan menciptakan sarana untuk terhindar dari dosa-dosa”.

Duduk Dekat Imam

Kemudian berkenaan dengan yang mula pertama datang pada hari Jum’ah dan berkenaan dengan duduk di dekat imam tertera sebuah hadits. Hadhrat Samurah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Senantiasa datanglah untuk menunaikan shalat Jum’ah dan selalulah duduk dekat dengan imam, dan seorang yang terus menerus senantiasa tertinggal di belakang maka dia tertinggal dari surga, padahal dia adalah dari antara orang-orang ahli surga”. Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 10 .

Maksud dari tertinggal di belakang adalah bahwa “jika kalian meninggalkan Jum’ah maka kalian akan terus meninggalkan Jum’ah”. Di dalam itu pun hal sebenarnya ialah yang memiliki keinginan keras/rasa gelisah untuk datang ke mesjid, terdapat keinginan yang kuat untuk mendengarkan wejangan iman dan terdapat pula keinginan untuk mengamalkannya. Hal yang sebenarnya adalah bahwa apa niatnya? Sejumlah orang pergi [dari mesjid] sesudah melewatkan beberapa waktu (beberapa menit) di mesjid-mesjid, yakni, “Kita akan pergi sebentar, kita akan pergi dengan tenang karena Imam Sahib menyampaikan khutbahnya sangat panjang. Cukup lama harus duduk di sana, harus lama menunggu, siapa yang tahan duduk sebegitu lama? Apabila tersisa lima-tujuh menit kita akan pergi (datang ke mesjid), kita akan mendengarkan khutbah duaempat menit lalu kita akan shalat dan kembali ke rumah”.

Nah, pemikiran ini merupakan pemikiran yang sangat berbahaya. Sebab, perbedaan ganjaran orang-orang yang lebih dahulu pergi ke mesjid dan terakhir datang ke mesjid perbedaannya adalah sama antara unta dan telur ayam atau di sejumlah tempat perbedaannya disebutkan sama dengan sebiji beras/nasi. Namun demikian [hendaklah diperhatikan oleh imam] bahwa siapapun yang menjadi imam [shalat] maka mereka pun sesuai kondisi, sesuai musim, sesuai waktu orang-orang, seyogianya memikirkan waktu khutbah.

Kini terkait dengan kepentingan Jum’ah dan tarbiyatnya, saya ingin menambahkan beberapa hadits-hadits. Tanpa udzur jangan hendaknya Jum’ah ditinggalkan. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang dengan sengaja meninggalkan Jum’ah selama tiga kali berturut-turut maka Allah akan mencap hatinya.” Tirmidzi Kitabul-Jum’ah bab ma jaa a fii tarkil Jum’ah min gairi udzrin.

Dan kemudian lama kelamaan sama sekali dia menjadi terus tertinggal di belakang. Disini terdapat peringatan yang sangat keras sekali. Kemudian tertera sebuah riwayat yang bersumber dari Tariq bin Syahab bahwa Nabi saw. bersabda: “Sedemikian rupa mutlak harusnya bagi setiap orang muslim melaksanakan shalat Jum’ah dengan berjama’ah yang merupakan sebuah kewajiban kecuali 4 orang. Yakni, sahaya, wanita anak-anak dan orang yang sakit” Abu Daud Kitabushashalat babul jumu’ai lilmuluk.

Tatakrama Mesjid & Anak Kecil

Sejumlah orang menyangka bahwa apabila imam tengah menyampaikan khutbah maka tidak apa-apa berbicara. Sejumlah orang pada saat khutbah dengan suara melarang anak-anak mereka untuk berbicara, khususnya di kalangan perempuan atau ibu-ibu. Maka mereka seyogianya ingat bahwa pertama anakanak yang memang masih kecil susah diatur jangan dibawa ke mesjid, dan dalam kondisi seperti itu tidak perlu pula bahwa untuk perempuan seperti itu harus pergi ke mesjid.

Nah, hadits yang saya baca ini di dalamnya bagi anak anak seperti itu terdapat kelonggaran. Kepada anak-anak yang lain seyogianya mereka dibawa setelah memberikan pengertian kepada mereka bahwa mesjid itu ada tatakramanya. Jangan bicara, jangan ribut/teriak dll. Dan jika secara permanent/terus menerus dimasukkan dalam benak anak-anak (terus diberikan pengertian) maka lambat laun anak-anak akan mengerti. Jika tidak diberikan pengertian maka saya melihat bahwa anak berumur 8 dan 10 tahun pun mereka diantara mereka akan berbicara satu dengan yang lain saat khutbah disampaikan, satu dengan yang lain akan saling menggangggu, dan berbuat nakal. Nah anak-anak seperti itu seyogianya dengan teratur mereka diingatkan . Jika ingin menyuruh mendiamkan anak-anak yang duduk dan orang-orang lain maka seyogianya dilakukan dengan isyarah, yakni tegurlah mereka dengan isyarah.

Tertera dalam sebuah hadits bahwa bersumber dari Hadhrat abu Hurairah r.a.: {Rasulullah saw. bersabda], “Tatkala imam tengah menyampaikan khutbah pada hari Jum’ah maka jika kalian menyampaikan sesuatu kepada teman terdekatmu, “Diamlah” maka perkataan kalian inipun merupakan perbuatan yang sia-sia” Muslim Kitabul Jum’ah.

Keistimewaan Hari Jum’at & Hubungannya dengan Masih Mau’ud a.s.
Ayat yang ditilawatkan tadi dalam menafsirkannya Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. bersabda: “Di dalam Islam untuk hari Jum’ah telah ditetapkan keistimewaankeistimewaan ini bahwa pada hari itu ditetapkan hari libur, lebih banyak dilakukan ibadah, dijadikan sebagai hari pertemuan umum, dilakukan mandi, dilakukan kebersihan, dilakukan pekerjaan menjenguk orang yang sakit, demikian pula dilakukan tugas-tugas ummat, dilakukan perbaikan sosial kemasyaratan. Ya setelah melaksanakan shalat Jum’ah orang-orang diizinkan untuk melaksanakan kesibukan-kesibukannya, tetapi inilah yang dinyatakan lebih tepat bahwa sesudahnya pun orang-orang sibuk dalam zikir Ilahi.”

Pada suatu saat pada Jum’ah akhir Ramadhan Hadhrat Khalifatul Masih Awal r.a. menyampaikan khutbah dimana Hadhrat Masih Mau’ud a.s pun hadir di dalamnya. Dalam khutbah itu yang beliau sampaikan adalah: “Imam kita [saw.] senantiasa bersabda bahwa sangat malang sekali orang yang mendapatkan Ramadhan namun tidak mendapatkan ada perubahan di dalam dirinya. Lima, tujuh puasa lagi yang tersisa (itu pun merupakan Jum’ah terakhir juga dan kinipun tiga empat hari lagi yang tersisa). Di dalam hari-hari ini perbanyaklah upaya-upaya, perbanyaklah memohon doa-doa, perbanyaklah mendekatkan diri kepada Allah, bacalah istighfar dan laa haula walaa sebanyakbayaknya, dengarlah Alquran dan fahamilah, dan seberapa bisa perbanyaklah sedekah dan derma, dan gerakkanlah terus menerus anak-anak kalian untuk melakukan itu, semoga Allah menganugerahkan taufik kepada saya dan juga kepada kalian. (Amin Khutubah Nur cetakan baru hal. 265.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda : “Nikmat yang Allah telah sempurnakan ialah agama ini yang Dia beri nama Islam. Kemudian kemudian hari Jum’ah juga [termasuk] dalam nikmat itu, yang pada hari mana nikmat itu sempurna. Ini merupakan isyarah ke arah bahwa kemudian penyempurnaan nikmat itu akan terjadi dalam bentuk ِني.دـ لا ىـ َلَع ُهَرـ ِهْظُيِل (Dia akan memenangkannya atas semua agama) Itupun akan merupakan Jum’ah yang sangat agung. Jum’ah itu kini telah tiba, sebab Tuhan telah mengkhususkan Jum’ah itu dengan Masih Mau’ud a.s. … Saya katakan dengan sebenarnya bahwa ini merupakan sebuah acara/hidangan pesta ruhani yang Allah telah ciptakan untuk orang-orang yang mujur/bernasib baik.

Berbahagialah/salam sejahtera bagi mereka yang menggunakan kesempatan emas itu. Kalian yang telah mengikat tali baiat dengan saya sama sekali jangan menjadi angkuh karena apa yang tadinya kalian akan peroleh itu kalian telah raih…Sungguh kalian telah sampai di dekat mata air yang Tuhan telah ciptakan untuk kehidupan yang abadi itu. Ya, yang tersisa kini adalah tinggal meminum air itu. Maka mohonlah taufik dan karunia dari-Nya supaya Dia mengairi kalian. Sebab, tana Tuhan tidak akan ada yang bisa terjadi.

Saya sungguh mengetahui bahwa barangsiapa yang minum dari mata air ini maka dia tidak akan binasa. Sebab, air ini memberikan kehidupan dan menyelamatkan dari kehancuran dan melindungi dari serangan-serangan syaitan. Untuk terairi dengan air mata air ini bagaimanakah caranya? Caranya ialah kebenaran yang Allah telah tegakkan pada kalian itu tegakkanlah kembali dan jalankanlah itu dengan sepenuh hati. Dari antaranya ialah hak Allah dan hak makhluk” Malfuzhat jilid 2 hal. 144 –145.

Jadi kita setiap Ahmadi seyogianya memberikan perhatian kepada pentingnya hal itu bahwa dengan mengimani Imam Zaman banyak sekali tanggung jawab yang dipikulkan di pundak kita. Seyogianya memberikan perhatian yang khusus pada ibadah. Dan sesuai dengan cara metode ibadah yang Allah telah beritahukan hendaknya berupaya melaksanakan semua ibadah-ibadah sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah terangkan bahwa dengan zaman beliau juga Jum’ah memiliki ikatan yang khas.

Perhatian Kepada Doa

Kita secara khusus seyogianya memperhatikan akan pentingnnya hal itu bahwa kita hendaknya banyak memberikan penekanan pada doa.Merupakan nasib baik bahwa hari-hari ini Ramadhan tengah berlalu. Dan sepuluh hari terakhir Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Di dalam itu diberikan khabar suka tentang pengabulan doa.Oleh karena pada hari-hari itu harus memberikan perhatian yang serius pada doa.

Tertera dalam sebuah hadits yang bersumber dari Hadhrat Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah saw.: “Doa adalah ibadat. Kemudian beliau membaca ayat Al-Quran ini : يِتَداـَبِع ْنـَع َنوُرِبْكَتـْسَي َنيِذـ .لا .نِإ ْمُكَل ْبِجَتْسَأ يِنوُعْدا َنيِرِخاَد َم.نَهَج َنوُلُخْدَيَس Yakni tuhan kalian berfirman yakni “Mintalah kepada-Ku maka Aku akan kabulkan. Orang-orang yang tidak beibadat kepada-Ku maka akibat ketakabburannya mereka akan masuk neraka dalam keadaan hina.” Sunan Tirmidzi abwabudda’waat.

Betapa merupakan kedudukan menakutkan bahwa sementara Allah memfirmankan, “Aku senantiasa menunggu, siap mengabulkan harapanharapan dan doa-doa kalian, namun kalian tetap tidak memohon. Dan meskipun Aku mendorong kalian bahwa pada hari Jum’ah ada juga tiba suatu saat dimana semua doadoa akan dikabulkan, namun sebagaimana perhatian kalian seyogianya tercipta, perhatian itu tidak tengah terjadi. Semoga Allah menganugerahi kepada kita saat pengabulan itu dan menganugerahkan juga taufik berdoa.

Diriwayatkan dari Hadhrat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Tuhan lebih dari doa”. Diriwayatkan dari Hadhrat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Tuhan maka Allah akan murka kepadanya.” Tirmidzi Kitabudda’waat.

Diriwayatkan dari Hadhrat Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap di antara kalian seyogianya memohon segala apa yang dia inginkan dari Tuhannya, sehingga jika tali sepatunya putus sekalipun maka seyogianya dia memohon kepada-Nya”. Tirmidzi Kitabudda’waat.

Diriwayatkan dari Hadhrat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “[Allah Ta’ala berfirman bahwa] Aku selalu mengingat dia selama dia mengingat-Ku atau mulutnya bergerak untuk menyebut Aku” Bukhari kitabuttauhid.

Diriwayatkan dari Hadhrat umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Di antara kalian barangsiapa yang pintu doa dibukakan untuknya maka pintu rahmat dibukakan untuknya. Dan pada pandangan Tuhan doa yang paling dicintai adalah memohon kesehatan kepada-Nya” Tirmidzi Kitabudda’waat.

Diriwayatkan dari Hadhrat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Manusia paling dekat kepada Tuhan-Nya ialah pada saat tatkala dia baerada dalam sujud, karena itu perbanyaklah doa dalam sujud.” Muslim kitabushalat ma yaqulu firrukui wassujud.

Hadhrat Abu Saiid meriwayatkan bahwa Rasululah saw. bersabda: “Kapan saja seorang muslim berdoa yang dimana di dalamnya tidak ada unsur dosa atau unsur pemutusan tali kekerabatan maka Allah dari antara yang tiga hal, satu pasti Dia akan anugerahkan kepadanya. Apakah tiga hal itu? Atau doanya cepat didengarkan. Atau pada hari akhirat untuk faedah baginya akan dikumpulkan sebagai sarana pengampunan. Atau Allah sebanyak itu keburukannya akan Dia jauhkan. Dan jika dalam corak itu tidak juga sempurna maka niscaya ada saja keburukannya yang dijauhkan”. Maka para sahabah berkata” Kalau begitu kami akan banyak memanjatkan doa”. Rasulullah saw. bersabda bahwa “Allah juga Mahakuasa untuk memberikannya lebih banyak dari itu.” Sunan Ahmad bin Hanbal baqi mutakatsyirin.

Nah, perhatikanlah betapa Rasulullah saw. berupaya menarik perhatian kita kepada doa. Dari antara kita setiap kita mempunyai kewajiban bahwa dalam bulan Ramadhan yang tersisa ini berdoalah untuk diri sendiri, untuk anak istri kita, untuk keluarga kita, untuk Jemaat. Apabila manusia berdoa untuk orang lain maka para malaikat terus berdoa untuknya. Hal ini harus senantisa menjadi bahan perhatian kita. Oleh karena itu Jemaat seyogianya berdoa untuk mereka yang tidak ada penolong/penopang dan tidak berdaya yang dalam suatu corak tertentu tengah menahan penderitaan dari para penentang. Allah sebagai gantinya berhak mengabulkan ketiga corak doa-doa itu. Bahkan sebagaimana disini diterangkan bahwa lebih dari itu kepada kita dapat Dia anugerahkan. Dia adalah pemilik segenap kekuasaan. Janganlah memandangnya
sebagai wujud yang terbatas.

Sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Tentang Peran Doa

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Barangsiapa yang tidak menghadapkan wajahnya kepada Allah Swt. dengan doa (tidak pernah berdoa) dia senantiasa akan tetap buta dan mati dalam kebutaan …. Barangsiapa yang berdoa dengan ruh ketulusan maka tidak mungkin dia tidak berhasil secara hakiki. Bahkan kesejahteraan yang hanya dengan harta tidak dapat diraih dan tidak dengan pemerintahan dan tidak dengan kesehatan, bahkan berada di tangan Tuhan yang dengan cara mana Dia ingin berikan Dia dapat menganugerahkan. Ya, dianugerahkan dengan doa-doa yang sempurna.

Jika Tuhan menghendaki maka seorang mukhlis yang tulus persis pada saat musibah melanda, sesudah doa, dia meraih kelezatan yang tidak dapat diraih oleh seorang raja yang berada di atas tahtanya. Inilah yang dimaksud dengan kesuksesan yang akhirnya diraih oleh orang-orang yang berdoa”. Ayyamush- Shulah hal. 7-8..

Kemudian bersabda: “Doa memiliki suatu jalinan dengan pengabulan. Apakah itu kami dapat menanamkan atau tidak dapat menanamkan secara selayaknya dalam hati orang lain, tetapi berjuta-juta pengalaman para pilihan Tuhan dan pengalaman kami sendiri telah menunjukkan kepada kami hakikat yang terselubung itu bahwa doa yang kita panjatkan itu memiliki kekuatan daya tarik magnit dan dapat menarik karunia dan rahmat Tuhan”. Ayyamush-Shulah; Ruhani Khazain jilid 14 hal. 240-241.

Beliau menambahkan: “Perlu diingat bahwa doa yang telah diwajibkan atas orang-orang Islam oleh kitab suci Allah taala memiliki empat sebab kenapa itu diwajibkan: Pertama, adalah supaya pada setiap saat dan dalam setiap kondisi setelah [perhatian] mereka kembali kepada Tuhan, mereka meraih keteguhan pada tauhid Ilahi, sebab memohon kepada Allah merupakan sebuah pengakuan/pernyataan bahwa hanya Allah-lah yang memberikan hasil semua tujuan /maksud. Kedua, supaya iman mereka menjadi kokoh pada saat doa-doa itu terkabul dan maksud-maksud mereka tercapai. Ketiga, jika dalam corak lain anugerah Ilahi itu ada maka ilmu dan hikmah menjadi bertambah (yakni tambah lebih banyak perhatian untuk meraih ilmu dan hikmah dan untuk meraih makrifat Ilahi). Keempat, jika pengabulan doa itu dijanjikan melalui ilham dan ru’ya lalu seperti itu juga sempurnannya maka makrifat Ilahi itu semakin bertambah, dari makrifat itu akan tumbuh keyakinan dan dari keyakinan tumbuh kecintaan, dan dari kecintaan manusia akan meraih karunia pemutusan hubungan dengan segenap dosa dan dengan segenap selain Allah yang merupakan buah keselamatan hakiki.” Ayyaamush-Shulah hal. 12-13

Beliau bersabda: “Saya menyatakan dengan sebenarnya, bahwa jika jeritan kita sedemikian rupa sendunya/memelasnya di hadapan Tuhan, maka hal itu akan menimbulkan gejolak dalam rahmat dan karunia-Nya yang kemudian akan menariknya. Dan saya mengatakan atas dasar pengalaman saya, bahwa karunia dan rahmat Tuhan yang datang dalam bentuk pengabulan doa, saya merasakan itu terseret/terserap ke arah saya,bahkan saya berani mengatakan bahwa saya melihatnya.”

Beliau bersabda: “Setiap orang yang kini mendengar ingatlah bahwa senjata kalian adalah doa, karena itu senantiasa sibuklah dalam doa. Ingatlah bahwa maksiat dan kefasikan nasihat dan alasan lain tidak dapat menjauhkannya. Untuk itu hanya satu jalan yaitu doa. Inilah yang Tuhan firmankan kepada kita. Pada zaman ini terfikir ke arah kebaikan dan meninggalkan keburukan bukanlah merupakan masalah kecil. Ini menginginkan sebuah revolusi dan revolusi ini berada di tangan Tuhan. Dan ini akan terjadi dengan doa-doa. Jemaat kita seyogianya bangunlah tengah malam menangislah sambil berdoa janji-Nya adalah . ْمـُكَل ْبِجَتْسَأ يِنوُعْدا (serulah Aku Saya akan menjawab seruanmu)”.

Kemudian beliau bersabda: “Doa yang timbul sesudah [mencapai] makrifat dan dengan perantaraan karunia Ilahi, memiliki nuansa dan kondisi yang lain. Itu merupakan sebuah benda (sesuatu) yang melenyapkan, suatu api yang membakar, sebuah magnit yang menarik rahmat Tuhan, sebuah kematian yang pada akhirnya akan menghidupkan, sebuah banjir dahsyat yang pada akhirnya menjadi sebuah bahtera, segenap perkara yang tak pernah beres menjadi terpecahkan karenanya, dan segenap racun pada akhirnya menjadi obat penawar karenanya.

Salam sejahtera bagi tahanan yang berdoa tampa mengenal lelah, sebab pada suatu saat akhirnya dia akan meraih kebebasan. Salam sejahtera bagi sang tunanetra yang tidak malas dalam memanjatkan doa-doa, sebab pada suatu saat dia akan dapat melihat. Salam sejahtera bagi yang berada di dalam kubur-kubur yang memohon dengan doadoa pertolongan Tuhan, sebab pada suatu saat mereka akan dikeluarkan dari kuburan-kuburan itu.

Salam sejahtera kepada kalian yang tidak pernah lelah dalam memanjatkan doa dan ruh kalian mencair dalam doa, dan mata kalian mencucurkan air mata dan di dalam relung dada kalian menciptakan sebuah api dan untuk meraih rasa kebahagiaan kesendirian, itu (doa) membawa kalian pada kamar yang gelap dan hutan-hutan yang sunyi sepi dan menjadikan kalian resah, gila serta tidak sadarkan diri. Sebab, pada akhirnya akan dibukakan pintu karunia-Nya padamu. Dia Tuhan yang ke arah-Nya kami menyeru kalian adalah Yang Maha Mulia, Maha Penyayang,

Pemalu, jujur, setia dan Maha Pengasih pada orang-orang yang lemah. Maka, kalianpun jadilah orang yang setia dan berdoalah dengan penuh ketulusan supaya Dia akan mengasihani kalian. Berpisahlah kalian dari keramaian dunia/orang-orang dan keributannya. Janganlah mewarnai agama dengan warna hawa nafsu. Pikullah beban demi untuk Tuhan dan terimalah kekalahan supaya kalian menjadi waris kemenangankemenangan yang besar. Tuhan memperlihatkan mukjizah-Nya kepada orang-orang yang berdoa dan kepada orang yang memohon akan dianugerahi nikmat yang luar biasa. Doa datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Dengan doa Tuhan sedemikian rupa menjadi dekat sebagaimana jiwamu menjadi dekat denganmu.

Nikmat pertama doa ialah terlahir perubahan suci di dalam diri manusia. Kemudian Tuhan pun dengan perubahan itu menciptakan perubahan dalam sifat-sifat-Nya. Dan sifat-sifat-Nya tidaklah berubah-ubah, namun untuk yang telah menciptakan perubahan dalam dirinya Dia memiliki manifestasi/ penampakan yang terpisah yang dunia tidak dapat mengetahuinya seolah-olah Dia merupakan Tuhan yang lain, padahal tidak ada Tuhan yang lain, tetapi manifestasi yang baru menzahirkan-Nya dalam nuansa yang baru. Baru dalam keagungan menifestasi yang khas Dia bekerja untuk yang telah berubah itu yang Dia tidak lakukan untuk orang lain. Inilah dia mukjizah- mukjizah itu. Walhasil, doa merupakan sebuah obat penawar yang menciptakan segenggam tanah menjadi barang tak ternilai harganya dan itu merupakan air yang membersihkan kekotoran-kekotoran yang ada di dalam batin manusia. Dengan doa itu ruh mencair dan mengalir bagaikan air lalu jatuh diatas singgasana Tuhan yang Maha Esa”. Ruhani Khazain; Pidato Sialkot jilid no.2 hal. 222 –223.

Oleh karena itu, marilah kita semua anak-anak kita, para pemuda kita, para orang tua kita, para wanita kita dan lakilaki kita hari ini kita memohon dengan khusyuk berdoa di hadapan Tuhan dan di hari-hari yang tersisa dalam bulan Ramadhan apa-apa kekurangan itu kita dapat sempurnakan. Kita menghidupkan malam-malam kita dengan beribadah kepada-Nya. Kita melewati hari-hari kita dengan zikir Ilahi. Dan kita meminta belas kasih sayang-Nya. Semoga Allah memaafkan kekurangankekurangan dan kelemahan-kelemahan kita, memutupi aib-aib kita ,melimpahkan kasih sayang dan kemuliaan-Nya pada kita. Semoga Allah mengasihi saudarasaudara kita yang teraniaya karena mereka telah mengenal dan mengimani Imam yang dijanjikan. Ya, Allah anugerahilah pengertian kepada para penentang kami sedemikian rupa sehingga mereka berhenti dari perlawanan itu dan jadikanlah orang yang bersifat syaitan yang menjerumuskan orang-orang yang lugu tidak berdosa (ikutikutan dengan mereka) sebagai tanda dan ibrat. Dan di mana-mana saja orang-orang Ahmadi melewati kehidupan sulit dan hanya dengan menurunkan belas kasih saying-Mu gantikanlah hari-hari sulit mereka dengan kebebasan dan jadikanlah kami orang yang senantiasa menyembah Engkau. Dan, karunia-karunia yang mengalir kepada kami dalam bulan Ramadhan ini jadikanlah itu berkesinabungan. Ya Allah, kami dengan mengedepankan firman Engkau يِنوـــُعْدا ْمـُكَل ْبِجَتـ ْسَأ – (mohonlah pada-Ku maka Aku akan mengabulkan permohonan kalian) kami memohon kepada-Mu.

Semoga Allah mengabulkan semua doa-doa kita. Amiin.

Pent. Mln Qomaruddin S

Sumber :
Darusus No 61/2004 JA

Khabar-khabar Ghaib TentangMuhammadi Begum

In Ahmadiyah, Tabligh, Tafsir on 30 Oktober 2009 at 13:34

Latar Belakang Khabar Ghaib

UNTUK memahami hal ini, perlu diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya tujuan khabar ghaib ini. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam sendiri menulis, “Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa telah mendapati sepupu saya dan keluarganya (Ahmad Beg dengan yang lain-lainnya – Pen.) tenggelam di dalam pemahaman dan amalan yang salah dan juga tenggelam di dalam amalan tradisi dan bidah. Dan mereka, tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan mengikuti hawa nafsu. Dan mereka, mengingkari adanya Tuhan dan membuat fasad. (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 566) Mereka orang-orang yang betul-betul kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, mereka mengingkari takdir yang baik dan buruk. Mereka betul-betul orang atheis.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 567)

Tentang keadaan mereka ini, jelas sekali dari peristiwa di bawah ini sebagaimana yang diterangkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam:

“Suatu malam terjadi hal seperti ini: Seseorang datang kepada saya menangis. Melihat yang menangis, saya merasa khawatir, dan saya bertanya kepadanya, ‘Siapakah yang meninggal?’ Dia berkata, ‘Bahkan lebih dari itu. Saya duduk bersama mereka. Orang itu yang telah murtad dari agama Tuhan, maka dari antara mereka ada seseorang yang mencaci Rasulullah ‘alaihissalaam kotor sekali. Suatu cacian yang begitu kotornya yang tidak pernah keluar dari mulut orang kafir sendiri. Dan, saya lihat mereka menginjak-nginjak Alquran. Dan, mereka mengatakan sesuatu yang begitu kotornya; sehingga dengan ikut mengatakannya saja, lidah kita akan menjadi kotor. Dan, mereka mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada wujudnya. Di dunia ini, tidak ada yang harus disembah. Itu hanya satu kedustaan yang diucapkan para pendusta.’

Saya berkata kepadanya, ‘Apakah saya tidak melarang untuk duduk dengan mereka? Takutlah kepada Allah. Di masa datang jangan sekali-kali duduk dengan mereka. Dan bertaubatlah.’” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 568)

Pendeknya, demikianlah keadaan orang-orang itu ketika Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam mendakwakan diri sebagai Utusan Allah. Bagi mereka yang mengingkari adanya Tuhan, dakwa seperti itu hanya menggerakkan mereka untuk mencemoohkan dan menghina Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam dengan sangat lancang (kurang ajar). Dan, mereka berkata:

فليأتنا بئاية إن كان من الصّادقين

“Bawalah suatu tanda untuk kami, jika dia termasuk orang yang benar.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 568)

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam bersabda, “Mereka menulis sepucuk surat yang isinya mencaci Rasulullah ‘alaihissalaam dan Alquran, serta meminta tanda dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa. Dan, mereka menyebarluaskan surat itu. Dalam hal ini, orang yang bukan Islam, yakni: orang Hindu dan Kristen, banyak menolong mereka. Dan, mereka pembangkang yang sangat luar biasa.” (Surat ini ada pada Surat Khabar Shasmae Nur, tahun 1885)

Terhadap tuntutan tanda dari mereka ini, mendorong beliau ‘alaihissalaam untuk berdoa:

و قلت يا رب يا رب انصر عبدك و اخذل أعداءك

Saya berkata, “Wahai Tuhan kami, wahai Tuhan kami! Tolonglah hamba Engkau ini, dan hinakanlah musuh Engkau.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 569)

Sebagai jawaban, Tuhan memberikan tanda melalui wahyu yang untuknya orang-orang sedang menunggu dengan penuh kegelisahan, “Aku telah melihat kenakalan dan kejahatan mereka. Maka dalam masa dekat, Aku akan melimpahkan kepada mereka berbagai macam musibah. Dan, Aku akan menghancurkan mereka. Dan dalam masa dekat, engkau akan melihat apa yang akan Aku kerjakan terhadap mereka. Aku berkuasa atas segala sesuatu. Aku akan membuat perempuan-perempuan mereka janda, dan membuat anak-anak perempuan mereka yatim. Dan membuat rumah-rumah mereka, kosong dari penghuni. Supaya, mereka mendapat hukuman atas perbuatan mereka. Tapi, Aku tidak akan meghancurkan mereka sekaligus. Tapi, akan menghancurkan mereka sedikit-sedikit supaya mereka kembali dan menjadi sebagian dari orang yang bertaubat. Dan laknat-Ku, akan menimpa mereka dan seluruh rumah mereka, dan kepada orang-orang dewasa, anak-anak kecil dan perempuan-perempuan mereka, dan laki-laki mereka, dan tamu-tamu yag ada di rumah mereka. Dan mereka semuanya, akan menjadi orang yang dilaknat.” (‘Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 569)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Tuhan akan membuat para wanita mereka janda dan anak-anak perempuan mereka yatim. Tapi ada syarat untuk kembali kepada Allah atau bertaubat, sehingga mereka mendapatkan keselamatan.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam menjelaskan hal tersebut di bawah ini:

“Kalau Ahmad Beg memberikan anak perempuannya (Muhammadi Begum), maka dia dan keluarganya akan mendapatkan berkat kerohanian yang banyak sekali sebagaimana Ummi Habibah binti Abu Sofyan dan Saudah binti Zam’ah radhiyallaahu ‘anhuma menikah dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, telah memberikan berkah kepada keluarga dan suku mereka sehingga semuanya masuk Islam.”

Wahyu Tuhan telah menerangkan bahwa beliau ‘alaihissalaam tidak akan menikahinya dalam masa 3 tahun sesudah wahyu tersebut; sedangkan orang yang menikahinya dalam masa 2½ tahun akan mengalami kehancuran. Dan sesudah perempuan itu menjadi janda, baru beliau ‘alaihissalaam akan menikahinya. Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam menerangkan sendiri, “Tuhan Maha Kuasa dan Maha Bijaksana berfirman kepada saya agar anak perempuan Ahmad Beg ini dinasihati untuk menikah. Dan, katakan kepada mereka: ‘Seluruh perlakuan terhadap kamu hanya akan terjadi dengan syarat ini. Dan pernikahan ini, bagi kamu akan menjadi sebuah tanda berkat dan rahmat bagimu. Dan kamu akan mendapatkan rahmat dan berkat-berkat’—sebagaimana yang tertera pada selebaran tanggal 20 Februari 1888. Tapi kalau mengingkari pernikahan, maka akhir kehidupan puteri ini akan sangat buruk. Orang itu akan meninggal 2½ tahun sejak hari pernikahan. Dan demikian juga ayah anak-perempuan ini, akan mati dalam masa 3 tahun. Dan rumah tangga mereka akan ditimpa perselisihan, kesulitan dan musibah. Dan di masa-masa tersebut pun, puteri tersebut akan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dan mengalami kesedihan.” (‘Aina Kamalat-e-Islam, hal 286)
Wahyu Tuhan telah menerangkan hal-hal lainnya lagi:

1. Mirza Ahmad Beg akan menikahkan anak perempuannya itu dengan lelaki lain. Ini terlihat pada wahyu, “Mereka mendustakan tanda-tanda-Ku. Dan beserta itu mereka pun mencemoohkannya. Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa akan menghukumnya dan mengembalikan anak-perempuan itu kepadamu.
2. Kalau mereka tidak bertaubat, maka Tuhan akan menimpakan bermacam musibah sehingga mereka akan mengalami kehancuran. Dan rumah mereka, akan penuh dengan janda. Dan kemurkaan Tuhan, ada di sekitar rumah mereka. Tapi kalau mereka kembali, Tuhan pun akan kembali kepada mereka dengan rahmat-Nya.
(Kedua kutipan itu sangat jelas sekali sehingga tidak memerlukan penjelasan. Dalam hal ini jelas sekali adanya syarat taubat. Dan diterangkan, bahwa orang-orang yang dikhabarkan akan hancur, kalau mereka tidak taubat. Jika mereka tidak taubat, maka azab pasti akan turun. Namun, kalau mereka kembali, maka Tuhan akan kembali kepada mereka dengan rahmat-Nya.)
3. Bukti yang ketiga tentang hal ini bahwa di dalam khabar tersebut ada syarat taubat nampak dalam wahyu di bawah ini yang telah disebutkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam, “Saya melihat secara kasyaf bahwa perempuan itu (neneknya Muhammadi Begum) dan nampak di wajahnya bekas menangis. Maka saya berkata kepadanya, ‘Wahai perempuan, bertaubatlah sebab bencana akan menimpa anak-anakmu dan musibah akan menimpamu. Seorang lelaki akan meninggal, dan darinya yang tinggal hanya anjing-anjing.”
Dari kata “bertaubatlah”, jelas sekali bahwa musibah yang akan menimpa keluarga ini akan bisa dihindari melalui taubat.
Dan mengatakan bertaubatlah kepada neneknya Muahammadi Begum, Tuhan bermaksud menjelaskan bahwa pintu taubat terbuka luas.
Selain dari dosa besar, semua dosa kecil dijauhkan melaui doa. Karena itu, di dalam doa ‘Athahiyyat, kita diajarkan:

ربّنا اغفرلي ولوالديّ

“Wahai Tuhan kami, ampuni hamba dan kedua orang tua hamba.”
Begitu juga kita diajarkan doa untuk keturunan kita:

ربّ اجعلني مقيم الصّلوة ومن ذريّتي

“Wahai Tuhan-Ku, jadikanlah hamba dan keturunan hamba: Orang yang mendirikan shalat.”

Pendeknya, dengan mengatakan bertaubatlah menerangkan bahwa dalam hal ini yang menjadikan taubat sebagai syarat, maka untuknya pintu sangat terbuka luas; sehingga, dengan doa dan istighfarnya nenek, membuat musibat si cucu akan hilang (menjauh). Apalagi, kalau dia sendiri yang bertaubat dan beristighfar.
Pernyataan Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam

“Kami sedikitpun tidak merasa perlu untuk memohon kepada Keluarga Muhammadi Begum, untuk menikah dengan puteri mereka (Muhammadi Begum); sebab semua keperluan-keperluanku telah Tuhan penuhi; anak-anak keturunan Dia telah anugerahkan dan dari antara anak yang merupakan lampu penerang agama, bahkan seorang anak lainyang akan lahir dalam jangka waktu tidak lama lagi yang namanya Mahmud Ahmad—diberi nama oleh Tuhan—yang sangat penuh dedikasi/kesabaran dalam pekerjaan-pekerjaan. Jadi, permohonan jodoh ini, hanya sebagai tanda, supaya para penentang Islam di dalam keluarga itu, Allah perlihatkan dengan kekuasaan dahsyat yang jika mereka meliahtnya maka berkat dan rahmat akan turun kepada mereka; dan menjauhkan musibah-musibah itu yang tidak lama lagi akan turun. Jika mereka menolaknya, maka Tuhan akan menurunkan kemarahannya sebagai peringatan kepada mereka. )
Maka, terbuktilah bahwa tujuan sebenarnya dari khabar ghaib Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam bukanlah ini: bahwa Muhammadi Begum menikah dengan saya. BAHKAN, inilah makna khabar ghaib itu yaitu: Ahmadi Begum dan Sulthan Muhammad jika tidak bertaubat, maka di waktu 3 tahun dan 2½ tahun akan binasa. Dan sesudah kebinasaannya, maka Muhammadi Begum menjadi janda dan akan menikah dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam.
Lihatlah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam sendiri menulis tentang selebaran tanggal 20 Februari 1886 berikut ini:

1. Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa telah menzahirkan khabar ghaib ini bagi orang-orang yang menolak untuk menikahkannya dengan yang lemah ini bahwa: Di antara mereka yang bernama Ahmad Beg, kalau tidak menikahkan putri sulungnya dengan saya, maka dia akan mati dalam waktu sampai 3 tahun bahkan kurang darinya. Dan orang yang menikahinya, maka dari sejak hari pernikahan sampai 2½ tahun akan mati. Dan akhirnya, perempuan itu akan menikah dengan saya.
2. Berikut ini, dalil yang lebih jelas dari di atas, yang membuktikan bahwa Muhammadi Begum akan datang untuk menikah dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam—sesudah matinya Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad—adalah, “Suaminya dan ayahnya, akan mati dalam tempo 3 tahun. Sesudah kematian keduanya, Kami akan membawa perempuan itu kepadamu.” (Karamatus-Shadiqin, Title)
3. Dalil yang lebih jelas dari ini yang membuktikan bahwa maksud sesungguhnya dari khabar ghaib ini bukanlah menikah, bahkan tentang kebinasaannya Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad: Tujuan sesungguhnya dari khabar ghaib ini adalah kebinasaan keduanya itu. Dan menikahnya perempuan ini dengan saya, adalah sesudah kematian mereka. Dan itupun, hanya bertujuan untuk lebih membuka mata tentang kecemerlangan tanda itu, bukannya sebagai tujuan yang sesungguhnya.” (Anjam-e-Atham, hal. 216)

Sekarang, sampai dimana mereka mengambil manfaat dari syarat taubat itu, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa Maha Mengetahui Dia tahu apa yang akan terjadi kepada mereka. Ini kita bisa lihat dalam wahyu berikut:

(رأيت هـاـذه المرأة و أثر البكاء على وجهها فقلت ايتها المرأة) توبي توبي فإن البلآء على عقبك والمصيبة نازلة عليك يموت ويبقى منه كلاب متعددة – (تبليغِ رسالت ، صفـه .123 جلـد1 )

“Wahai perempuan! Bertaubatlah, bertaubatlah azab akan turun atasmu dan atas anak perempuan dari anak perempuanmu (dari dua lelaki yaitu Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad). Salah satu akan mati (yakni dia tidak akan bertaubat. Tapi yang kedua akan mengambil faedah dari syarat bertaubat. Dan dengan demikian perempuan itu tidak akan menjadi janda, maka tidak akan menikah lagi). Dan tinggallah anjing-anjing menggonggong.” (Tabliigh-e-Risaalat, halaman 123, Jilid I)—Bahwa, kenapa pernikahan itu tidak terjadi yakni mengajukan keberatan tanpa sebab.

Dalam wahyu ini, jelas sekali bahwa di antara Ahmad Beg dan Sulthan Muhammad salah satunya tidak akan mengambil faedah dari syarat taubat dan akan mati. Dan yang satu lagi akan mengambil faedah dan akan selamat. يموت — Yamuut adalah sighah fi’il mudhari’ untuk tunggal (wahid) yang berarti: Seorang lelaki akan mati.

Sekarang dengan membahas hal-hal di atas, kita sudah membuktikan bahwa hakikat khabar ghaib Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam adalah:

1. Ahmad Beg akan menikahkan anak perempuannya dengan orang lain ( يردّها إليك ).
2. Sesudah menikah, kalau tidak bertaubat, maka Ahmad Beg dan menantunya akan mati dalam masa 3 tahun. Dan karenanya, anak perempuan dengan menjadi janda akan menikah dengan saya. (Selebaran tanggal 30 Pebruari 1886)
3. Dari antara dua lelaki yang tidak akan mengambil faedah dari Syarat Taubat, maka akan mati (يموت).
4. Lelaki yang satu lagi akan mengambil faedah dari Syarat Taubat. Dan dengan bertaubat, ia akan selamat.
5. Anak perempuan itu tidak menjadi janda, karenanya nikah tidak akan terjadi.
6. Karena nikah hanya bisa jadi kalau telah menjadi janda. (Anjam Atham, h. 216)

Khabar Ghaib Telah Sempurna

Singkatnya, khabar ghaib Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam terdiri dari hal-hal diatas. Sekarang marilah kita perhatikan dengan seksama. Lihatlah! Apakah hal-hal yang telah diterangkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah sempurna atau belum? Kenyataan telah menerangkan, bahwa apa saja yang Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah khabarghaibkan, telah sempurna secara hurup ke hurup.

1. Ahmad Beg telah umenikahkan Muhammadi Begum kepada Mirza Sulthan Muhammad. 7 April 1892
2. Ahmad Beg tidak mengambil faedah dari syarat taubat. Dan lima bulan 24 hari sesudah hari pernikahan yakni 30 Desember 1892 telah mati dan wahyu (يموت) dari segi ini telah sempurna.
3. Sulthan Muhammad telah mengambil faedah dari syarat taubat. Dia bertaubat maka dia selamat. Wahyu (يموت) dari segi kedua pun telah sempurna.
4. Karena Sulthan Muhammad telah selamat dengan mengambil faedah dari syarat taubat, maka Muhammadi Begum tidak menjadi janda.
5. Karena tidak menjadi janda, maka pernikahan dengan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam pun tidak terjadi (nikah bisa terjadi sesudah menjadi janda). (Anjam-e-Atham, h. 216)
6. Orang yang mengumumkan keberatan tidak bosan-bosannya mengumumkan keberatan (kritikan), maka dengan sendirinya termasuk ke dalam wahyu:

يبقى منه كلاب متعدّدة

“Yang bersisa darinya hanya anjing-anjing yang menggonggong.”
Semua keterangan kami tercakup dalam dua hal ini:
1. Di dalam khabar ghaib ada syarat taubat; dan
2. Sulthan Muhammad mengambil faedah dari syarat taubat.

Bukti Taubatnya Sulthan Muhammad

SEKARANG kewajiban kami adalah membuktikan, bahwa Sulthan Muhammad telah bertaubat. Dan betul-betulkah dia telah mengambil faedah dari syarat yang ada pada khabar ghaib itu?
Maka ingatlah! Ada lima bukti tentang taubatnya:
1. Yang paling pertama adanya bukti tentang adanya fitrat manusia untuk bertaubat dari Sulthan Muhammad. Ini jelas sekali ketika keduanya dikhabarkan akan binasa dalam waktu tertentu, maka ketika Ahmad Beg mati di waktu yang telah ditentukan itu, maka secara fitrat Sulthan Muhammad bisa mengambil pelajaran, bahwa kalau tidak bertaubat dia pun akan mati di waktu yang telah ditentukan.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah menulis:
a. Maka seorang bijak bisa berfikir, bahwa sesudah matinya Ahmad Beg yang kematiannya itu merupakan sebagian dari khabar ghaib. Maka, apa yang terjadi pada bagian yang lainnya? Seolah-olah dia mati dalam keadaan hidup. Kami menerima dua surat dari para sesepuhnya. Yang pertama, ditulis oleh Tuan Hakim yang tinggal di Lahore. Di dalamnya menerangkan tentang taubat dan istighfarnya. Melihat keadaan itu kami menyimpulkan bahwa khabar kematian Sulthan Muhammad tidak akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan. (Selebaran tanggal 6 September 1894)
b. Dan ketika Ahmad Beg mati, maka semua sanak-saudaranya merasa takut sekali. Mereka telah mengalihkan perhatian kepada doa secara khusuk dan penuh takut. Kami dengar bahwa ibu menantu Ahmad Beg sampai sekarang jantungnya belum kembali normal. Maka, Tuhan melihat bahwa keadaan mereka itu bukanlah drama semata. Maka pada waktu itu juga, janji telah sempurna. (Hujjatullah, hal.11, cet. 1897)
2. Bukti kedua tentang taubatnya Sulthan Muhammad adalah suratnya ini:
Dari komplek Anbalah: 21/3/13

Semoga Saudaraku ada dalam lindungan-Nya.
Saya berterimakasih atas ingatnya Tuan kepada saya. Saya sejak dulu menganggap Almarhum Hadhrat Mirza Sahib sebagai orang suci, pengkhidmat Islam dan berjiwa bersih yang selalu ingat kepada Tuhan. Saya tidak pernah mengingkari bahwa saya sebagai murid/pengikut beliau ‘alaihissalaam. Hanya sayangnya, karena disebabkan beberapa hal, saya tidak bisa bergaul dekat dan menyerap kesucian beliau ‘alaihissalaam, sewaktu beliau ‘alaihissalaam hidup.
Yang selalu mengharapkan kebaikanmu,
Mirza Sulthan Muhammad
Dari Anbalah

(Surat ini tertera pada Ensklopedia Agama, halaman 780, 1945)

Kata-kata di atas kalau ditulis oleh orang biasa, maka bukanlah suatu hal yang penting. Tetapi, Sulthan Muhammad yang tentangnya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam telah mengabarkan kematiannya, dan jandanya akan menjadi isteri beliau ‘alaihissalaam Hal ini, ditulis dalam berbagai buku dan selebaran beliau ‘alaihissalaam. Seharusnya, dia memusuhi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam. Dan juga, beliau ‘alaihissalaam banyak menulis tentang taubatnya Sulthan Muhammad dan beliau juga mengetahui dengan baik tentang hal ini. Kalau sekiranya tidak bertaubat, kenapa tidak membantahnya? Kalau membantah, maka akan terbukti Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam adalah seorang pendusta. Maka, kata-kata bahwa saya menganggap beliau dari dahulu sampai sekarang sebagai seorang suci dan pujian-pujian lainnya, bukanlah hal yang biasa, tapi suatu mukjizat.
3. Bukti ketiga tentang taubatnya Sulthan Muhammad, keterangannya sendiri:

“Mertua saya betul-betul mati sesuai dengan khabar ghaib. Tapi, Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang…. Saya berkata dengan iman bahwa khabar ghaib pernikahan bagi saya bukan penyebab keraguan. Sedangkan tentang baiat: Saya bersumpah bahwa keyakinan dan keimanan saya terhadap Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam, saya pikir Tuan-tuan yang sudah baiat pun tidak bisa mengalahkannya. Sedangkan tentang hati saya, Tuan-tuan bisa memperkirakannya bahwa orang-orang Arya disebabkan oleh Lekhram dan orang-orang Kristen, disebabkan oleh Atham, mereka siap memberi saya ratusan ribu Rupees supaya saya membawa Tuan Mirza ke Pengadilan, maka saya akan menjadi orang yang sangat kaya. Tapi keyakinan dan keimanan itulah yang telah menghalangi saya.” (Pernyataan ini terdapat di dalam Surat khabar Al-Fadhl, 91-13 Juni 1921)

4. Bukti keempat tentang taubatnya Sulthan Muhammad adalah tulisan putera Sulthan Muhammad yang pertama, Mirza Ishaaq Beg.
بسم الله الرّحمــاــن الرّحيم
Tuan-tuan yang terhormat,

السّلام عليكم و رحمة الله و بركاته

PERTAMA, saya ingin menerangkan pengakuan saya.
Demi Allah, saya masuk ke Jemaat Ahmadiyah bukan karena serakah atau tekanan dari seseorang. Bahkan, sesudah mengadakan penyelidikan yang lama dan mendalam. Saya mengimani bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam benar di dalam segala dakwaan beliau. Dan, beliau ‘alaihissalaam betul-betul Utusan-Nya. Dan terbukti, kebenaran perkataan dan amalan beliau ‘alaihissalaam sehingga tidak meragukan bagi pengenal kebenaran. Semua khabar ghaib beliau ‘alaihissalaam telah sempurna.

INI adalah soal lain bahwa: Sebagian orang yang berprasangka buruk atau disebabkan tidak paham menerangkan bahwa beberapa khabar ghaib tidak sempurna, hal ini telah menipu orang-orang umum. Misalnya, khabar ghaib tentang Ahmad Beg dan yang lainnya. Mereka menuntut bukti di setiap tempat bahwa khabar ghaib ini telah sempurna. Padahal, ini pun telah sempurna dengan jelas sekali.
Sebelum lebih lanjut mengenai khabar ghaib ini, saya ingin menerangkan bahwa khabar ghaib ini bersifat peringatan. Allah memberi banyak khabar ghaib yang bersifat peringatan melalui para Nabi-Nya, bertujuan supaya orang bersangkutan bisa memperbaiki diri dan bertaubat sebagaimana Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa befirman di dalam Alquran.

و ما نرسل باْلأايات إلاَّ تخويفاً

“Mengapa kami memberi para Nabi tanda-tanda supaya mereka takut.”
Di dalamnya Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa menerangkan tujuan sebenarnya dari pemberian khabar ghaib yang bersifat peringatan, yaitu: Supaya mereka memperbaiki diri. Ketika suatu kaum merasa takut kepada Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa dan memusatkan perhatian di dalam perbaikan diri, maka Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa pun akan menjauhkan azab daripadanya. Seperti halnya peringatan azab terhadap kaum Nabi Yunus ‘alaihissalaam.

ولمَـَّا وقع عليهم الرّجز

Di dalam keadaan ini, khabar ghaib yang bersifat peringatan, tidaklah penting—untuk sempurna secara kata demi kata. Demikian juga yang terjadi pada peristiwa ini. Ketika keluarga dan kaum Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam mencemoohkannya, sampai-sampai mereka mengingkari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, mengingkari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan Alquran, serta menyebarkan selebaran: Menuntut satu tanda. Maka, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa melalui Utusan-Nya memberi khabar ghaib.

Berdasarkan khabar ghaib ini, kakak saya—Ahmad Beg—telah mengalami kebinasaan. Dan keluarga yang lainnya melihat kejadian ini, merasa takut dan mulai berusaha memperbaiki diri. Dan, bukti yang tidak bisa dibantah bahwa sebagian besar dari mereka telah menerima Jemaat Ahmadiyah. Maka, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa berdasarkan sifat ghafar-Nya telah merubah kemarahan menjadi kasih sayang. Kemudian, saya dengan sesungguh-sungguhnya mengumumkan bahwa khabar ghaib ini pun telah sempurna. Saya memohon kepada orang-orang yang terhalang oleh khabar ghaib ini di dalam menerima kebenaran Jemaat. Berimanlah kepada Al-Masih Zaman.
Aku bersumpah, demi Tuhan: Inilah Al-Masih yang dijanjikan yang tentangnya Baginda Nabi Muhammad ‘alaihissalaam telah mengabarkannya. Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam:
Datanglah kepadaku dengan benar, di sanalah letaknya kebaikan
Dari segala arah ada binatang buas. Akulah bintang keselamatan
Sesudah satu masa, maka berhembus udara yang sejuk
Kemudian hanya Tuhan Yang Tahu: Kapan hari ini dan musim bunga ini, akan datang kembali?
Yang amat lemah

Mirza Muhammad Ishaaq Beg

Kabupaten Lahore

(Surat ini terdapat pada Surat Khabar Al-Fadhl, 26 Februari 1932)
5. Bukti kelima tentang taubatnya Sulthan Muhammad adalah tentang Hadhrat Masih Mau’uud ‘alaihissalaam kepada mereka yang mengemukakan keberatan.
Beliau ‘alaihissalaam bersabda, “Keputusan perkara ini adalah mudah. Kalau ingin cepat, katakan saja kepada menantunya Ahmad Beg, yaitu: Sulthan Muhammad—supaya menyebarkan selebaran pendustaan (bahwa dia tidak bertaubat – Pen.). Kemudian kita lihat, apakah janji (kematian itu) tidak mengenainya: Kalau dia tidak mati, maka saya adalah pendusta!

Pasti maut tidak akan menimpanya, waktu itu tidak akan datang, kalau dia tidak lancang. Maka kalau ingin cepat, bangunlah. Dan, jadikanlah dia lancang dan jadi pendusta. Dan suruhlah dia menyebarkannya. Dan lihatlah penampakkan takdir Tuhan.” (Anjam-e-Atham, Note halaman 32)
Sesudah pengumuman ini, Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam masih hidup selama 12 tahun, tapi tidak ada satu ulama yang dapat membuat Sulthan Muhammad maju ke depan untuk membuat selebaran bahwa dia tidak bertaubat.

Kenapa Sulthan Muhammad Tidak Baiat?
SEBAGIAN ghair Ahmadi selalu berkata bahwa kami terima bahwasanya Sulthan Muhammad telah taubat. Tapi yang menjadi persoalan di sini: Dia tidak baiat.

Jawabannya adalah seperti ini:
Khabar ghaib ini menjadi sempurna pada 1886-1888. Dan Syarat Taubat ada pada Selebaran tanggal 20 Februari dan 15 Juli 1888. Pada waktu itu, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam belum mendakwakan sebegai Nabi maupun sebagai Isa yang Dijanjikan dan Imam Mahdi. Dan beliau ‘alaihissalaam belum mengambil baiat. Bahkan, kalau ada yang datang untuk minta baiat, beliau ‘alaihissalaam bersabda, “ لَسْتُ بمِـَأْمُوْرٍ –Saya tidak mendapat perintah.”
Baiat dimulai pada tahun 1889 sehingga waktu itu belum ada masalah antara Ahmadi dan ghair Ahmadi; karena baru pada tahun 1900, Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissalaam baru menamai Jemaat beliau: Firqah Ahmadiyah Muslim.

Sumber :
Buku Klarifikasi Tazklirah PB JAI

Justifikasi Tentang Kenabian Ahmad

In Ahmadiyah, Tabligh, Tafsir on 30 Oktober 2009 at 13:26

– Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya
– Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih Yang Dijanjikan (hal. 519)
– “Segala puji bagi Tuhan yang menjadikan saya seperti Al-Masih Putra Maryam” (hal. 637)
– “Engkau Syekh Al-Masih yang tidak disia-siakan waktunya” (hal. 632)

BEBERAPA ilham/wahyu seperti yang tersebut di atas memang memberikan justifikasi tentang Kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam. Tersebut di dalam hadits Bukhari dan Muslim:

كيف أنتم إذا نزل عيسى ابن مريم فيكم و إمامكم منكم . (صحيح مسلم مشكل ، صفحه 94 ، الجزء الأول ، مطبعة : محمد علي صبيح و أولاده بمصر )
كيف أنتم إذا نزل ابن مريم فيكم و إمامكم منكم . (صحيح البخاري ، الجزء الثاني ، صفحه168 ، “مطبعه العامرة اْلمليحية” ، سـنة 1332 هـ )
و عن النواس بن سمعان قال ذكر رسول الله صل الله عليه وسلم… و يحصر نبي الله عيسـاـى عليه السلام و أصحابه‘… فيرغب نبي الله عيسى عليه السلام و أصحابه‘ ثم يهبط نبي الله عيسـاـى عليه السلام و أصحابه إلى الأرض… فيرغب نبي الله عيسـاـى عليه السلام و أصحابه إلى الله… إذ بعث الله ريحا طيبة… فيقبض روح كل مؤمن و كل مسلم… و يبقـاـى شرار الناس… فعليهم تقوم السّـاـعـة. ( صحيح مسلم ، الجزء الثامن ، صفحه197-198 ، مطتعه محمد علي صبيح بمصر )

Yang paling penting pada hadits tersebut di atas, Nabi Isa ‘alaihissalaam yang dijanjikan itu disebut sebagai NABI, sebanyak 4 (empat) kali.

Nabi Isa ‘alaihissalaam yang disebut pada beberapa hadits di atas juga sebagai Imam Mahdi, sesuai hadits berikut:

………………ولا المهديُّ إلاّعيسى ابنُ مريمَ . (سنن ابن ماجة ، الجزء الثانى كتاب الفتن – باب شدّة الزمان صفحة1341 ، حديث نمرة : 4039، دار الفكر لبنان)

Yang artinya: “Tiada Mahdi kecuali Isa ibnu Maryam.” (Sunan Ibnu Majah, Juz II, “Kitabul Fitnah” Bab Syiddatuz-Zaman, hal. 1341, Hadits No. 4039, …)

Di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang menyebutkan masih adanya kemungkinan tentang datangnya Nabi setelah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Nabi tersebut, selain tidak membawa syari’at, juga harus datang di dalam umat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah:

 إهدنا الصّراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم سورة الفاتحة : 4-5

Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat.” (QS Al-Fatihah {1} : 4-5)
Penafsiran dari أنعمت dalam Surat Al-Fatihah tersebut, terdapat di dalam Surah An-Nisa (4) : 70.

ومن يطع الله والرسول فاؤلئك مع الذين انعم الله عليهم من النبيّن والصّدّيقين والشّهداء والصّلحين وحسن ا ؤلئك رفيقا النسآء : 70

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu ‘termasuk’ golongan orang-orang yang kepada mereka Allah memberi “nikmat” yaitu para Nabi, para Sidiq, para Syahid, dan orang-orang saleh. Dan merekalah sebaik-baik kawan.”

Kata الرسول , dalam ayat di atas menunjukan kepada rasul tertentu, yaitu: Yang Mulia Baginda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Jadi barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, pasti akan meraih salah satu dari empat tingkatan kerohanian tersebut, yaitu: Nabi, Shidiq, Syahid, dan Shaleh.
Kalau sekiranya kata ma’a ( مع ) hanya diartikan “bersama” (dengan), maka di dalam umat Islam alih-alih menjadi nabi, bahkan tidak mungkin ada orang yang menjadi shaleh, syahid maupun shiddiq. Sebab, jika kata ma’a ( مع ) diartikan “bersama”, maka di dalam umat Islam yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya hanya akan “bersama” dengan orang-orang shaleh, syahid, dan shiddiq dari umat lain. Padahal di kalangan umat Islam, banyak yang menjadi shaleh, syahid dan ada yang menjadi shiddiq, dimana derajat-derajat kerohanian tersebut mereka peroleh berkat ketaatan kepada Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa dan Yang Mulia Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Jadi, kesimpulan dari ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang menaati Allah dan Yang Mulia Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, akan mencapai empat derajat kerohanian tersebut, yaitu: shaleh, syahid, shiddiq dan Nabi—sesuai dengan kadar ketaatan masing-masing. Hanya berkenaan dengan pangkat Kenabian, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa berfirman:

…الله أعلم حيث يجعل رسالته… الأنعام : 125

“Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa Yang Lebih Mengetahui kepada siapa Dia menunjuk Utusan-Nya…” QS Al-An’am {6} : 125
Oleh karena itu, kata ma’a ( مع ) di dalam ayat tersebut di atas (Surah An-Nisa {4} : 70), harus diartikan “menjadi”. Jika diteliti kata ma’a ( مع ) dalam ayat tersebut dengan ayat berikut:

إن المنافقين فى الدرك الأسفل من النارج ولن تجدلهم نصيرا  إلا الذين تابوا وأصلحوا واعتصموا بالله وأخلصوا دينهم لله فأولـاـئك مع المؤمنين ط وسوف يؤت الله المؤمنين أجرا عظيما النساء : 146-147  وتوفّنا مع الأبرار… آل عمران : 194

“Sesungguhnya orang-orang munafik berada di bagian paling bawah dalam Api; dan engkau tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka, kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh kepada Allah, serta mereka ikhlas dalam ibadah mereka kepada Allah. Dan mereka ini termasuk golongan orang-orang mukmin. Dan, kelak Allah akan memberi kepada orang-orang mukmin ganjaran besar.” (QS An-Nisa : 146-147)

Maka, pengertiannya orang munafik pun bisa menjadi mukmin selagi mereka itu bertobat, memperbaiki diri dan berpegang teuh kepada Allah serta mereka ikhlas dalam beribadah kepada Allah, termasuk “golongan orang Muknin.

Penda’waan Hadrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam:

1- وان الله قدعلمنى ان عيسى ابن مريم قدمات _ والحق الاموات و ان الذى كان نازلامن السماء فهو هذ القاءم بينكم كما او حى الى من حضرة الكبرياء

“Dan sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada saya sesungguhnya Isa ibnu Maryam telah wafat. Dan sesungguhnya orang yang turun dari langit itu, maka dia inilah orangnya, yang berdiri di hadapan kamu sekalian, sebagaimana apa yang telah diwahyukan kepada saya dari Hadirat yang Maha Agung.” (Al-Khutbah Al-Ilhammiyah, hal. “ ا ”Alif ).

2- وعلمنى ربّى علوم كتابه واعطيت مما كان يخفى و يستروا سرار قرآن مجيد-

“Dan Tuhan saya telah mengajarkan kepada saya ilmu-ilmu Kitab-Nya, dan saya diberi rahasia-rahasia Quran Agung yang masih tersembunyi dan tertutup.” (Hamaamatul-Busyraa, hal. 359)

3- وان رسولنا خاتم النبين و عليه انقطعت سلسلة المرسلين فليس حق احد ان يدعى النبوة بعد رسولنا المصطفى على الطريقة المستقلة – ومابقى بعده الا كثرة المكالمة – وهو بشرط الاتباع لابغير متابعة خير البرية – و و الله ما حصل لى هذا المقام الا من انوار اتباعا لاشعة المصطفوية – وسميت نبيا من الله على طريقة المجاز لا على وجه الحقيقة-

“Dan sesungguhnya Rasul kita adalah Khatamun-Nabiyyin; dan atasnya silsilah Rasul-rasul itu telah terputus, maka tidak ada hak (kebenaran) bagi seseorang mendakwakan diri sebagai Nabi sesudah Rasul kita Al Musthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam di atas jalan yang terpisah. Dan tidak ada yang tersisa sesudah beliau, kecuali wawancakap yang banyak. Dan hal itu terjadi dengan syarat mengikuti beliau, bukan tanpa mengikut kepada sebaik-baik manusia (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Dan demi Allah, kedudukan ini tidak akan sampai kepada saya, kecuali karena cahaya-cahaya mengikuti cahaya Matahari yang terpilih (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Dan saya dinamakan Nabi dari Allah di atas jalan Majaz (metafora), bukan sebagai hal yang hakikat.” (Al-Istiftaa, hal. 71, 72).

Batu Ujian Kebenaran Kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam
Batu ujian yang paling akurat dan meyakinkan adalah Al-Quran. Lihat surah Al Haqqah {69} : 45-47.

ولو تقوّل علينا بعض الاقاويل  لاخذنا منه با ليمين  ثمّ لقطعنا منه الو تين
الحـاقة : 45-47

“Dan sekiranya seseorang mengaku-ngaku atasnama Kami mendapatkan sebagian perkataan, niscaya Kami akan menangkap dia dengan kekuatan. Kemudian, tentulah kami memutuskan urat nadinya.”
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tak seorangpun yang akan selamat di dunia ini jika ia berani mengatakan telah menerima wahyu dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa padahal dia dusta.
Oleh karena itu, bukanlah wewenang manusia untuk menghukum seseorang yang mengaku menerima wahyu dari Allah Taala sebab jika dia berdusta dalam hal ini, maka Allah Taala sendiri yang akan menghukumnya di dunia ini juga.

Sumber;
Buku Klarifikasi Tazkirah PB JAI

Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam Mempunyai Paham Wihdatul Wujud?

In Ahmadiyah, Tabligh, Tafsir on 30 Oktober 2009 at 13:25

BERKENAAN dengan pemahaman wihdatul wujud, diperlukan penelaahan yang mendalam. Banyak wahyu Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa yang mutasyaabihaat. Untuk orang-orang yang memiliki pengetahuan serta pengalaman dalam dunia tasawuf, terutama para Ulama Salaf, maka ilham-ilham/wahyu-wahyu merupakan pengalaman biasa bagi mereka. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam banyak menerima wahyu, diantaranya seperti berikut:

أَنْتَ مِنيِّ ْ وَ أَنَا مِنْكَ – Artinya: Engkau dari-Ku dan Aku darimu
أَنْتَ بِمَنْزِلَةِ تَوْحِيْدِيْ وَتَفْرِيْدِيْ – Artinya : Engkau berkedudukan sebagai Tauhid-Ku dan Keesaan-Ku.

Ilham/wahyu seperti ini tidak akan menimbulkan keheranan bagi Ulama-ulama Salaf karena mereka mengalami dan memahaminya. Contoh wahyu seperti di atas dikarenakan diterima oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam, maka beliau jugalah yang lebih berhak dan lebih mengetahui maksud wahyu-wahyu tersebut; beliau ‘alaihissalaam menjelaskan bahwa maksud wahyu tersebut ialah Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa mengatakan, “Engkau begitu dekat dengan-Ku dan hal itu juga yang Aku inginkan dari engkau sebagaimana kepada Tauhid dan Keesaan. Maka, ketika Aku menginginkan Tauhid-Ku mendapatkan kemasyhuran, begitu juga Aku akan memasyhurkan namamu. Dan dimana saja, ada nama-Ku, di sana pun ada namamu.” (Arba’in Jilid II, halaman 35)

Selanjutnya beliau ‘alaihissalaam bersabda, “Arti wahyu tersebut, yang aku pahami ialah: ‘Bahwa orang seperti itu semisal dengan Tauhid, karena dia menyebarkan Tauhid. Ketika Tauhid sudah tercemar, maka di masa itulah datang seseorang yang menjadi penampakan Tauhid. Setiap orang dikenal dengan tujuan hidupnya (cita-citanya). Akan tetapi, orang ini, tujuan dan cita-citanya hanya Tauhid. Dia mendahulukan dan mengutamakan Tauhid Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, dibandingkan dengan tujuan dan cita-cita pribadinya.” (Pidato yang dimuat pada Surat Kabar Al-Hakam tahun 1907, halaman 9)
Jadi, dua ilham/wahyu di atas, sangat jelas menunjukkan bahwa maksudnya, Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa mengatakan, “Aku akan memasyhurkan nama-mu dan dimana saja Tauhid-Ku dikenal, di sana juga nama-mu akan dikenal; karena, tujuan dan cita-cita-mu hanyalah, agar Tauhid tersebar ke seluruh dunia.”

Selanjutnya beliau ‘alaihissalaam bersabda, “Ingatlah Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa suci dari mempunyai anak. Dia tidak mempunyai sekutu dan tidak diperanakan dan tidak ada yang akan mendapatkan hak untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan atau anak Tuhan. Bentuk ilham/wahyu yang memerlukan penjelasan seperti ini terdapat juga di dalam Al-Quranul-Karim, misalnya:

يد اللهِ فوق أيديهم…  الأنفال : 18

Jika ilham-ilham/wahyu-wahyu seperti itu direnungkan dengan bijak dan hati-hati, maka maksudnya akan dapat dipahami; bahwa ayat-ayat itu tidak dapat diartikan secara zahiriah tapi harus dipahami sebagai kiasan. Demikian jugalah pengertian sebagian ilham/wahyu yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam.

Selanjutnya beliau bersabda, “Wahai orang-orang yang mendengar, dengarlah! Tuhan menghendaki apakah gerangan dari kalian? Hanya ini, yaitu jadikanlah kalian kepunyaan-Nya. Janganlah kalian mempersekutukan Dia dengan siapapun jua, tidak di langit, tidak di bumi. Tuhan kita adalah Tuhan yang sekarang pun masih hidup seperti dahulu Dia hidup. Sekarang pun masih berkata-kata, seperti dahulu selalu berkata-kata. Sekarangpun masih mendengar, seperti dahulu Dia selalu mendengar. Kelirulah pendapat orang yang mengatakan bahwa di zaman ini, Dia hanya dapat mendengar, tetapi tidak bisa berkata-kata; bahkan ingatlah Dia tetap mendengar dan tetap pula berkata-kata. Tiada satu pun sifat Allah yang berhenti atau tidak bekerja lagi, baik sekarang maupun di masa masa depan. Dia Esa, Tunggal tidak ada sekutu-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula beristeri. Dia tidak bermisal, yaitu tidak ada tandingan-Nya. Tiada suatu pun yang bersifat istimewa seperti Dia. Tidak ada menyamai-Nya. Dan tidak ada yang bersifat seperti sifat-Nya…” (Al-Washiyyat, halaman 11-12; Ruuhaanii Khazaa’in, Jilid XX, halaman 309-310, Additional Nazir Isyaat London, 1984)

Wujudi dan Syuhudi

Berkenaan dengan pemahaman Wihdatil-wujud, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihissalaam bersabda sebagai berikut:
“Pada dasarnya, paham ini ada dua, wujudi dan syuhudi. Wujudi mempunyai mempunyai pemahaman bahwa kecuali manusia, Tuhan itu tidak bermakna apa-apa; atau sebaliknya, kecuali Tuhan selebihnya tidak bermakna apa-apa. Pendapat itu seperti pemahaman para filosof. Tetapi halnya dengan syuhudi, mereka ini benar. Dari cinta dan penampakkan sifat Ilahi, mereka dapat mengetahui bahwa Tuhan itu ada. Di hadapan zat dan wujud-Nya, mereka menganggap diri mereka tidak bermakna sama sekali. Hal itu telah menggenapi makna mantoo syadam too man syadii (bahasa Farsi), yakni: Pada hakikatnya sikap menafikan (menganggap diri tiada berarti) merupakan buah dari kecintaan. Hal itu tidak dapat disangkal bahkan Al-Quranul-Karim sendiri membenarkannya. Inilah yang disebut fanaafillaah.
Tetapi paham wujudi, tidaklah demikian. Keadaan mereka seperti para dokter yang setelah mendiagnosa suatu wujud, barulah mereka menyaksikan Tuhan. Sampai-sampai, ada dari mereka yang menganggap diri mereka sendiri sebagai Tuhan. Yang demikian itu jelas menrupakan kesalahan nyata dan suatu hal yang tidak mempunyai hakikat.

Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa telah jelas berfirman:

لا تدركه الأبصار… الأنعام : 104

Golongan wujudi itu mengatakan Laa ilaaha illallaah dan bahwa merekalah penjunjung Tauhid sejati, dan selebihnya adalah musyrik. Akibatnya, di kalangan masyarakat, muncul sikap menghalalkan segala larangan dan hal ini menjadi berkembang kemana-mana. Kejahatan dan kebejatan menjadi meningkat. Sebab, semua hal itu tidak mereka anggap haram. Mereka menganggap shalat, puasa dan hal-hal lainnya sebagai suatu yang tidak penting. Hal ini menimbulkan suatu bencana yang sangat besar atas Islam. Menurut saya, perbedaan antara orang-orang wujudi dengan orang-orang atheis hanya beda antara angka 19 dan 20.

Golongan wujudi memang patut dibenci dan dicela. Sangat disayangkan, sekian banyak tokoh suci yang hidup mengasingkan-diri, mungkin tidak satu pun di antara mereka yang tidak menganut paham tersebut. Yang paling disayangkan adalah firkah yang menisbahkan diri merekake Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullaahu—yang disebut qadiri. Mereka pun sudah menjadi wujudi. Padahal, Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullaahu bukanlah seorang wujudi. Amal perbuatan dan tulisan-tulisan beliau rahimahullaahu justeru merupakan bukti nyata dari ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Para ulama memahami bahwa ihdinash-shiraathal-mustaqiim ini, hanya untuk dibaca saja. Sedangkan dampak-dampak dan buahnya tidak ada. Namun, beliau (Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani) rahimahullaahu secara amalan memperlihatkan bahwa contoh-contoh orang yang memperoleh nikmat/anugerah tersebut, memang terdapat di dalam umat ini.

Ringkasnya,, dengan karunia Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, walaupun orang-orang seperti ini jumlahnya sedikit (orang-orang) suci, tetapi sudah pasti bahwa mereka menjalin kecintaan yang sempurna terhadap Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, dan sambil hidup di dunia ini, mereka menerapkan inqitaa’ (pemutusan hubungan dengan dunia) dan melakukan persiapan perjalanan akhirat. Hal ini tampil di dalam diri orang-orang seperti Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullaahu. Namun, sekarang berbeda dari itu, justeru orang yang banyak adalah orang-orang wujudi. Dan karena itulah, keburukan dan kejahatan menjadi berkembang.

Saripati ajaran Quran Syarif (Al-Quranul-Karim) adalah, manusia sedemikian rupa tenggelam ke dalam kecintaan terhadap Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa sehingga selain Allah, segala sesuatunya itu menjadi halus terbakar. Dan, inilah resep yang menganugerahkan indera serta bashirat (penglihatan) sedemikian rupa kepada manusia di dunia ini juga sehingga melalui itu, manusia meraih berkat-berkat alam akhirat di alam dunia ini juga. Dan dengan makrifat serta bashirat itulah, manusia pergi meninggalkan dunia ini.

Demikian pula orang-orang yang bukan dari kelompok tersebut, tentang mereka dikatakan, “Wa man kaana fii haadzihii a’maa fahuwa fil-aakhirati a’maa—(dan barangsiapa di dunia buta, maka di akhirat dia lebih buta).” (QS Al-Isra’ {17} : 73)
Dan begitupula orang-orang (suci) tadi, tentang mereka dikatakan: Waliman khaafa maqaama rabbihii jannataan—(dan bagi orang yang takut maqam Tuhan-nya, ada dua surga).” (QS Ar-Rahman {55} : 47)
Yakni, orang-orang yang takut yang berdiri di hadapan Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, bagi mereka tersedia dua surga. Menurut saya, hakikatnya satu surga akan diperoleh setelah mati dan satu surga lagi, yang akan dianugerahkan di dunia ini juga. Dan surga di dunia inilah, yang merupakan bukti tentang adanya surga di akhirat nanti. Orang-orang mukmin seperti itu terbebas dari banyak sekali neraka di dunia ini. Berbagai macam akhlak juga merupakan neraka. Benda-benda yang dengannya, manusia menjalin hubungan mendalam, juga merupakan sejenis neraka. Sebab, dengan meninggalkan benda-benda itu, manusia mengalami penderitaan berat. Misalnya, kecintaan terhadap harta. Dan jika pencuri merampasnya, maka manusia menderita sekali. Sampai kadang-kadang orang seperti itu bisa mati karenanya; atau tidak bisa berbicara lagi. Seperti itu pula yang mencintai benda-benda tidak abadi lainnya. Jika benda-benda itu hilang atau mati, maka manusia merasa pedih dan sedih sekali.” (Malfuzhaat, Jiid VIII, hal. 52-54, Additional Nazir Isyaat London, 1984)
“Ringkasnya, golongan wujudi ini sangat kotor. Dan orang-orang yang menganut paham wihdatul wujud, mereka itu sangat lancang dan takabur. Mereka tidak meninggalkan kesalahankesalahan mereka; dan memeang bagaimana mungkin mereka meninggalkan kesalahan-kesalahan mereka sebab—ma’aadzallaah—mereka telah menganggap diri mereka sendiri tuhan. Jika dipaparkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, tentu mereka akan mengetahui hakikat kesalahan-kesalahan mereka. Mereka puas terhadap pemikiran mereka yang kekanak-kanakan itu. Oleh karena itu, mereka tidak dapat mengetahui hakikat Quran Syarif (Al-Quranul-Karim). Ini dalah adalah suatu kerusakan besar. Saya tidak dapat mengerti sejak kapana kerusakan ini timbul… Sebenarnya perbedaan paham fanaa nadziiri dan fanaa wujudi, golongan pertama itu tidak menganut falsafah melainkan menganut kecintaan yang mendalam. Sedangkan golongan yang kedua, mereka menjadi filosof. Ini adalah musuh dan pengingkar Tuhan. Sebab, sebagaimana seorang filosof dapat menyayat orang mati tai tidak mutlak ia pun memakan bangkai itu, demikian pul agolongan wihdatul wujud ini duduk menjadi tuhan tetapi tidak mutlak bahwa mereka pun mencintai Tuhan… Para tokoh (Sufi) besar yang telah melangkahkan kaki ke depan, mereka telah menjadi orang-orang yang telah diterima di sisi Allah. Sebabnya adalah, kecintaan akan Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa menguasai diri mereka. Mereka beriman kepada Quran Syarif (Al-Quranul-Karim). Dan mereka berenang di lautan kecintaan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Agama mereka adalah Islam. Oleh karena itu, dengan karunia Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa, mereka menampakkan keajaiban demikian. …Hakikatnya adalah, tatkala seorang hamba menjalin suatu hubungan kecintaan yang mendalam dengan khaliq-Nya, maka saat itu Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa menganugerahkan keppadanya suatu kelezatan dari antara sifat-sifat-Nya. Sebab, Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya.
Ringkasnya, ini adalah kesalahan orang-orang yang telah menjadi tuhan itu. Dan mereka telah menimbulkan kerugian besar terhadap Islam. Para penentang Islam mengutip kata-kata mereka lalu melontarkan kritikan-kritikan terhadap Islam. (Malfuzhat, Jilid II, halaman 352-353)

Sumber :
Buku Klarifikasi Tazkirah PB JAI

Masalah Wahyu

In Ahmadiyah, Tabligh, Tafsir on 30 Oktober 2009 at 13:09

Apakah “Wahyu” itu?

SEYOGIANYA dimaklumi bahwa timbulnya pertanyaan di atas ialah karena adanya perbedaan pemahaman/pandangan antara Ahmadiyah dan bukan Ahmadiyah tentang Masalah Wahyu. Untuk lebih jelasnya pemahaman akan hal wahyu, di bawah ini kami kutip penjelasan tentang wahyu dari segi etimologi yang tertera dalam lughat Al-Quran, karangan Imam Raghib Isfahani, sebagai berikut:

“Arti mendasar wahyu ialah ‘isyarah yang cepat dan tiba-tiba’. Dan berhubung dalam kata ‘itu’. terkandung kata ‘cepat/tiba-tiba’—sebab itu berturut-turut, sambung-menyambung dikatakan: أَمْرٌ وَحْيٌ (amrun wahyun). Dan wahyu ini, kadangkala dengan perantaraan kalam sebagai isyarah dan dengan bahasa perumpamaan dan terkadang dengan perantaraan suara tanpa kata-kata, dan terkadang dengan isyarah organ tubuh, dan kadang dengan tulisan. Dan dikatakan juga, bahwa kalam Ilahi yang disampaikan kepada para Nabi dan Wali-wali disebut wahyu.”

Kemudian dalam Lughat Hadits terkenal Nihayah Ibnul Atsir Al-Juzri tertulis: Di dalam Hadits ditemukan kata wahyu berulang-ulang dan ini digunakan dalam arti tulisan, isyarah, pesan/amanat, ilham dan kalam yang tersembunyi.

Berikut ini arti dalam kitab Biharul-Anwar dan Asyifa Bil ‘Arifi Haququl-Mustafa, dan dalam Munjid tertulis:
“Ia telah mengisyarahkan padanya” — وَحَى يحَـْي وحيا إلى فلان : أَشارَ اليه
“Telah mengirim utusan padanya” — أَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُوْلاً
وحي إليه أو وَحَى إليه كلاما كَلَّمَهُ بمِـَا يخفيه عن غيره
“Berbicara dengan kalam yang tersembunyi atau dia telah berbicara dengan kata yang tersembunyi dari orang lain”
“Allah telah mengilhamkan kepadanya” — وحي الله في قلبه كذا : أَلهْـَمَهُ إِيَّاهُ
“Dia telah menulis kitab” — __ الكتاب : كَتَبَهُ
“Menyembelih dengan cepat” — الذَّبِيْحَة ذَبحَـَهُ بِالسُّرْعَةِ___
Dari referensi-referensi di atas, arti “wahyu” secara etimologi dapat menjadi jelas. dan dalam istilah ini, firman Ilahi yang turun pada para nabi dan wali-wali disebut “wahyu”.

Bagaimana Turunnya Wahyu?

ALLAH Subhaanahuu wa Ta’aalaa sendiri menjawabnya dalam Al-Quran Surah Asy-Syuura 42 ayat ke-51.

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ  الشّورى : 52

“Allah tidak berbicara dengan manusia, kecuali dengan wahyu atau di balik tirai (perlu penafsiran) atau Dia mengirim Rasul-Nya yang sesuai dengan izin-Nya kepada yang Dia kehendaki. Sesungguhnya, Allah Maha Luhur, Maha Bijaksana.” (QS Asy-Syuraa {42} : 52)

Di dalam ayat ini, diterangkan tentang sifat Tuhan yang abadi yang menurunkan kalam-Nya kepada siapapun dari hamba-Nya karena di dalam ayat ini tidak dikatakan: مَا كَانَ لِنَبِيِّيٍ (yaitu: hanya dengan Nabi saja Tuhan berbicara), bahkan مَا كَانَ لِبَشَرٍ (yaitu: siapapun dari hamba-Nya, Dia berbicara). Dan Basyar (manusia) ada 4 kelompok, yaitu: Nabi, Wali, Mukmin dan Kafir.

Dalam Tafsir Jami’ul Bayan, ‘Allamah Mu’in bin Syaji rahimahullaahu, di bawah kata وَحْياً menulis: “الإلهْـَامُ أَوِ المْـَنَام – al-ilhaamu awil-manaam―bahwa maksud wahyu ialah ilham atau kalam yang diturunkan dalam mimpi. Dan, kepada keempat macam manusia itu, Tuhan berbicara sesuai dengan kadar tinggi-rendahnya kerohanian seseorang. Jika manusia-biasa, maka sedikit pula kadar pembicaraan Tuhan dengannya. Jika dia wali, tentu akan lebih banyak. Jika dia seorang Nabi, maka sesuai arti نبي (nabi) itu sendiri, yang artinya banyak berbicara dengan Tuhan, dan mendapat banyak wahyu dari Tuhan, secara kwantitas – ilham yang dia terima dari Tuhan jauh lebih banyak dari yang lain.

Sesuai ayat yang tadi, ada tiga cara turunnya wahyu. Pertama, “ وَحْياً – wahyaan.” Dalam Tafsir Jalalain tertulis: فى المنام أَوْبِاْلإِلهْـَامِ. Maksud wahyu ialah kalam Ilahi yang turun dalam mimpi atau dengan ilham pada waktu sadar.

Di dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil ayil-Quran, Juz XIII, hal. 46, tertulis bahwa “wahyu” artinya adalah ilham, ilqa (tiba-tiba tercetus suatu ide yang baik di hati dari Tuhan).
Kemudian Hadhrat Imam Razi rahimahullaahu dalam Tafsir Kabir, Jilid XIV, hal. 187 (Darul Fikir Libanon) bahwa maksud “wahyu” adalah: هو الإلهام والقذْفُ
فىِ الْقَلْبِ أَوِ المْـَنَام. Wahyu ialah ilham dan memasukkan kata-kata dalam hati, atau memperoleh ilmu melalui mimpi.

Telah dipaparkan diatas rujukan-rujukan yang berkenaan dengan wahyu supaya dapat menghilangkan keraguan yang menganggap bahwa ilham atau mimpi tidak termasuk dalam wahyu.
Cara kedua: من وراء حجاب “kalam di balik tirai”. Ketiga: يرسل رسولاً – Tuhan mengirim malaikat dan menyampaikan ilham kepada nabi dan wali-wali.
Tafsir Kabir, Juz VII, hal. 406

Hadhrat Imam Razi rahimahullaahu menerangkan cara itu sebagai berikut: Yakni, wahyu Tuhan sampai pada manusia tanpa perantara (malaikat) atau dengan perantaraan yang menyampaikan.
Dan jika wahyu sampai tanpa malaikat, dan kata-kata Tuhan pun tidak didengar orang itu, maka itu disebut “wahyu”.
Dan jika wahyu itu sampai tanpa melalui malaikat, tapi di dalamnya dia mendengar kata-kata Tuhan, maka itu termasuk dalam katagori من وراء حجاب . Dan jika kata wahyu sampai melalui malaikat, maka itu termasuk يرسل رسول . Dan pada akhirnya, Razi rahimahullaahu menulis suatu hal yang harus diingat bahwa: “Hal ini hendaknya dimaklumi bahwa tiga cara kalam ini disebut “wahyu”, tapi Tuhan hanya menyatakan cara pertama itu yang disebut wahyu. Karena kalam yang datang dengan perantaraan ilham itu, timbul di hati secara tiba-tiba (arti ‘wahyu’: cepat, secara kilat, dan ia tiba-tiba)—oleh karenanya, secara khusus penggunaan kata “wahyu” lebih tepat (dari segi lughat)”.
Topik ini terdapat juga dalam Tafsir Alhazin Ibnu Katsir dan Tafsir Assawi, dan lain-lain. Jadi dari keterangan ini dimaksudkan bahwa wahyu ini mempunyai beberapa macam nama. Untuk lebih jelasnya, kami kutip sebagai berikut:

Hadhrat Ibnu Qayyim rahimahullaahu dalam kitabnya, Zadulma’ad, Juz I, hal 18-19, menulis: Allah telah menyempurnakan itu untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, yaitu:
1. Mimpi yang benar: Ini untuk Hadhrat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam merupakan permulaan wahyu, dan rukya/mimpi yang beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam lihat itu kemudian menjadi sempurna.
2. Wahyu yang malaikat masukkan ke dalam hati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam—tapi, Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak melihat malaikat itu sebagaimana beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa ruh qudus telah memasukkan dalam hati saya bahwa: Seseorang tidak akan mati selama rizkinya belum dia peroleh, maka takutlah pada Allah dan bekerja keraslah dan jika agak terlambat mendapatkan rizki, maka janganlah berpaling dari Tuhan karena barang yang ada pada Tuhan itu didapatkan karena itaat pada-Nya.
3. Malaikat dalam bentuk orang menjelaskan di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berbicara dengan beliau dan apa yang dia katakan Nabi mengingatnya—dalam corak ini, terkadang Sahabah pun melihatnya juga.
4. Wahyu itu sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk suara lonceng. Ini merupakan wahyu yang sangat keras dan di dalam itu pun malaikat bersama nabi, dan karena kerasnya, Nabi sampai bercucuran keringat.
5. Nabi melihat malaikat dalam bentuknya yang asli sebagaimana ada di dalam Surah An-Najm.
6. Wahyu diturunkan pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada malam Mikraj berkenaan dengan “shalat”.
7. Kalam Ilahi yang sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Dia berfirman kepada Musa bin Imran, dan peristiwa ini terjadi untuk Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam terjadi pada malam Isra.
8. Tuhan berbicara berhadap-hadapan dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, ini sesuai dengan pandangan kelompok yang mempercayai bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sadar juga melihat. Menurut ulama salaf dan khalaf (yang datang kemudian), ini merupakan hal yang masih dalam “perselisihan”, tapi sahabah pada umumnya bahkan kesemuanya bersama Hadhrat Aisyah radhiyallaahu ‘anha sebagaimana Usman bin Darami menyatakan, hal itu adalah Ijmak bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak melihat Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa dengan mata jasmani dalam keadaan jaga. (QS An-Najm: “ ما كذب الفؤادمارأى – tidak berdusta apa yang dilihat dengan mata hati. Hadits: رَأَيْتُهُ بِفُؤَادِيْ – saya melihat-Nya dengan mata hati.”)

Faedah Wahyu

IMAM Razi rahimahullaahu berkata, “Ruh-ruh hidup dengan makrifat dan penjelamaan manifestasi-manifestasi suci. Oleh karena ruh-ruh hidup dengan perantaraan wahyu, sebab itu diberi nama ‘ruh’. Karena sebagaimana ruh merupakan faktor kehidupan jasmani ini, maka wahyu merupakan faktor kehidupan rohani.”

Singkatnya, tujuan-tujuan kebangkitan Nabi merupakan tujuan turunnya wahyu. Misalnya, Nabi membawa bersamanya tanda-tanda dan mukjizat supaya orang-orang memperoleh iman dan keyakinan yang kuat bahwa Tuhannya Yang Maha Kuasa itu ada dan tanda-tanda ini turun melalui wahyu.

Lebih lanjut Ar-Razi rahimahullaahu menulis pada hal. 292:
Jadi ayat-ayat/tanda-tanda dalam agama kedudukannya sebagai makanan dan minuman bagi badan, serta tanda-tanda adalah untuk kehidupan agama/ruhani dan sebagaimana halnya rizki-lahiriah untuk kehidupan jasmani.

‘Allamah Assawi Al-Maliki rahimahullaahu dalam catatan kaki Jalalain menulis ينزل الملـآـئكة بالرّوح . Wahyu diberi nama ‘ruh’ karena hati memperoleh kehidupan dan kebahagiaan abadi dari hal tersebut; dan yang bergeser darinya, akan hancur; sebagaimana halnya dari ruhlah terjadi kehidupan jasmani, dan tanpa itu, jasmani akan hancur.
Imam Razi rahimahullaahu dalam Tafsir Kabir di bawah ayat ini, berkata: maksud ruh ialah wahyu dan kalam Allah. Dan selanjutnya berkata, “Yakni dengan perantaraan Al-Quran dan wahyu, mukjizat Ilahi serta kasyaf menjadi sempurna. Dan dengan mukjizat inilah, akan menjadi cemerlang dan sempurna. Jadi, menjadi jelas bahwa ruh yang sebenarnya dan wahyu hakiki adalah Al-Quran itu sendiri.
Ringkasnya bahwa jika Allah menganugerahi kedekatan-Nya dan Dia menganugerahkan berwawancakap dengan-Nya, pasti orang itu lebih-baik dari orang yang tidak mendapatkan karunia ini. Bahkan, mereka dapat memanfaatkan ini untuk mendapatkan kehidupan ruhani—sementara orang lain diibaratkan mati dibandingkan dengan mereka yang menerimanya.

Di dalam Al-Quran kita membaca bahwa orang yang tetap teguh dalam keyakinan, malaikat Tuhan turun pada mereka untuk menghiburnya: Jangan sedih dan bimbang. Di dunia ini, Allah menjadi teman mereka; yakni, Tuhan berbicara dengan mereka dan di akhirat kelak.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ – حم السّجدة : 30

Sebagian orang menjadi takut mendengar nama wahyu dan menganggap bahwa maksud turunnya wahyu ialah: Wahyu Al-Quran menjadi mansukh, serta mazhab dan agama baru akan turun, kekhawatiran seperti ini sama sekali tidak ada dasarnya, baik di dalam Al-Quran maupun Hadits.

Wahyu Syari’at dan Wahyu yang bukan-Syari’at

BERKENAAN dengan masalah Kenabian, perlu dijelaskan bahwa Nabi ada dua macam sebagaimana tertera dalam Al-Quran, yaitu:

 إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَّنُورٌ يحَـْكُمُ بهِـَا النَّبِيُّونَ … المآئدة 44

Sesungguhnya kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya petunjuk dan nur. Banyak Nabi-nabi dan para Rabbani berhukum sesuai dengan itu… (QS Al-Maidah (5) : 44)

Dari ayat ini jelas, ada Nabi pembawa Syari’at dan Nabi yang tidak membawa Syari’at. Karena setelah Nabi Musa ‘alaihissalaam, banyak Nabi-nabi lahir yang banyak berhukum sesuai Taurat sebagaimana sabda Hadhrat Isa ‘alaihissalaam pada Matius, 5 : 17-18. “Janganlah kamu menyangka bahwa aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya sebelum lenyap langit dan bumi ini. Satu noktah atau satu titik pun tidak akan ditiadakan.” Dan hal ini sesuai dengan Al-Quranul-Karim, yaitu:

و رسولا إلى بني إسرائيل لا … (إلى اخر) ( آل عمران : 50 )
“…Dan Rasul untuk Bani Israil…” (QS Ali Imran {3} : 50)
و مصدقا لما بين يدي من التورااـة … ( إلى اخر ) ( آل عمران : 50 )
“…Dan Rasul untuk Bani Israil…” (QS Ali Imran {3} : 51)

Di dalam umat Islam pun sesuai Surat Al-A’raf (7) ayat ke-35:
يَابَنِي ءَادَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ ءَايَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Wahai anak Adam, kapan saja datang padamu rasul-rasul dari antara kalian sendiri yang membacakan dan menerangkan padamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa di antara kalian yang bertakwa dan beramal saleh, mereka tidak akan takut dan sedih.”
Yang dimaksud anak Adam adalah orang-orang di zaman nabi dan sesudahnya.

Imam Jalaluddin Assayuti rahimahullaahu—pada Al-Itqan, Juz II, hal 34—dalam menafsirkan Surah Al-A’raf (7) ayat ke-31 “يَابَنِي ءَادَمَ ، خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ” bahwa dalam ayat ini Bani Adam ditujukan kepada orang-orang zaman Nabi dan yang berhubungan dengan orang-orang sesudahnya. Sebelum ayat ini pun, dua-tiga kali بَنِي اادَمَ disebutkan, yang maksudnya adalah: umat manusia. Dan kata “ يَأْتِيَنَّ ” adanya nun taukid menekankan bahwa Rasul-rasul akan dikirim di masa yang akan datang—akan menerangkan ayat-ayat Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa yaitu Al-Quran—karena Islam ialah agama sempurna dan tidak ada Syari’at lagi selain Islam. Oleh karena itu, wahyu-Syari’at tidak akan datang lagi kecuali wahyu yang mendukung (tanpa Syari’at).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ لم يَبْقَ مِنَ النّبوة إلالمبشّراتُ – Dalam umat ini, rangkaian mubasyirat akan tetap berjalan dari Tuhan—baik itu dalam corak wahyu, kasyaf dan bentuk mimpi.”
Begitu juga Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa dalam umat terdahulu ada orang-orang yang dengan mereka Tuhan berbicara, padahal mereka bukan nabi dan jika ada orang dalam umat ini, maka itu adalah Hadhrat Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anhu. (HR Bukhari, “Jami’ush-Shagiir”)

Dan, dari Al-Quranul-Karim diketahui bahwa dalam umat terdahulu ada Zulqarnain, Ibunda Nabi Musa ‘alaihissalaam, Ibunda Nabi Isa ‘alaihissalaamFiraun di zaman Nabi Yusuf ‘alaihissalaam, Firaun di zaman Nabi Musa ‘alaihissalaam dan lain-lain yang mendapat wahyu—jika di dalam umat ini hanya satu orang yang Allah berbicara dengannya, dibandingkan orang-orang terdahulu, maka ini merupakan penghinaan terhadap umat Islam. Karena, dalam pandangan para ulama salaf, berwawancakap dengan Tuhan merupakan pertanda seorang meraih kesempurnaan dalam hal rohani seperti apa yang dikatakan Imam Razi rahimahullaahu dalam tafsir beliau.

Di dalam umat Islam banyak orang-orang suci yang dapat berwawancakap dengan Tuhan seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam Al-Fatawa Haditsiyah, hal. 257:
إنّه مِنَ المحْـُـَدَّثِين بفتح الدَّال … اَلمْـُلْهَمِـْينَ
“Bahwa dia (Umar) dari antara para muhaddas: Yang diberi wahyu.”
Syekh Abdurrahman Assafuri dalam kitab beliau Nazhalul Majalis, Juz I hal 207 “العلم و اصفح” menjelaskan:
Hadhrat Umar radhiyallaahu ‘anhu bersabda, “Saya telah melihat dalam mimpi, Allah berfirman, ‘Hai, Ibnu Khaththab. Mintalah!” Saya tetap diam. Maka Dia kembali berfirman, ‘Hai, Ibnu Khaththab. Aku menyodorkan di hadapan-mu negeri-Ku dan pemerintahan-Ku di hadapan-mu. Dan mintalah apa yang engkau inginkan dan namun engkau tetap diam.’ Maka saya berkata, ‘Wahai Tuhanku, sambil menurunkan kitab, Engkau bercakap-cakap dengan mereka. Oleh karena itu berbicaralah denganku tanpa perantara.’ Lalu Tuhan berfirman, ‘Wahai, Ibnu Khaththab. Barangsiapa yang berbuat baik kepada orang yang menyakitinya, maka sesungguhnya dia telah bersyukur kepada-Ku dan, barangsiapa yang menyakiti orang yang telah berbuat baik kepadanya, maka dia tidak mensyukuri nikmat-Ku.’”
Dalam buku Durrul-Manshur, kita membaca wahyu/doa yang diajarkan kepada Hadhrat Aisyah radhiyallaahu ‘anha oleh malaikat:

ياسابغ النّعم و يا دافِع النِّقَم …(إلى الأخر)

Ketika beliau radhiyallaahu ‘anha. menerima wahyu itu, lapar dan dahaga beliau serta semua kesedihan beliau, menjadi hilang. Dan, turun pula ayat yang menyatakan kesucian beliau.

Kemudian, dalam Al-Mathalib Jamaliyah, berkenaan dengan Imam Syafi’i, Al-Ustad As-Sahani menulis sebuah kitab bahwa Hadhrat Imam Syafi’i rahimahullaahu melihat Tuhan dalam mimpi dan berdiri di hadapan beliau. Maka, Tuhan memanggil beliau, “Wahai Muhammad bin Idris, tegaklah di atas agama Muhammad. Dan, janganlah sama sekali bergeser dari itu. Kalau tidak, kamu sendiri akan sesat dan akan menyesatkan orang-orang. Apakah kamu bukan imam orang-orang? Kamu janganlah sama sekali takut pada raja itu. Bacalah ayat ini, QS Yaa Siin (36) : 8.

إِنَّا جَعَلْنَا فيِْ أَعْنَاقِهِمْ أَغْلاَلاً فَهِيَ إِلىَ اْلأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ  يـس : 8

‘Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah.’
Imam Syafi’i berkata, ‘Maka saya bangun, dengan kudrat Tuhan, ayat meluncur dari lidah saya.’
Hadhrat Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaahu menerima wahyu. Hadhrat Ibnu Arabi dalam kitab Futuhatul Makiyyah Juz III, hal. 65, dalam menyebut Mikraj, beliau berkata bahwa ayat ini turun:
قل ءامنّا باِلله …(إلى الأخر)  البقرة : 36
Hadhrat Miir Dard, seorang suci di zamannya banyak menulis ilham. Dia di dalam bukunya Ilmul-Kitaab, di bawah judul “Tahdiitsi nik’mat” (Penguraian Nikmat), menulis banyak ilham beliau diantaranya:

وَ ادْعُهُمْ إِلىَ الطَّرِيقَةِ اْلمحُـَمّديّة بمِـَا أَنْزَلَ اللهُ فيِْ مِنَ الأاياَتِ الَّتيِْ هِيَ الشَّاهِدَاتِ الْبَيِّنَاتُ عَلَى حَقِّيَتِكَ وَ لاَتَتَّبِعْ أهْوَاءَ هُمْ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ

“Serulah mereka pada jalan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan ayat-ayat yang Allah turunkan dalam kitab-Nya, dan saksi yang jelas atas kebenaran engkau dan janganlah engkau mengikuti keinginan-keinginan mereka. Dan, bersiteguhlah sebagaimana diperintahkan kepada engkau—(dan turun pula kata)—فاَسْتَقِمْ كَمَا أمِرْتَ—yang merupakan ayat Al-Quranul-Karim.”
Kemudian beliau menulis beberapa ilham kepada beliau sebagai berikut:

أفحكم الجاهلية يبغون في زمان يحـكم الله ااياته مايشآء
Di dalam ini ada pula ayat Al-Quranul-Karim. Banyak wahyu-wahyu yang di dalamnya bukan ayat Al-Quranul-Karim. Misalnya:

يَامَوْرِدَ الوَارِدَاتِ وَياَ مَصْدِرَ اْلاايَاتِ إِنَّا جَعَلْنَاكَ اايَةً لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ وَ لَكِنَّ أَكْثَرَ النّاَسِ لاَيَعْلَمُونَ قُلْتُ يَا رَبِّ تَعْلَمُ ماَ فيِْ نَفْسِيْ وَ لاَ أَعْلَمُ ماَ فيِْ نَفْسِكَ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْلَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ اْلعزِيْزُ الحْـَكِيْمُ

Di dalam ilham ini, bersama ilham, ada juga ayat-ayat Al-Quran.
Dalam Futuhul-Ghaib مفاله 26 Hadhrat Syekh Abdul Qadir Jaelani rahimahullaahu bersabda:

تُغْنَى و تُشَجَّعُ وَ تُرْفَعُ وَ تخُـَاطَبُ بِأَنَّكَ اْليَوْمَ لَدَيْناَ مكينٌ أَمين –

“Engkau akan dijadikan kaya dan pemberani. Dan, engkau akan dianugerahi kemuliaan. Dan, engkau akan dianugerahi dengan kalam bahwa engkau di sisi kami pada martabat yang tinggi, yang luhur dan jujur.” Bagian akhir ini pun terdapat di dalam ayat Al-Quran.

Dari contoh wahyu-wahyu yang diterima oleh wujud suci tersebut di atas, nampak jelas ada wahyu-wahyu yang hanya berupa ayat-ayat Al-Quran, ada yang bukan ayat Al-Quran dan ada campuran antara ayat Al-Quran dengan kata-kata yang bukan Al-Quran.
Setelah menerangkan Kalam Tuhan dan macam wahyu Tuhan, Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitab beliau Al-Futuuhaatul-Makiyyah Juz II, hal. 236, “Semua macam wahyu Allah ini terdapat pada hamba-hmba Allah; yakni: para wali. Ya, wahyu yang khusus untuk para Nabi dan wali—yang mereka tidak dapatkan—adalah wahyu Syari’at. Jadi, wahyu yang di dalamnya terdapat hukum baru tidak akan turun. Jika ada Nabi dalam umat ini yang dibangkitkan dan dia memperoleh wahyu, maka tidak halangan dari segi akal dan nash (Al-Quran)—dengan syarat, di dalamnya tidak ada hal yang bertentangan dengan Al-Quran.”

Hadhrat Abdul Wahhab Asya’rani r.h. bersabda dalam Al-Yawaakit wal-Jawahir Juz II, hal. 84, sebagai berikut:
“Kita tidak mendapat pemberitahuan dari Tuhan bahwa sesudah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ada wahyu Syari’at yang akan turun. Tetapi untuk kita, wahyu dan ilham pasti ada.”
Di dalam ini kata-kata wahyu dan ilham digunakan supaya para pembaca memperhatikan dan sama sekali jangan lupa bahwa wahyu yang di dalamnya tidak ada perintah baru yang menentang perintah Al-Quran itulah yang bisa turun. Dan, wahyu Syari’at ataupun wahyu kenabian yang membawa hukum baru—tidak akan turun lagi.
‘Allamah Ullusi rahimahullaahu dalam Tafsir beliau bersabda dalam Ruhul Ma’ani Juz VII, hal. 326, “Kamu hendaknya mengetahui bahwa sebagian Ulama mengingkari turunnya malaikat/wahyu pada hati selain Nabi sebab mereka tidak merasakan lezatnya. Jelasnya bahwa malaikat itu turun, tetapi dengan Syari’at Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam.”
Sebagaimana firman Tuhan:

تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبهِّـِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلاَمٌ هِـيَ حَتَّـى
مَطْلَعِ اْلفَجْرِ القدر : 5

“Di dalamnya turun malaikat-malaikat dan ruh atas Tuhan mereka, mengenai segala perkara.” (QS Al-Qadr {97} : 5)
Khususnya turun pada malam Lailatul Qadr, dan turunnya ini dengan perintah Tuhan. Dan berkenaan dengan berbagai urusan dan kemudian menyampaikan salam /atau membawa kedamaian kepada orang-orang Mukmin.

Dan kita maklumi bersama bahwa untuk seterusnya, malam Lailatul Qadr akan tetap datang dimana malaikat dan wahyu Ilahi turun.
Dalam hal wahyu, hal berikut perlu diperhatikan bahwa barangsiapa yang mengada-ada, maka hukuman dari Allah tegas. Sampai sampai kini tidak ada seorang pun seperti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang hidup selama 23 tahun setelah menerima wahyu. Dan ini tentu merupakan barometer untuk siapapun. Sebagaimana firman Tuhan:

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيلِ – لأََخَذْناَ مِنْهُ بِالْيَمِينِ – ثمُ َّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ – فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ  الحآقّـة : 45 –48

“Seandainya dia Muhammad menisbahkan kata dusta (mengatakan diri menerima wahyu) atas nama kami, nisaya, kami akan menangkap dia dengan tangan kanan. Kemudian, tentulah memutuskan urat lehernya. Dan, tiada seorang pun yang dapat mencegah kami dari hal itu.” (QS Al-Haqqah {69} : 45-48)
Di dalam Al-Quran, kita baca Surah Shaf:

وَمَنْ أَظْلَمُ ممَِّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ الْكَذِبَ  الصّفّ : 8

“Dan siapakah orang yang lebih zalim dari orang-orang yang mengada-adakan dusta atas nama Allah?” (QS Ash-Shaf {61} : 8)
Dari ayat ini, jelaslah bahwa orang-orang yang paling aniaya adalah orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah. Oleh karena itu, kita membaca bahwa resiko setiap yang mengada-adakan dusta mengalami seperti dijelaskan dalam ayat berikut:

…وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى  طـاـه : 62 لاَ يُفْلِحُ الظَّالمِـُونَ  القصص : 38

“Dan sesungguhnya telah gagal orang yang mengada-adakan dusta.” (QS Thaa Haa, (20) : 62) “Tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang zalim.” (QS Al-Qashash, (28) : 38)
Di dalam Bible pun, standar ini yang berlaku, sebagaimana tertera dalam Ulangan 18 : 20. “Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama alah lain, nabi itu harus mati”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang merupakan wujud yang paling dikasihi Tuhan, jika misalnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berdusta menyatakan diri menerima wahyu padahal tidak menerima, tentu akan dihukum Tuhan; maka bagaimana dengan yang lain selain beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam? Pasti hukuman Tuhan akan lebih berat padanya.

Nah, wahyu-wahyu yang diterima pendiri Jemat Ahmadiyah merupakan Firman Tuhan yang sedikitpun tidak ada andil beliau di dalamnya. Dan tidak dengan keinginan beliau dan tidak pula mengada-ada. Sebab jika beliau mengada-ada atau berdusta atas nama Tuhan, maka sesuai dengan undang-undang Tuhan atau ketetapan-Nya, beliau akan dihancurkan dengan sendirinya, karena beliau berhadapan langsung dengan Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa.

Sejarah umat manusia menjadi saksi bahwa—dari sejak Adam ‘alaihissalaam sampai kini—setiap yang mengaku menerima wahyu Ilahi padahal bukan dan menyampaikannya pada umat manusia dan menghimbau umat manusia untuk mengikutinya, telah menemui kegagalan. Sementara Pendiri Jemaat Ahmadiyah, yang mengaku mendapat mandat dari Tuhan untuk menghidupkan agama dan menegakkan Syari’at sesuai kabar suka Nabi Besar Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, terus mendapat kesuksesan dalam missinya. Dan, Tuhan selalu berada di balik upaya-upaya beliau: memenangkan Islam ke seluruh dunia. Dan sesuai nubuwatan beliau sendiri dari Allah yang tertera di dalam Tadzkirah, Islam akan unggul dari segi kwalitas dan kwantitas di atas semua agama-agama di dunia. Persis sesuai nubuwatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa Islam akan mendapat kemenangan di akhir zaman.
Jadi, Tadzkirah merupakan sebuah nama buku—kumpulan dari rukya (mimpi yang benar), kasyaf, dan ilham/wahyu yang turun dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa. Buku ini tidak berkedudukan sebagai kitab Syari’at apapun. Dan, jangankan memansukhkan Al-Quran, menandingi Al-Quran pun tidak mungkin; bahkan justru merupakan pendukung dan penjelasan ayat-ayat Al-Quran.

Tafsir Surah Al-Jumu’ah dalam Jaami’ul-Bayaan, Juz XIV, hal 88, Daarul Fikr Beirut, 1988, adalah:

وَااخَرِينَ مِنْهُمْ لمَـَّا يَلْحَقُوا بهِـِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ اْلحَكِيمُ

Bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.: Bahwa kami duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka kepada beliau turun ayat:

وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لمَـَّا يَلْحَقُوا بهِـِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ اْلحَكِيمُ

Beliau berkata, “Saya berkata: Siapa mereka, ya Rasulullah? Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawabnya setelah sampai tiga kali ditanyakan. Di antara kami ada Hadhrat Salman Al-Farisi radhiyallaahu ‘anhu.. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakan tangan beliau pada Hadhrat Salman radhiyallaahu ‘anhu. sambil bersabda,

لو كان الأيمان عند الثّريّا لنا له، رجل أو رجال من هـاـؤلآء –

“Seandainya iman itu terbang di bintang Surayya maka akan ada orang atau banyak orang dari mereka yang mengambilnya kembali.”
Dalam ayat ini dikatakan bahwa Allah akan mengirim/membangkitkan Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kaum lain yang belum ada hubunganya dengan para sahabah. Dan kebangkitan Rasulullah secara rohani pada kaum lain, di ayat seterusnya, dikatakan sebagai karunia Allah yang dianugerahkan pada siapa yang Dia kehendaki.

Dan kebangkitan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di kaum lain, beliau sendiri yang menafsirkan bahwa orang itu adalah dari kalangan orang-orang Persia (dari bangsa Hadhrat Salman radhiyallaahu ‘anhu berasal). Dan, Pendiri Jemaat Ahmadiyah adalah dari keturunan Persia yang mana beliau mengatakan bahwa beliau merupakan penyempurnaan dari nubuwwat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam itu dan datang pada saat keimanan berada di bintang Surayya sebagaimana ada isyarah dalam Hadits lain: Islam tinggal nama, Al-Quran tinggal tulisan dan lain-lain. Jadi, Pendiri Jemaat Ahmadiyah mewakili junjungan kita shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menghidupkan Agama dan menegakkan Syari’at Islam. Oleh karena itu, dalam ayat:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تحُـِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونيِْ يحُـْبِبْكُمُ الله ُ… آل عمران : 32

“Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku; dengan demikian Allah akan mencintaimu…” (QS Ali Imran {3} : 32)
kata ganti ني (nii–aku), jelas merujuk kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun, turunnya ayat tersebut pada beliau dan ayat-ayat lainnya dari Allah di luar keinginan dan kemampuan beliau, adalah anugerah Ilahi yang lebih berharga bagi beliau dibandingkan dunia dan seisinya. Oleh karena itu, para wali yang menerima wahyu walaupun tidak banyak, mereka menempuh cara hidup yang melupakan dunia. Dan anugerah Tuhan dalam bentuk turunnya “ayat-ayat Allah” berupa nubuwatan, ternyata dari hari demi hari—maka hal itu jelaslah, sesuai dengan keterangan dari keterangan di atas, merupakan ganjaran fana dan cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang tidak hanya beliau kemukakan dengan ucapan dan ungkapan belaka bahkan seluruh umur harta dan jiwa raga beliau, telah dikerahkan untuk membela mati-matian majikan beliau—Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam—terhadap segenap lawan-lawan Islam, baik dengan lisan maupun tulisan. Tugas ini bukan hanya tanggungjawab beliau, tetapi tugas semua umat Islam. Akan tetapi, kawan dan lawan mengakui bahwa tidak ada waktu luang yang tidak beliau gunakan untuk membela Islam. Dan jelas, semua ini karena kecintaan beliau kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana jelas nampak dalam wahyu Ilahi pada beliau, yaitu:

هـاـذا رجل يحبّ رسولَ اللهِ . تذكره ، صفحه 42 ، سنة 1956

“Inilah, laki-laki yang mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.” Kecintaan kepada Junjungan sekalian alam—Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam—itulah yang menyebabkan turunnya anugerah Ilahi berupa ayat-ayat suci Al-Quran. Sebagai berkah kecintaan beliau kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam itu, kini telah menular ke seluruh penjuru dunia yang nampak jelas dalam semua aktivitas Jemaat Ahmadiyah untuk memenangkan Islam di seluruh dunia. Hal ini diakui oleh kawan maupun lawan.

Sumber:
Buku Klarifikasi Tazkirah PB JAI

Khutbah Khalifah Ahmadiyah : Pengorbanan-Ketakwaannya yang Diterimah oleh Allah swt

In Ahmadiyah, Ahmadiyah, Khalifah V, Khutbah Id, Khutbah Idul Adha, Khutbah Khalifah Ahmadiyah, Tarbiyat on 30 Oktober 2009 at 12:52

Khutbah Jum’at Hadhrat Khalifatul Masih V aba 21-1-2005
Tentang Pengurbanan – Ketakwaan-nya yang diterima Allah
Hari Ied’ul Adha / Iedul Qurban 1425 H

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (٣٧)

Artinya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Hajj. [22]:37).

• Hari ini adalah Hari Raya Iedul Qurban; mereka yang memiliki kemampuan menyembelih hewan qurban, yaitu kambing atau ternak yang lain-lainnya.

• Dunia Barat tidak memiliki konsep pengurbanan secara ini; tetapi orang-orang di Afrika, di Asia, mereka menyembelih kambing, sapi, atau unta dalam memperingati hari Iedul Qurban ini.

• Pada hari ini orang-orang berlomba-lomba membeli kambing, atau sapi yang memenuhi standard dan yang terbagus untuk disembelih dan dijadikan kurban; mereka membeli dengan harga yang termahal, agar diketahui oleh orang banyak. Jika tujuannya untuk dunia, maka di sini ada unsur ria atau show dan pretensi berpura-pura agar dianggap sebagai orang yang saleh.

• Ada juga yang membeli kambing yang tidak memenuhi standar, yang dikarenakan kemampuannya atau dikarenakan hal lain. Tetapi Allah Tahu, apa yang ada di dalam hati orang-orang ini, dan apa yang ada di dalam niat dari orang-orang ini.

• Oleh karena itu, apa pun dalih dan apa pun alasan yang dikemukakan orang atau yang ada dalam hati orang-orang, tentang hal itu Allah Maha Tahu.

• Rasulullah saw bersabda: Pilihlah hewan ternak yang terbaik (Hadits). Ada yang membeli hewan yang mahal, ada yang membeli yang murah, tetapi yang benar adalah yang mengerjakannya demi untuk Allah. Dan Allah Tahu tentang kemampuan Anda.

• Tetapi ingatlah selalu, bahwa Allah Taala berfirman: Tidak akan sampai kepada Allah dagingnya dan tidak pula darahnya. Dan berikan khabar suka kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.

• Dengan memberikan hewan ternak yang mahal, maka bagi orang berada tidak menjadi masalah. Tetapi Allah tidak akan perduli atas pengeluaran Anda, atas hewan yang sehat dan memenuhi persyaratan pisiknya, jika tidak memenuhi persyaratan yang dikehendaki Allah Taala, yaitu adanya ketakwaan di dalam dirimu dan hatimu.

• Allah tidak akan memperdulikannya, jika dalam memberikan pengurbanan ini Anda memiliki rasa atau keinginan yang selfish, yang mementingkan diri sendiri, yang bertujuan show agar dunia mengenalinya.

• Allah tidak akan peduli atas daging dan darah dari hewan yang disembelih, jika bukan karena untuk Allah, bukan dikarenakan rasa takwa kepada Allah. Allah Taala tidak peduli berapa banyak uang yang Anda keluarkan untuk itu.

• Allah Tahu benar apa yang ada di dalam lubuk hati yang dalam di dalam diri Anda.

• Pengurbanan yang tidak disertai perasaan kesalehan dan ketakwaan akan luput dari pahala dari Tuhan.

• Allah Taala menghendaki, agar Anda membangkitkan semangat pengurbanan di dalam diri Anda sendiri; pengurbanan yang memenuhi kehendak, keinginan dan permintaan dari Allah Taala.

• Allah Taala yang memberikan kemampuan agar dapat mengikuti pengurbanan yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Ismail a.s., dan Nabi Muhammad saw.

• Agar mengikuti jejak orang-orang yang saleh dan ber-takwa di dalam memberikan pengurbanan.

• Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberikan contoh dan mengajarkan untuk memiliki semangat dalam mempersembahkan pengurbanan untuk Allah:

• Yang pertama adalah mengurbankan “selfishness” atau berusaha untuk menghilangkan dan membuang perasaan yang mementingkan pribadi.

• Berkurban untuk memenuhi kehendak Allah dan meraih ridha dan kesenangan Allah.

• Kami siap untuk mengurbankan jiwa saya dan jiwa kami pribadi sendiri. Demikianlah kesediaan dari Nabi Ibrahim a.s. untuk mengurbankan putera beliau dan kesediaan dari Nabi Ismail untuk mengurbankan jiwanya sendiri, memenuhi keinginan Allah seperti yang disampaikan oleh ayah-nya, nabi Ibrahim a.s. kepada beliau.

• Perasaan sebagai demikianlah yang harus dijadikan standard dalam pengurbanan.

• Dengan perasaan takwa memenuhi permintaan Allah Taala, bersiap sedia untuk bertindak segera dan cari usaha atau berusaha keras untuk mengikuti perintah Allah.

• Ikutilah model atau contoh yang ada di dalam sejarah agama, karena satu hari, dunia ini akan kita lewati. Jangan sampai hidup ini menjadi tanpa guna atau tanpa manfaat dengan menghilangkan kesempatan yang ada dalam memberikan pengurbanan.

• Dan, ketika keduanya telah rela berserah diri (QS 37:104) dan Nabi Ibrahim telah menelungkupkan anaknya, Ismail, pada dahinya, maka Tuhan berkata: Stop! Yang saya inginkanlah ialah untuk menguji pengurbanan kalian, untuk menguji standard pengurbanan dari kalian.

• Standard pengurbanan yang akan terus dikenang sampai hari akhir dari dunia ini.

• Ketika anak itu (Ismail) telah berusia cukup, Ibrahim a.s. berkata: Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu (QS 37:103) dan Ismail menjawab: Hai bapak-ku kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepada engkau. Dan, ketika ia telah menelungkupkan pada dahinya, Tuhan berseru: Hai Ibrahim Sungguh engkau telah menyempurnakan mimpi itu. Dan dengan ujian ini, maka Tuhan telah meninggalkan nama baik mereka pada bangsa-bangsa yang datang berikutnya.

• Sedangkan yang benar disembelih hanyalah kambing sebagai pengganti kurban itu.

• Apa, pengurbanan sebenarnya yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya?

• Mengikuti perintah dari Tuhan, Nabi Ibrahim a.s. meninggalkan Ismail dan ibunya di satu padang pasir yang tandus dan ter-isolasi jauh ke mana-mana. (QS 14:38); tetapi mereka berkeyakinan bahwa, karena ini adalah perintah dari Tuhan, maka Dia pasti tidak akan menyia-nyiakan kami di tempat yang tandus ini.

• Maka di sinilah nabi-nabi utusan Allah dibangkitkan, Khataman Nabiyyin Nabi Muhammad Rasulullah saw., Nabi pembawa syari’at yang terakhir. Tuhan berfirman, tidaklah akan Aku dirikan bumi dan langit ini jika tidak Aku bangkitkan engkau, ya Muhammad.

• Maka lihatlah bagaimana pengurbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s., Ismail a.s., Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya pada setiap hari. Lihatlah apa yang dapat dicapai oleh mereka semua itu?

• Ismail dengan kesediaannya menjadi contoh semangat memberikan pengurbanan dan semangat untuk berkurban sampai untuk masa-masa mendatang di seluruh dunia. Inilah yang sekarang diajarkan kembali oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. kepada kita.

• Hari-hari sudah berlalu, dan bulan Dzulhijjah (Iedul Qurban) adalah bulan terakhir di dalam kalender Hijriah (Qomariah).

• Di masa yang akhir ini kita dituntut untuk memberikan pengurbanan di jalan Allah, mengikuti orang-orang saleh dan bertakwa yang dimuliakan oleh Allah.

• Alhamdulillah bahwa kita telah dapat mempelajari dan mengenal bagaimana pengurbanan-pengurbanan yang dilakukan oleh para nabi dan sahabatnya, dalam mencari ridha Allah.

• Alhamdulillah bahwa kita telah masuk dan ikut di dalam Jama’at Al-Masih Mau’ud a.s. di akhir zaman ini, yang telah memberikan jalan dan cara bagaimana untuk dapat berkurban di jalan Allah dan untuk mencari ridha Allah.

Dengan ini saya sampaikan Ied Mubarak, saya ucapkan selamat dan memberikan do’a banyak-banyak Mubarak untuk semuanya. Aamiin.

Sumber : http://friday-sermon.blogspot.com/2007/05/pengurbanan-ketakwaan.html

ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN

In Ahmadiyah, Khataman Nabiyyin, Tabligh, Tafsir on 30 Oktober 2009 at 12:48

ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN

Ayat KS Aquran (Quran Suci/QS) Surat Al Ahzab 33:40 A’udzubillahi minasy-syaithani rajiym

Yang artinya Muhammad bukanlah Bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul Allah dan Khaataman Nabiyyin, khatam-nya dari para nabi-nabi.dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Asbabul Nuzul Turunnya Ayat Kataman Nabiyyin

Terdapat dalam Surat Al Azab itu sendiri bahwa, “Hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung” (Sumber : Al Qur’an dan Terjemahannya –KITAB SUCI AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA REPUBILIK INDONESIA hal.673-674 , Al Azab [33]: 37-39) Allah swt berfirman :

37. dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

38. tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu[1221]. dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,

39. (yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah[1222], mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.

[1219] Maksudnya: setelah habis idahnya.

[1220] Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.

[1221] Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah mengerjakan sesuatu yang dibolehkan Allah tanpa ragu-ragu.

[1222] Maksudnya: Para Rasul yang menyampaikan syari’at-syari’at Allah kepada manusia.

Ayat Khataman-Nabiyyin ini diturunkan di dalam rangkaian pembelaan dari Allah SWT kepada YM. Nabi Suci Muhammad Rasulullah s.a.w. atas tuduhan orang Arab Quraisy , bahwa pernikahan Rasulullah s.a.w dengan Hadhrat Siti Zainab, janda dari Zaid “anak angkat” Rasulullah s.a.w. yang dituduh mengawini janda menantunya sendiri. Tuhan menjawab cemoohan orang Quraisy terhadap Rasulullah s.a.w. yang melanggar tradisi berlaku pada saat itu yang tidak membolehkan orang mengawini janda bekas menantunya walaupun dari anak angkatnya, yang kedudukan anak angkat itu menurut adat kebiasaan orang Quraisy disamakan statusnya dengan anak sendiri.

Pada saat diturunkannya wahyu tentang Khaataman Nabiyyin tersebut, tidak pernah terpikir waktu itu oleh para sahabat Rasulullah s.a.w., bahwa khatam itu diartikan sebagai penutup untuk nabi-nabi, ini adalah berdasarkan keterangan dari YM. Rasulullah s.a.w. sendiri. Apalagi jika kita membaca keseluruhan ayat-ayat yang ada di dalam Rukuk ke-5 dari Surah Al Ahzaab ini bahkan di keseluruhan Surah al Ahzaab pun tidak ada disinggung satu pun indikasi yang berkenaan dengan inniy aakhirul-anbiya’ atau laa nabiyya ba’di; tetapi yang ada disebutkan di dalam surah ini Al Ahzaab ini adalah: Jangan engkau mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan orang munafik (ayat 1, dalam hal status anak angkat dll.), menjadikan istri-istrimu sebagai ibu dan anak-anak angkatmu sebagai anak sendiri (ayat 4), tetapi panggillah anak ini dengan nama bapak mereka (ayat 5), dan Kami pun mengatur pernikahan engkau dengan Zainab, yang janda dari Zaid anak angkat engkau itu; di mana sama sekali tidak ada sesuatu pun yang akan mencemarkan nama engkau, di mana engkau adalah Khaataman Nabiyyin.

Selain yang artinya penutup (yaitu khatim) ada banyak arti dari kata Khatam yaitu: Cincin, perhiasan (bagi yang memakainya), meterai, segel, yang membenarkan, yang paling afdhal, yang paling mulia, yang terbaik, sebagai pujian terutama kalau dikaitkan dengan kata benda plural / jamak, dan hanya sebagai penutup (khatim), terutama kalau dikaitkan dengan kata benda singular. Dalam tata bahasa Arab, kata Khaatam jika digandeng dengan kata jamak maka artinya bukan lagi terakhir atau penutup melainkan yang paling sempurna, paling afdhal. Contohnya:

1. Nabi s.a.w. bersabda kepada Hadhrat Ali r.a. : Aku adalah khatam dari nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah khatamul aulia (khatam dari Wali-wali) (Tafsir Safi & Jalandari), benarkan Ali penghabisan dari wali-wali? Tentu bukan, karena di sini diartikan bahwa Hadhrat Ali sebagai yang paling mulia di antara wali-wali.

2. Imam Safi’i r.h. (767-820) juga disebut “khaatam-ul auliya” (Al Tuhfatus-Sunniyya, hal. 45).

3. Rasulullah s.a.w. berkata kepada Umar r.a.: Tenteramkanlah hatimu hai Umar, sesunguhnya engkau adalah khatamul Muhajjirin (sahabat yang mengikuti pindah ke Medinah yang paling afdhal) di dalam kepindahan ini, seperti aku khataman nabiyyin dalam kenabian. (Kanzul Umal).

4. Dalam zaman-zaman berikutnya, kata khatam juga dipakai dalam arti sebagai yang paling nge-top (mulia):

5. Imam Syech Muhammad Abdul dari Mesir ditulis sebagai Khatam Al-A’immah; Imam/Pemimpin agama (Tafsir Al-Fatihah halaman 148. Apakah tidak ada imam lainnya setelah Muhammad Abduh?

6. Abu Tamaam At-Ta-i (804-805) ditulis oleh Hasan ibnu Wahab sebagai Khatimus-syuara (Ahli syair). (Dafiyaatul A’ayaan, vol. 1 hal 123, Kairo). Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi?

7. Untuk Syekh Rasyid Ali Ridha ditulis sebagai Khatamul Mufasysyiriin (Al Jaami’atul Islamiyah 1354 H).

8. Imam Suyuthi mendapat gelar khaatamu-ul- muhadditsin, ahli hadits (Hadya Al-Shiah, hal. 210).

9. Aflatun ditulis sebagai Khatamul Hakim (Mirtusuruh hal. 38), Khatam Al-Hukkam.

10. Tokoh-tokoh lainnya yang pernah ditulis/disebut sebagai Khatam Al-Kiram, Khatam Al-Wilayat (Muqaddimah Ibnu Khaldun hal. 271), Khatam Al-Jasinaniyyat, Khatam Al-Kamilin, Khatam Al-Asfiya, dalam sebutan sebagai yang paling afdhal, yang terbaik pujian terhadap seseorang yang dikagumi.

Arti kata Khatam sebagai penutup atau terakhir sebenarnya baru timbul di abad pertengahan, di mana ulama-ulama Medieval ini mulai mengartikan khataman nabiyyin itu sebagai nabi penutup dan nabi terakhir. Ada riwayat, bagaimana para ulama yang karena takutnya pada arti Khaatam sebagai yang paling afdhal, paling terbaik (kalau digabungkan dengan kata benda jamak/plural) , meterai, atau cincin, stempel, maka mereka dengan tidak takut-takutnya mempengaruhi pemerintah melalui Departemen Wakaf-nya, untuk merobah Kitab Suci Alquran, yaitu dengan merobah tulisan kata khatam dengan merobah tulisannya dengan kata khatim dalam Alquran yang diterbitkan- nya. Ini terjadi di Afrika pada tahun 1987, dan ada yang menunjukkannya kepada kita. Mereka ingin mengartikan kata khatam itu sebagai penutup dengan kata khatim, yang mereka pikir punya hak untuk menggantinya. Ini adalah perbuatan yang nyata-nyata campur-tangan terhadap keaslian KS. Alquran, hanya karena mereka takut kepada Ahmadiyah. Inilah gambaran keliru yang amat mengerikan sebagai usaha mereka untuk menyelamatkan diri dari pengaruh pendapat orang Ahmadi, mengenai arti dari kata khatam ini.

Kepercayaan tentang Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi terakhir memang pernah muncul dan sekarang kepercayaan yang demikian mestinya sudah lenyap kembali; kepercayaan mana adalah yang di-isukan oleh ulama dari zaman masa medieval (pertengahan) , bersamaan dengan kepercayaan bahwa, katanya Nabi Isa a.s. itu diangkat ke langit, dengan tubuh kasarnya dan akan turun kembali di akhir zaman.

Tentang penggunaan kata khatam yang berarti termulia, tertinggi dan sebagainya dalam berbagai istilah dalam bahasa Arab lainnya dapat dilihat pada beberapa kata di bawah ini:

1. KHATAM-USH-SHU’ARAA (seal of poets) was used for the poet Abu Tamam. (Wafiyatul A’yan, vol. 1, p. 23, Cairo).

2. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Tayyeb. (Muqaddama Deewanul Mutanabbi, Egyptian p.4)

3. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul ‘Ala Alme’ry. (ibid, p.4, footnote).

4. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Shaikh Ali Huzain in India. (Hayati Sa’di, p. 117.)

5. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Habeeb Shairaazi in Iran. (Hayati Sa’di, p. 87) Note here that all five people have been given the above title. How could it be interpreted as “last”. They did not come and go at the exact same time.

6. KHATAM-AL-AULIYAA (seal of saints) for Hazrat Ali (May God be pleased with him). (Tafsir Safi, Chapter AlAhzab) Can no other person now attain wilaayat, if “seal” meant last?

7. KHATAM-AL-AULIYAA used for Imam Shaf’ee. (Al Tuhfatus Sunniyya, p. 45).

8. KHATAM-AL-AULIYAA used for Shaikh Ibnul ‘Arabee. (Fatoohati Makkiyyah, on title page).

9. KHATAM-AL-KARAAM (seal of remedies) used for camphor. (Sharah Deewanul Mutanabbee, p. 304) Has no medicine been found or used after camphor, if “seal” means “last”?

10. KHATAM-AL-A’IMMAH (seal of religious leaders) used for Imam Muhammad ‘Abdah of Egypt. (Tafseer Alfatehah, p. 148) Don’t we have leaders today?

11. KHATAM-ATUL-MUJAHIDEEN (seal of crusaders) for AlSayyad Ahmad Sanosi. (Akhbar AlJami’atul Islamiyyah, Palestine, 27 Muharram, 1352 A.H.)

12. KHATAM-ATUL-ULAMAA-ALMUHAQQIQEEN (seal of research scholars) used for Ahmad Bin Idrees. (Al’Aqadun Nafees)

13. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN (seal of researchers) for Abul Fazl Aloosi. (on the title page of the Commentary Roohul Ma’aanee)

14. KHATAM-AL-MUHAQQIQEEN used for Shaikh AlAzhar Saleem Al Bashree. (Al Haraab, p. 372)

15. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Imam Siyotee. (Title page of Tafseerul Taqaan)

16. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN (seal of narrators) for Hazrat Shah Waliyyullah of Delhi. (’Ijaalah Naafi’ah, vol. 1)

17. KHATAMAT-AL-HUFFAAZ (seal of custodians) for AlShaikh Shamsuddin. (AlTajreedul Sareeh Muqaddimah, p. 4) A “hafiz” is one who has memorised the full arabic text of the Holy Quran. Two of my cousins happen to belong to this category and more people will memorize it.

18. KHATAM-AL-AULIA (seal of saints) used for the greatest saint. (Tazkiratul Auliyaa’, p. 422)

19. KHATAM-AL-AULIA used for a saint who completes stages of progress. (Fatoohul Ghaib, p. 43)

20. KHATAM-ATUL-FUQAHAA (seal of jurists) used for Al Shaikh Najeet. (Akhbaar Siraatal Mustaqeem Yaafaa, 27 Rajab, 1354 A.H.)

21. KHATAM-AL-MUFASSIREEN (seal of commentators or exegetes) for Shaikh Rasheed Raza. (Al Jaami’atul Islamia, 9 Jamadiy thaani, 1354 A.H.)

22. KHATAM-ATUL-FUQAHAA used for Shaikh Abdul Haque. (Tafseerul Akleel, title page)

23. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN (seal of researchers) for Al Shaikh Muhammad Najeet. (Al Islam Asr Shi’baan, 1354 A.H.)

24. KHATAM-AL-WALAAYAT (seal of sainthood) for best saint. (Muqaddimah Ibne Khuldoon, p. 271)

25. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN WAL MUFASSIREEN (seal of narrators and commentators) used for Shah ‘Abdul ‘Azeez. (Hadiyyatul Shi’ah, p. 4)

26. KHATAM-AL-MAKHLOOQAAT AL-JISMAANIYYAH (seal of bodily creatures) used for the human being. (Tafseer Kabeer, vol. 2, p. 22, published in Egypt)

27. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Shaikh Muhammad Abdullah. (Al Rasaail Naadirah, p. 30)

28. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Allaama Sa’duddeen Taftaazaani. (Shara’ Hadeethul Arba’een, p. 1)

29. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Ibn Hajrul ‘Asqalaani. (Tabqaatul Madlaseen, title page)

30. KHATAM-AL-MUFASSIREEN (seal of commentators) used for Maulvi Muhammad Qaasim. (Israare Quraani, title page)

31. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN (seal of narrators) used for Imam Siyotee. (Hadiyyatul Shee’ah, p. 210)

32. KHATAM-AL-HUKKAAM (seal of rulers) used for kings. (Hujjatul Islam, p. 35)

33. KHATAM-AL-KAAMILEEN (seal of the perfect) used for the Holy Prophet (pbuh). (Hujjatul Islam, p. 35)

34. KHATAM-AL-MARAATAB (seal of statuses) for status of humanity. (’Ilmul Kitaab, p. 140) We have the “highest, not “last” status.

35. KHATAM-AL-KAMAALAAT (seal of miracles) for the Holy Prophet (pbuh). (ibid, p. 140)

36. KHATAM-AL-ASFIYAA AL A’IMMAH (seal of mystics of the nation) for Jesus (peace be on him). (Baqiyyatul Mutaqaddimeen, p. 184)

37. KHATAM-AL-AUSIYAA (seal of advisers) for Hazrat Ali (R.A.A.). (Minar Al Hudaa, p. 106)

38. KHATAM-AL-MU’ALLIMEEN (seal of teachers/scholars) used for the Holy Prophet(pbuh). (Alsiraatul Sawee by Allama Muhammad Sabtain Now, I am a teacher myself, and you know that I still exist, AFTER the Holy Prophet (pbuh), but I am nowhere close to being able to teach as PERFECTLY as he could or did. How then could he be “last” of teacher Seal means “best” here and not “last”.

39. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN (seal of narrators) for Al Shaikhul Sadooq. (Kitaab Man Laa Yahdarahul Faqeeh)

40. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN used for Maulvi Anwar Shah of Kashmir. (Kitaab Raeesul Ahrar, p. 99)

Pendapat lainnya tentang masih berlanjutnya pintu Kenabian dalam Islam dapat dilihat dari berbagai hadits dan ulama berikut ini:

1. “Katakanlah bahwa beliau (Rasulullah s.a.w.) adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi).

2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu (tidak ada Nabi sesudahnya)” (Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, hlm.5).

3. Rasulullah s.a.w. adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka (lihat Syarh Zurqani oleh Imam Muhammad ibn `Abdul Baqi al-Zurqani, dan Syarah Mawahib al-Laduniyyah oleh Syihab-ud-Din Ahmad Qastalani).

4. Berkata Sheikh Muhyiddin Ibnu Arabi: “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku. Maka tidaklah nubuwat itu terangkat seluruhnya. Karena itu kami mengatakan sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i (kenabian yang pakai syariat), maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.(Futuhatul Makkiyah, jilid II halaman 73).
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi r.h. dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis: “Inilah arti dari sabda Rasulullah s.a.w., “Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada Rasul dan Nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan Syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah Syari’atku.” (Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3) Imam Muhammad Thahir Al-Gujarati berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan mebatalkan syariat beliau”….(Takmilah Majmaul Bihar, halaman 85).

5. Mulla ‘Ali Al-Qari berkata: “Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat “khaatamannabiyin” karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau dan nabi yang bukan dari umat beliau”….. .(Maudhuat Kabir, halaman 59).

6. Nawwab Siddiq Hasan Khan menulis: “Benar ada hadist yang berbunyi “la nabiyya ba’di” artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang menasikhkan/ membatalkan syariatku”.. …(Iqtirabussa’ ah, halaman 162).

7. Imam Sya’rani berkata:”Dan sabda Nabi Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul sesudahku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat”…. (Al-Yawaqit wal Jawahir, jilid II halaman 42).

8. Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata:”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad SAW ‘khaatamannabiyyin” …..(Al- Insanul Kamil halaman 66).

9. Sayyid Waliuyullah Muhaddist Al-Dahlawi berkata:” Dan khaatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia”…. (Tafhimati Ilahiyah, halaman 53).

10. Imam Suyuti berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa apabila turun nanti pangkatnya sebagai Nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya. Maka dia (Isa yang dijanjikan) sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad SAW, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula”…..(Hujajul Kiramah , halaman 31 dan 426).

11. Imam Abdul Wahab Asy-Syarani r.h. berkata: “Dan sabda Nabi s.a.w.: “tidak ada Nabi dan Rasul sesudah aku, adalah maksudnya: tidak ada lagi Nabi sesudah aku yang membawa Syari’at.”
(Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42).

12. Imam Thahir Al Gujrati berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada Nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi Nabi yang akan membatalkan Syari’at beliau.” (Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85).

13. Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan: “Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah s.a.w.. Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas ‘alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-Nabiyyiin . Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah s.a.w. tidak dapat lagi datang Nabi lain yang membatalkan Syari’at beliau s.a.w. dan bukan ummati beliau s.a.w.” (Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69).

14. Peristiwa wafatnya Ibrahim (putera Rasulullah dari Maria Qibtiyah) tercatat sebagai berikut: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah s.a.w. wafat, beliau menyembahyangkan jenazahnya dan berkata, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” (Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Alqazwaini, Darul Fikr, jld. II, hlm. 484, Hadits no. 1511).Peristiwa wafatnya Ibrahim terjadi pada tahun 9 H, sedangkan ayat “khaataman-nabiyyiin” diturunkan pada tahun 5 H. Jadi, ucapan beliau mengenai Ibrahim sebagaimana ditemukan dalam Hadits itu adalah 4 tahun kemudian setelah beliau menerima ayat “khaataman-nabiyyiin.” Jika ayat “khaataman-nabiyyii n” diartikan sebagai “penutup / sesudahan / penghabisan /akhir” nabi-nabi yaitu tidak boleh ada nabi lagi apa pun juga setelah beliau s.a.w., maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia tidak akan pernah menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Nabi s.a.w-lah yang menerima wahyu, jadi beliaulah yang paling mengetahui arti/makna wahyu yang diterimanya.

15. Dalam Kitab Nuzulul Masih, Imam Jalaluddin Assuyuti rh (Mujaddid abad
IX) menyatakan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa tidak ada lagi
wahyu setelah nabi Muhammad saw adalah Palsu.
Kini pertanyaannya adalah apakah ada Ulama Salaf yang menafsirkan kalimat “Khaataman Nabiyyin” dalam Al Qur’an dengan mengikuti kaidah tata bahasa Arab di atas? Mengingat tafsir yang dipopulerkan oleh para Ulama saat ini terhadap kalimat Khaataman Nabiyyin yang didasarkan atas klaim ijma’ seluruh Ulama adalah penutup para Nabi dalam arti tiada lagi akan ada Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Berikut adalah penafsiran dari beberapa Ulama Salaf :

1. Umayyah bin Abi Salt dlm Kitab Diwan hal 24 menulis mengenai Khaataman nabiyin : “Dengannya (Rasulullah saw) telah dicap/stempel para nabi sebelum maupun sesudahnya”.

2. Abu Ubaidah (wafat 209 H) ketika mengomentari Khair Al Khawatim dlm Naqa’id ibn Jarir dan Faradzaq tentang rasulullahsaw sebagai khaataman nabiyyin : “Nabi saw adalah Khaatam al Anbiya, yaitu sebaik-baik para nabi”.

3. Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al Qaisi (wafat 339 H) dlm mengomentari kitab Hasyimiyyat karangan Al Kumait berkata : “Barang siapa mengatakan Khaatim al anbiya, maka ia adalah dengannya para nabi di cap/stempel, dan barang siapa yg mengatakan Khaatam al anbiya, maka ia adalah sebaik-baik para nabi. Dikatakan” Fulan khaatam kaumnya”, yakni ia adalah terbaik dari antara mereka”.

4. Allamah Al Zarqani menulis dlm Syarah Al Mawahib Al Laduniyah Juz III, hal 163, bahwa jika khatam dibaca dengan baris di atas ta sebagaimana tersebut dlm Al Qur’an (al ahzab 40), maka artinya : “sebaik-baik para nabi dlm hal kejadian dan dalam hal akhlak”.

5. Imam Mulla Ali al Qari menulis dlm kitabnya Al Maudhu’at hal.59 tentang Khaatam Al Nabiyyin : “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yg akan memansukhkan agama Islam dan yg bukan dari umat beliau”.

6. Syekh Abdul Qadir Al Jaelani r.a. dlm Kitab ” Al Insanul Kamil” cetakan Mesir, bab 33, hal 76 menulis : “Kenabian yg mengandung sya’riat baru sudah putus. Nabi Muhammad adalah “Khaataman nabiyyin”, ialah karena beliau telah membawa syari’at yg sudah sempurna dan tiada ada seorang Nabi pun dahulunya yg membawa syariat yg begitu sempurna”.

7. Ibnu Khuldun telah menulis dalam mukadimah tarikh-nya hal 271 : “Bahwa ulama-ulama Tasawuf mengartikan “Khaataman Nabiyyin” begini; yakni Nabi yg sudah mendapat kenabian yg sempurna dalam segala hal”.

8. Syekh Abdul Qadir Al Karostistani r.a. menulis : ” Adanya beliau saw Khaataman nabiyyin maknanya ialah sesudah beliau tidak akan ada nabi diutus dengan membawa syariat lain”. (Taqribul Muram, jld 2, hal 233).

9. Hazrat Sufi Muhyidin Ibn Arabi menulis : “Nubuwat dan Risalah Tasyri’i ( pembawa Syariat) telah tertutup, oleh karena itu sesudah Rasulullah saw tidak akan ada lagi Nabi pembawa/penyandang Syari’at….kecuali demi kasih sayang Allah untuk mereka akan diberlakukan Nubuwat umum yg tidak membawa syariat” (Fushushul Hakam, hal 140-141). Lagi beliau menulis dalam Futuhat al makiyyah Juz 2 : ” Berkata ia : Yakni tidak ada Nabi sesudahku yg berada pada syariat yg menyalahi syariatku , Sebaliknya apabila nanti ada (Nabi) maka ia akan berada di bawah kekuasaan syariatku”.

10. Syekh Muhammad Thahir Gujarati menulis : “Sesungguhnya yg beliau kehendaki ialah tidak ada Nabi yg mengganti syari’at beliau”. (Takmilah Majma’il Bihar, hal 85).

11. Siti Aisyah r.a. bersabda : “Hai, orang-orang kalian boleh mengatakan Khaatamul anbiya, tapi jangan mengatakan setelah beliau tidak ada lagi nabi”. (Tafsir Darul Mantsur Imam As Suyuthi, Jld V, hal.204).

12. Hz. Abdul Wahab Sya’rani (Wafat 976H) menulis : “Ketahuilah bahwa kenabian mutlak tidak tertutup, hanya kenabian syar’i (yg membawa syariat) yg telah tutup”. (Al Yawaqit wal Jawahir, jld 2,h.35)
Dari keterangan di atas maka bisa disimpulkan bahwa penafsiran Khaataman Nabiyyin sebagai Penutup Kenabian (jenis apapun) bukanlah satu-satunya penafsiran. Para penafsiran Ulama Salaf di atas menerangkan bahwa:

1. Khaatamun Nabiyyin adalah pangkat / derajat kenabian tertinggi (tersempurna) yang dikaruniai oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw.

2. Kesempurnaan ini juga terkait dengan nikmat syariat yang beliau bawa yaitu Islam.

3. Tidak ada Nabi lagi yang akan datang yang akan melampaui atau bahkan membatalkan kesempurnaan derajat dan syariat beliau (Beliau saw penutup Kenabian Syar’i).

4. Tidak semua jenis kenabian tertutup, hanya kenabian yang membawa syariat yang tertutup.

5. Jika ada Nabi yang datang maka akan tunduk dalam syariat Islam dan berasal dari umatnya.