Jamaluddin Feeli

Archive for the ‘Ustadz’ Category

Bagaimana Menyambut Ramadhan?

In Kiyai, Pesantren, Puasa, Ramadhan, Ulama, Ustadz on 12 November 2009 at 00:48

Agar puasa Ramadhan dapat dikerjakan dengan sempuma dan mendapatkan pahala dari Allah SWT, maka hendaknya melakukan hal-hal berikut:

1. Mempersiapkan jasmani dan rohani, mental spiritual seperti membersihkan lingkungan, badan, pikiran dan hati dengan memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT dan minta maaf kepada sesama manusia.

2. Menyambut bulan suci Ramadhan dengan rasa senang dan gembira karena akan meraih kebajikan yang berlipat ganda.

3. Meluruskan niat yang tulus ikhlas, hanya ingin mendapat ridha Allah SWT. Karena setan tidak akan mampu mengganggu orang yang tulus ikhlas dalam ibadah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al¬-Hijr ayat 39-40:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di an tara mereka. (QS Al-Hijr: 39-40)

4. Berpuasa dengan penuh sabar untuk melatih fisik dan mental, karena kesabaran itu akan mendapat pahala yang sangat banyak. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az-¬Zumar: 10)

5. Segera berbuka jika waktunya sudah tiba dan, mengakhirkan makan sahur. Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا أَخَرُّوْا السَّحُوْرَ وَعَجَّلُوْا اْلفِطْرَ

Umatku senantiasa berada dalam kebaikan jika mereka menyegerakan buka dan mengakhirkan sahur. (HR Ahmad).

6. Berdoa waktu berbuka.
Rasulullah SAW selalu berdoa ketika berbuka puasa, dengan membaca doa:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ

Ya Allah, Aku berpuasa hanya untuk¬Mu dan dengan rizki-Mu aku berbuka. (HR. Abu Dawud)

ذَهَبَ الظَّمَاءُ وَابْتَلَّتْ العُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأجْرُ إنْ شَاءَ اللهُ

Hilanglah rasa haus, tenggorakan menjadi basah, semoga pahala ditetapkan, Insya Allah. (HR Abu Dawud)

7. Berbuka dengan kurma, atau air. Rasulullah SAW bersabda:

كَانَ رَسُوْْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْتِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ فَإنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاةٍ مِنْ مَاءٍ

Rasulullah SAW berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat maghrib, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air. (HR Abu Dawud)

8. Bersedekah sebanyak-banyaknya. Karena sedekah yang paling baik adalah pada bulan Ramadhan.

9. Memperbanyak membaca Al-Qur’an, menghayati dan mengamalkannya, sebagaimana Rasulullah SAW setiap bulan didatangi Malaikat Jibril untuk mengajarkan Al¬Qur’an. Al-Qur’an yang dibaca pada bulan Ramadhan akan memberi syafaat kepada pembacanya kelak di hari kiamat.

10. Meninggalkan kata-kata kotor dan tidak bermanfaat, karena akan menghilangkan pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ فَيْ أنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa saja (selagi puasa) tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukan berbuat tidak bermanfaat, maka tidak ada artinya disisi Allah, walau dia tidak makan atau minum. (HR Bukhari)

11. Tidak bermalas-malasan dalam semua aktivitas dengan alasan berpuasa, karena puasa bukan menghambat aktivitas dan produkvitas justru meningkatkan prestasi.

12. I’tikaf di masjid terutama pada 10 hari akhir bulan Ramadhan. Rasulullah SAW membiasakan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir tiap bulan Ramadhan. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi SAW selalu I’tikaf pada 10 hari terakhir bula Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau juga beri’tikaf setelahnya. (HR Bukhari)

13. Memperbanyak ibadah, shalat malam dengan mengajak keluarga untuk ibadah malam.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأحْياَ لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ

Apabila memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW lebih giat ibadah, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya. (HR Bukhari)

14. Bagi yang mampu dianjurkan untuk Umrah dibulan Ramadhan, karena pahala-nya seperti berhaji.

15. Memperbanyak membaca Tasbih, karena sekali tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari seribu tasbih diluar Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:

تَسْبِيْحَةٌ فِيْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ ألْفِ تَسْبِيْحَةٍ فِيْ غَيْرِهِ

Sekali membaca tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari 1000 kali tasbih di luar bulan Ramadhan. (HR Tirmidzi)

Hal-Hal yang Makruh Ketika Puasa

Beberapa hal berikut tidak membatalkan puasa tetapi bisa membatalkan puasa jika tidak berhati-hati, yaitu:

1. Berlebihan dalam berkumur dan menghisap air ke hidung ketika wudhu.
2. Berciuman dengan istri, karena dikhawatirkan membangkitkan syahwat.
3. Mencicipi makanan, karena dikhawatirkan akan tertelan.
4. Berbekam (cantuk), dikhawatirkan membuat badan lemah.
5. Memandang istri dengan syahwat.
6. Menggosok gigi dengan berlebihan, dikhawatirkan akan tertelan.
7. Tidur sepanjang hari.

Hal-Hal yang Boleh Dikerjakan Ketika Puasa

Berikut ini boleh dikerjakan oleh orang yang sedang puasa:
1. Bersiwak
2. Berobat dengan obat yang halal dengan syarat tidak memasukkan sesuatu ke dalam lubang-lubang rongga badan, seperti boleh menggunakan jarum suntik asal tidak memasukkan gizi makanan.
3. Memakai minyak wangi, minyak angin atau balsem.
4. Melakukan perjalan jauh, walaupun akan membatalkan puasanya.
5. Mendinginkan badan dengan air ketika udara sangat panas.
6. Memasukkan oksigen.
7. Memasukkan alat-alat kedokteran tapi bukan tujuan mengenyangkan.
8. Menggauli istri pad a malam hari, berdasarkan firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari , bulan puasa bercampur dengan isteri¬isteri kamu… (QS. Al-Baqarah: 187)

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
________________________________________
Komentar:
________________________________________
MUSLIM menulis:
Untuk beberapa edisi, NU Online menerbitkan kajian yang menyertakan data hujjah, bukan qias/pendapat selain Rasul. Disini tidak ada beda pendapat, ini yang kita nanti. Ayo bersama tegakkan hujjah dan bersatu dalam Islam, laksanakan sunnah, tinggalkan Bid’ah dan hancurkan syririk (apapun nama dan bentuknya) Lawan zindiq dan missioneris dengan strategi, visi dan misi yang terformat. Kalau mau berkunjung ke M. Darul, SE Wuled/coprayan, tirto Pekalongan klik aja nama Muslim diatas
________________________________________
Fafa menulis:
Komentar yang sudah saya duga akan keluar dari mulut orang wahabi. Seakan-akan orang NU tidak berpegang pada Qur’an dan sunnah. Seakan pemahaman mereka terhadap Qur’an dan Sunnah paling otentik, padahal itu juga pendapat para ulama’ panutan mereka (jadi sama2 relatif, kadang malah ngawur) Saya sudah masuk ke blognya orang ini.Isinya penuh dengan artikel2 dan copy-paste dari situs2 wahabi.
________________________________________
MUSLIM menulis:
Dari komentarku, apa ada yang tidak berkenan, apa ucapan pujian itu berlebihan. Maaf kalau demikian kiranya.

Insya Allah tulisanku dalam blog bukan copypaste, saya gali sendiri dari berbagai kitab, baik bersumber dari kitab-kitab NU, Muhammadiyah, salafi, al irsyad, mana yang bisa menunjukkan manhaj dan hujjah yang jelas. Saya pakai.

Saya sendiri tidak membatasi diri pada satu madzhab, semua baik. Saya tidak memahami apakah Abdul wahab itu juga mazhab. Saya juga tidak terikat dengan grand consept beliau, soalnya tidak ada yang baru, semua aplikasi sunnah. Saya pernah baca kitab beliau berjudul at-Tauhid, isinya tidak beda dengan kitabnya Syafi’i, dan Ulama lainnya yang memberantas syirik dan bid’ah, malah penduduk tradisional, gol. Syi’ah sangat membencinya dan memeranginya. NU juga berjuang memberantas kesyirikan didesa-desa. Kalau penegakan tauhid sesuai ajaran Rasul, di kategorikan Wahabi, Bismillah saya masuk Wahabi, karena Allah Ta’ala.
________________________________________
merdeka menulis:
Debat emacam inilah yang membuat orang islam semakin tertinggal. karena selalu berkutat pada masalah itu saja. dan membuat di uar islam semakin tertawa lebar. Bukankan perbedaan sudah di takdirkan. Apakah anda sekalian tidak menyadarinya. Atau mungkin anda yang mengaku muslim sebenarnya adalah. tangan dari orang di luar islam.
________________________________________
Sukitman Sudjatmiko menulis:
satu sisi kadang2 muslim ini menukil pendapatnya seolah2 semua datang dari rosul tetapi disisi lain/di artikel lain menyertakan hujjah2 ulama mazhabat dg ngototnya (percis sama dgn apa yg dia hujat atas NU).mas yang konsisten dong.Plis deh!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
________________________________________
fafa menulis:
Tuh kan jelas, si Muslim ini memproklamirkan masuk Wahabi. Ah yang benar Mas Anda sdh pernah baca kitab-kitabnya Imam Syafi’i? Soal Syirk dan Bid’ah saya n orang NU yang lain juga anti Mas! Tapi menyatakan bahwa Tawassul, tabaruk, dan tarekat sebagai perbuatan syirik dan bid’ah tanpa kecuali ya nanti dulu! Insya Allah kami orang NU dan mayoritas muslim se-dunia yang ahli tawasul, tabaruk dan tarekat tidak akan sebodoh itu tenggelam dalam lumpur kesyirikan. Yang kami lakukan semata-mata mengikuti Sunnah Rasul dan para shahabat sebagimana yang diajarkan para guru ngaji kami, Kyai Nawawi (Al-adzkar), Kyai Jalaludin Ash-shuyuti, Kyai Ghazali, Kyai Syafi’i, Kyai Abdul-Qadir Al-Jaelani, Kyai Ibnu Hajar Al-asqalani dan para ulama’ lainnya.
________________________________________
MUSLIM PEKALONGAN menulis:

Shohib Fafa

1. Masalah definisi bid’ah, Tawassul, tabaruk, dan tarekat itu controversonal dari berbagai ulama. Jadi lebih selamat mengamalkan ibadah/sunnah yg rajih hukum (bukan hadits palsu/mitos), bebas klaim bid’ah bahkan syirik

kadang ibadah kita mengikuti leluhur/tradisi lokal, bisa di lingkungan syi’ah, mu’tazilah atau kepercayaan kejawen, takut keluar jamaah/dikucilkan pilih yg rajih

2. Kebenaran bukan milik mazhab, atau mengakui mazhab paling bagus, semua ulama mazhab bagus, bisa jadi dalil rajih ada pada mazhab lain, ini yg dipilih.

3. Pencerahan ulama lain bisa untuk wacana/perbandingan, untuk menghindari kejumudan/kekakuan/ketertutupan ilmu selama tdk keluar dari qaidah

Maaf kutunjukkan jatidiri, saya bukan kristen/pihak lain yg memecah belah islam

M. Darul, SE Wuled Tirto Pekalongan Coprayan Buaran

________________________________________
Mohammad Taufiq menulis:
Saya sangat menghormati anda sebagai seorang muslim yang taat dan terus belajar agama, tetapi ketahuilah bahwa sebelum amar, Anda perlu ilmu, kemudian amal, lalu ‘alim, dan anjur. Anda saya nilai baru bersemangat memahami agama tetapi tidak mendapat bimbingan dari guru sehingga pemahamanya cenderung skripturalis, saklek, dan kaku

pemahaman yang seperti ini memang baik dan konsisten tetapi tidak bisa diterima karena tidak relevan dengan kehidupan nyata
________________________________________
naulil menulis:
Assalamu’alaikum
tolong buka http://www.majelisrasulullah.org
download ebook yang ada…
saya kira cukup memberi penjelasan anda semua
trimakasih..
Wassalamu’alaikum

Sumber:
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13959

Zainul Maarif : AHMADIYAH DAN PERTAHANAN-KEAMANAN INDONESIA

In Ahmadiyah, Ahmadiyah, November, Rabu, Tabligh, Ustadz on 4 November 2009 at 11:06

Umumnya, kelompok minoritas merasa gamang terhadap kelompok mayoritas. Di Indonesia, justru kebalikannya. Orang-orang Islam yang mengaku mewakili “mayoritas” umat Islam Indonesia mencemaskan keberadaan Ahmadiyah.

Pseudo representasi “mayoritas” umat Islam itu menganggap Ahmadiyah sesat, meminta jamaah Ahmadiyah keluar dari atau masuk ke dalam agama Islam “yang benar”, merusak aset-aset Ahmadiyah, dan meminta pemerintah melarang eksistensi Ahmadiyah di Indonesia.

Ironisnya, pemerintah terlihat linglung: tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Alih-alih mengamankan oknum-oknum yang meneror bahkan merugikan jamaah Ahmadiyah, pemerintah justru cenderung membiarkan semua itu terjadi. Ketimbang melindungi keyakinan dan keberlangsungan hidup jamaah Ahmadiyah, pemerintah justru turut latah mengikuti fatwa penyesatan Ahmadiyah yang diluarkan MUI dan merancang pembuatan SKB (Surat Keputusan Bersama beberapa menteri) penguat fatwa tersebut.

Dilihat dari sudut pandang teori pembentukan pemerintahan negara, pemerintah Indonesia gagal menjadi nightwatchman state—meminjam istilah Robert Nozic (1974)—yang bertugas menjaga keamanan seluruh penduduk tanpa turut campur urusan privasi mereka. Dirujuk pada konstitusi Indonesia, pemerintah, di satu sisi, mengabaikan UUD 1945 yang melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan dan, di sisi lain, gagal mensosialisasikan dan menginternalisasikan semangat toleransi tersebut kepada bangsa Indonesia. Kalaupun posisi pemerintah Indonesia dalam hal ini dikaitkan dengan kovenan hak sipil politik yang telah dirativikasi dan diadopsi Indonesia ke dalam UU No.12 Tahun 2005, maka pemerintah dinyatakan melanggar hak-hak jamaah Ahmadiyah lantaran membiarkan orang atau sekelompok orang melanggar hak sipil politik orang lain.

Terkait dengan bahan pertimbangan yang terakhir itu, Indonesia dalam kondisi bahaya. Dunia internasional tentu memperhatikan seluruh tindakan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Ahmadiyah. Dulu, di kasus Timor-Timur, Indonesia diintervensi PBB lantaran melakukan perbuatan pelanggaran HAM (by commission). Sekarang, di kasus Ahmadiyah, masyarakat dunia sangat potensial mengintervensi pemerintahan Indonesia yang jelas-jelas melanggar HAM dengan membiarkan terjadinya pelanggaran hak sipil politik (by omission).

Jika intervensi internasional singgah lagi di Tanah Pertiwi, embargo mungkin pula dialami Indonesia. Konsekuensinya, gerak laju pemerintahan dalam mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia akan terhambat. Pada tingkatan yang lebih lanjut, kondisi keamanan bahkan pertahanan Indonesia pun akan terganggu.

Namun, semua kemungkinan buruk itu bisa dihindiri bila pemerintah Indonesia (1) bersungguh-sungguh menjalankan konstitusi dan konvensi HAM yang telah dirativikasi, dan (2) benar-benar menjunjung tinggi demokrasi, HAM dan pelaksanaan hukum yang berkeadilan. (Zainul Maarif, Jakarta, 8 Mei 2008)

http://zainulmaarif.blogspot.com/2008/05/ahmadiyah-dan-pertahanan-keamanan.html

Hormati Klarifikasi Ahmadiyah

In Ahmadiyah, Ahmadiyah, Berita, Kiyai, November, Tabligh, Ulama, Ustadz on 4 November 2009 at 10:45

Ketika Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) memberikan klarifikasi 12 ajarannya Selasa 15 Januari lalu, seorang kawan saya mengirim pesan pendek, “Sembilan puluh sembilan persen iman Ahmadiyah sama dengan Islam kita wabilkhusus Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi tapi guru dan Tadzkirah bukan kitab suci—apakah mereka masih akan dikejar juga?” Saya tak bisa menjawab hanya berharap yang baik.

Kekerasan terhadap Ahmadiyah selama ini sudah di luar batas kewajaran, dan wajib dihentikan. Pasalnya tak hanya kehancuran fisik yang telah terjadi, namun lebih dari itu telah sampai pada tahap banalisasi kekerasan. Kekerasan di maqam ini tak lagi dipandang dan dirasakan sebagai kekerasan, namun sebagai kebiasaan yang tak bisa ditimbang oleh akal yang sehat.

Kekerasan yang terus terjadi terhadap jamaah Ahmadiyah yang tak henti-hentinya dipertontonkan televisi, diberitakan surat kabar, diangkat dalam diskusi malah membuat mata, telinga, akal, dan hati kita lagi awas dan waras. Sehingga praktik kekersan yang sebelumnya dianggap sebagai ketakwajaran bahkan kejahatan menjadi kewajaran karena hantamannya yang bertubi-tubi menumpulkan nalar dan mematikan rasa. Kekerasan model inilah yang lebih menakutkan, bukan lagi kekerasan yang terjadi sebagai kasus, namun kekerasan yang telah menjelma sebagai tradisi karena matinya akal dan nurani. Penghentikan kekerasan berarti juga kembalinya kewarasan publik.

Sayangnya masih ada beberapa kelompok yang tak berpihak pada kewarasan publik ini. Mereka ingin menguapkan klarifikasi Ahmadiyah tersebut. Dalam sepekan ini kita bisa melihat siapa saja kelompok-kelompok itu, mereka yang terus menghasut agar timbul gejolak dan penghakiman sepihak terhadap Ahmadiyah.

Pertama, Republika melaui headlinenya selama 4 hari berturut-turut: “Awasi Ahmadiyah” (Rabu 16/01), “MUI: Ahmadiyah Tetap Sesat” (17/01), “Menteri Agama Didesak Tegas” dan “Ahmadiyah Lagu Lama, Aransemen Baru” (Kamis, 18/01), “Ahmadiyah Tetap Terlarang” (Jumar, 19/01). Media ini aneh yang konon dicitrakan sebagai harian nasional Islam, namun tak berpihak pada tabayun (klarifikasi) dengan memfokuskan pemberitaanya pada pihak-pihak dan individu yang selama ini menyerang Ahmadiyah.

Politik headline harian ini juga janggal karena seluruh media nasional menyorot pada status hukum Soeharto dan harga kedelai yang semakin naik, namun Republika lebih suka berjualan penyesatan akidah. Saya tak habis pikir dimana letak kelebihan berita Ahmadiyah dibanding dengan status hukum Soeharto atau harga bahan-bahan pokok yang terus naik? Adakah agenda tersembunyi di balik politik headline itu?

Kedua, Forum Umat Islam (FUI) melalui tokohnya Muhammad al-Khaththath. Sepanjang pengetahuan saya, al-Khaththath ini ketua Hizb Tahrir Indonesia: sebuah partai Islam transnasional yang akidah politiknya bertentangan dengan ideologi negara kita. Sistem negara yang diingkan oleh Hizb Tahrir bukan republik (jumhuriyah), atau federasi (ittihadiyah) namun negara khilafah yang bertentangan dengan sistem negara kita yang republik. Hizb Tahrir juga akan menghapus teritori wilayah Idonesia dengan memasukkannya dalam wilayah khilafah Islam. Hizb Tahrir juga memiliki keyakinan bahwa demokrasi adalah sistem kafir (nidzamul kufr). Hizb Tahrir inilah yang semestinya perlu diwaspadai karena akan menghancurkan ideologi yang telah dibangun oleh founding fathers kita. Dibanding ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Wahsliyah termasuk juga Ahmadiyah yang memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia, Hizb Tahrir tak hanya “masbuq” dalam jemaah ormas Islam itu, namun sudah ketinggalan jauh, sehingga ideologi dan tujuan kelompok ini bertentangan dengan ideologi negeri kita: NKR, Pancasila dan UUD 45.

Pun karakter Islam Hizb Tahrir juga bukan karakter Islam di Indonesia yang lebih mengutamakan dakwah kultural dan menggarap langsung masyarkat melalui pendidikan: pesantren dan sekolah, rumah sakit, dan lain-lain. Sedangkan Hizb Tahrir adalah kelompok yang dibayangi trauma kekalahan akibat runtuhnya Imperium Othmaniyah di Turki, dan kelompok ini sebagai partai politik transnasional tidak memiliki lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, atau yang berkaitan langsung dengan hajat masyarakat banyak.

Saya memiliki dugaan, Forum Umat Islam (FUI) ini adalah kamuflase dari Hizb Tahrir yang akhir-akhir ini terpojok karena ideologi mereka dihadapkan dengan ideologi negara kita, sehingga beberapa petinggi mereka perlu melakukan strategi dengan memperbanyak topeng. Dugaan ini bisa menjadi keyakinan karena kuatnya suara Muhammad al-Khaththath, ideolog Hizb Tahrir Indonesia di kelompok ini. Selain FUI, Hizb Tahrir juga memiliki “produk baru” lain yaitu Gerakan Mahasiswa Pembebasan yang setiap demonstrasi mereka menggunakan ikat kepala putih dengan tulisan dua kalimat syahadat bertinta hitam. Namun Hizb Tahrir ini tak bisa membohongi masyarakat umum karena ada kemiripan slogan, agenda, modus pergerakan hingga font (jenis huruf) yang mereka gunakan sebagai pamflet.

Ketiga, kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia (GBUII) yang dipimpin oleh Habib Abdurrahman Assegaf. Melalui informasi yang kami kumpulkan di Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), Abdurrahman Assegaf ini memiliki nama asli Abdul Haris Umarella, putra asli Ambon. Kami juga tidak tahu dari mana ia mendapatkan gelar kehormatan habib dan mendapatkan gelar marga bangsawan Arab: Assegaf. Abdul Haris Umarella ini pula yang selama ini terus melakukan intimidasi terhadap masjid-masjid yang digunakan oleh jamaah Ahmadiyah untuk salat jemaah.

Masih segar dalam ingatan saya ketika Abdul Haris Umarella mendatangi masjid al-Fadl bersama anak buahnya di Bogor bulan Desember kemaren, ia membawa kitab tebal yang ia yakini sebagai Tadzkirah, dalam tuduhannya juga Tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah. Dan ia pun menginjak-injak kitab tersebut. Saya hanya bisa terperangah, bagaimana ia bisa menginjak sebuah kitab yang di dalamnya ada tulisan lafadz Allah, dan ayat-ayat al-Quran?

Keempat, KH Ma’ruf Amin mantan ketua Komisi Fatwa MUI yang masih ngotot dengan fatwanya soal kesesatan Ahmadiyah. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Kiai Ma’ruf, saya melihat beliau lebih sebagai politisi daripada seorang ulama yang faqih. Jabatan-jabatan beliau dalam politik praktis dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kemudian terlibat konflik ikut mendirikan Partai Kebangkitan Nadlatul Ulama (PKNU) hingga jabatannya sebagai salah seorang dewan pertimbangan presiden. Dan kengganan Kiai Ma’ruf saat ini lebih pada egoisme seorang politisi bukan kerendahan hati yang bisa ditemukan pada ahli fiqih.

Hemat saya, fatwa MUI itu dikeluarkan karena sejumlah alasan, manakala akidah Ahmadiyah tidak lagi sesuai dengan argumentasi fatwa itu, maka sudah seharusnya fatwa tersebut dicabut karena bisa dijadikan dalih oleh kelompok-kelompok yang bisa mengganggu kewarasan publik. Ahmadiyah melalui 12 klarifikasinya bukanlah kelompok yang “sesat dan menyesatkan”, namun insya Allah kelompok yang “selamat dan menyelamatkan”.

Mohamad Guntur Romli

Poligami dan Asbabun Nuzul Ayat

In Islam, Selasa, Ustadz on 3 November 2009 at 01:26

Asslm. Wr. Wb,
Ustadz yang insya ALLOH dirahmati ALLOH SWT,

1. Saya ada pertanyaan mengenai poligami dikarenakan ada yang menyatakan kalau kita mau berpoligami yang sesuai dengan Rasulullah SAW, maka istri pertama harus meninggal dahulu seperti Khadijah R.A?
2. Apa dan sebab turunnya ayat berpoligami tersebut, apakah pada saat Khadijah R.A masih ada atau beliau sudah meninggal? Atau bagaimana? Mohon penjelasannya.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wasslm. Wr. Wb,
Hamba ALLOH

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Poligami merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh Allah swt sebagai solusi dari kehidupan masyarakat pada saat itu yang tidak ada pembatasan bagi seorang laki-laki dalam memiliki istri serta untuk memenuhi tuntutan sosial masyarakat yang semakin hari jumlah kaum wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.
Disyariatkannya hal itu berdasarkan firman Allah swt :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ (٣)

Artinya : “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. An Nisaa : 3)
Ijma para ulama menyatakan bahwa diperbolehkan seseorang melakukan poligami dengan dua persyaratan :
1. Mampu berlaku adil terhadap para istrinya, sebagaimana firman Allah swt ;

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)

Artinya : “kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa : 3)
2. Memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kepada para istrinya itu, sebagaimana firman Allah swt :

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ (٣٣)

Artinya : “dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur : 33)

Memang didalam siroh disebutkan bahwa Rasulullah saw baru melakukan poligami pada usia 53 tahun setelah Khodijah ra meninggal dunia hingga usia beliau 60 tahun.

Poligami yang dilakukan Rasulullah saw dikarenakan tuntutan da’wah. Pada saat itu usia Nabi saw semakin tua sementara tugasnya bertambah berat didalam menyampaikan risalahnya sehingga beliau saw membutuhkan orang-orang yang paling dekat dengannya untuk menjadi perantara dalam menyampaikan hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan wanita muslimah. Tentunya sangatlah merisihkan diri nabi saw jika beliau saw secara langsung menjelaskan hukum-hukum syariat tentang wanita kepada para wanita muslimah. Karena itulah, fungsi menyampaikan ini diambil oleh hampir seluruh istrinya.

Apa yang dilakukan Rasulullah saw dengan berpoligami setelah meninggalnya Khodijah sebagai istri pertamanya adalah juga perintah dari Allah swt. Dan hal itu tidak berarti bahwa setiap muslim baru bisa berpoligami setelah istri pertamanya meninggal dunia.

Islam adalah agama fitrah yang mengerti akan kebutuhan setiap manusia. Tentunya kebutuhan setiap manusia tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya termasuk dorongan syahwat (libido). Ada diantara mereka yang membutuhkan istri lebih dari satu untuk memenuhi libidonya sementara sebagian lainnya merasa cukup dengan satu istri. Atau mungkin ada diantara mereka yang sedang diuji dengan sakit berkepanjangan yang dialami istrinya sehingga tidak bisa melayani kebutuhan seksual suaminya sementara dirinya membutuhkan jalan keluar untuk itu, lalu apakah solusi buat suaminya itu ?

Apakah dirinya harus menanti hingga istrinya meninggal dunia?! Sementara dorongan seksualnya semakin hari terus semakin bertambah! dan bukan tidak mungkin jika tidak ada solusi berpoligami maka dirinya akan jatuh kedalam perbuatan yang diharamkan untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Tidak ada nash didalam Al Qur’an maupun sunnah yang melarang seorang muslim untuk berpoligami sementara istri pertamanya masih ada disampingnya selama dirinya sudah termasuk orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk itu. Nash-nash Al Qur’an dan sunnah hanya memberikan batasan bagi seseorang yang berpoligami untuk tidak memiliki istri lebih dari empat orang, sebagaimana Diriwayatkan oleh Ahmad dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats Tsaqofi masuk islam sementar dirinya memiliki sepuluh orang istri. Lalu Nabi saw berkata kepadanya,”Pilihlah empat orang saja dari mereka.”
Adapun sebab nuzul dari ayat 3 surat an Nisa tentang poligami diatas, sebagaimana disebutkan didalam ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubeir bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى , maka Aisyah berkata,”Wahai anak saadara perempuanku sesungguhnya anak perempuan yatim ini berada didalam perawatan walinya—ia menyertainya didalam hartanya, lalu walinya tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan yatim itu dan menginginkan untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap maharnya, dia memberikan mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar kepadanya. Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali apabila mereka dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan kepada anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenanginya selain dari anak-anak perempuan yatim itu.”

Ayat 3 dari surat An Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah ra pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan juga setelah beliau saw menikahi seluruh istrinya dan wanita terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7 H.
Wallahu A’lam

Sumber : http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/poligami-dan-asbabun-nuzul-ayat-poligami.htm

Hukum Shalat Orang Bertatto

In Islam, November, Ustadz on 3 November 2009 at 01:19

Assalamualaikum Wr,Wb
Pak Ustadz, saya ingin penjelasan tentang bagaimana orang yang mempunyai tatto melakukan sholat? apakah sholatnya sah? sedangkan dia bersungguh-sungguh untuk bertobat. kalau pun tidak sah dasar dari Al-quran atau hadis manakah?? mohon ditunjukkan.
Terima Kasih ,

Wassalam

Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Tato adalah perbuatan menusuk-nusukkan jarum ke bagian tubuh, seperti : wajah, badan, tangan, kaki sehingga mengeluarkan darah kemudian diberikan alkohol diatasnya sehingga menjadi biru.
Perbuatan ini termasuk yang diharamkan dan para pelakunya mendapatkan laknat dari Allah swt, berdasarkan riwayat Bukhori dari Al Qomah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Allah melaknat orang-orang yang mentato dan yang minta ditato.”

Islam mewajibkan kepada orang yang bertato untuk segera menghilangkannya dan bertaubat kepada Allah swt. Akan tetapi apabila penghilangan tato tersebut membawa mudharat dan cacat kepada dirinya maka cukuplah baginya untuk bertaubat kepada Allah swt.
Apabila dirinya telah bertaubat dengan taubat nasuha (sungguh-sungguh) dan memenuhi persyaratan pertaubatan itu, yaitu : meninggalkan perbuatan tato tersebut, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya maka sesungguhnya Allah swt Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.
Firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ (٨)

Artinya : ‘ Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” (QS. At Tahrim : 8)

Apabila dirinya telah bertaubat dengan sungguh-sungguh atas perbuatannya itu meskipun tato itu masih terdapat di tubuhnya maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadapa ibadah-ibadahnya secara umum, seperti : umroh, haji maupun shalatnya dan tetap dianggap sah.
Wallahu A’lam

Sumber : http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/haram-kah-orang-memiliki-tatto-melakukan-sholat.htm

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

In Islam, November, Ustadz on 3 November 2009 at 01:10

Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

“Seorang hamba yang muslim melakukan shalat sunnah yang bukan wajib, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.” (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut.” [1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah rawatib, sehingga Imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama dalam bab: keutamaan shalat sunnah rawatib (yang dikerjakan) bersama shalat wajib (yang lima waktu), dalam kitab beliau Riyadhus Shaalihiin. [2]

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

1. Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib lima waktu. [3]
2. Dalam riwayat lain hadits ini dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan memerinci sendiri makna “dua belas rakaat” yang disebutkan dalam hadits di atas[4], yaitu: empat rakaat sebelum shalat Zhuhur[5] dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Magrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Subuh[6]. Adapun riwayat yang menyebutkan: “…Dua rakaat sebelum shalat Ashar”, maka ini adalah riwayat yang lemah[7] karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat yang kami sebutkan sebelumnya. [8]
3. Keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnah rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu, sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, perawi hadits di atas dan demikian yang diterangkan oleh para ulama[9].
4. Jika seseorang tidak bisa melakukan shalat sunnah rawatib pada waktunya karena ada udzur (sempitnya waktu, sakit, lupa dan lain-lain) maka dia boleh mengqadha (menggantinya) di waktu lain[10]. Ini ditunjukkan dalam banyak hadits shahih. [11]
5. Dalam hadits ini terdapat peringatan untuk selalu mengikhlaskan amal ibadah kepada Alah Ta’ala semata-mata.
6. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.” [12]
7. Semangat dan kesungguhan para sahabat dalam memahami dan mengamalkan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah yang menjadikan mereka lebih utama dalam agama dibandingkan generasi yang datang setelah mereka.

Footnote:

[1] HSR Muslim (no. 728).

[2] Riyadhus Shalihin (bab no. 195, hal. 1409).

[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim (1/502).

[4] Lihat keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Syarh Riyadhish Shaalihiin (3/282).

[5] Dikerjakan dua raka’at – salam dan dua raka’at – salam (ed)

[6] HR an-Nasa-i (3/261), at-Tirmidzi (2/273) dan Ibnu Majah (1/361), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih sunan Ibnu Majah (no. 935).

[7] Dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam Dha’iful Jaami’ish Shagiir (no. 5672).

[8] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 22).

[9] Lihat misalnya kitab Faidhul Qadiir (6/166).

[10] Demikian keterangan yang kami dengar langsung dari guru kami yang mulia, syaikh Abdul Muhsin al-’Abbaad, semoga Allah menjaga beliau.

[11] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 29, 33-34).

[12] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Artikel http://www.muslim.or.id

Waktu-Waktu yang Terlarang Mengerjakan Shalat

In Islam, Shalat, Ustadz on 3 November 2009 at 01:03

1. Setelah shalat Shubuh hingga matahari naik setinggi tombak.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Beberapa orang yang dapat dipercaya, dan dipercaya oleh Umar, bersaksi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang mengerjakan shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” [Hadits shahih, diriwayat-kan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

2. Setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ”Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga terbit matahari, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga terbenam matahari.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

3. Ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak; (4). Saat tengah hari hingga matahari tergelincir; dan (5). Matahari terbenam hingga terbenam.

Berdasarkan hadits dari ‘Uqbah bin Amir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami mengerjakan shalat atau menguburkan mayat pada tiga waktu: ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak; pada saat tengah hari hingga matahari tergelincir; dan pada saat matahari akan terbenam hingga terbenam.” [Hadits shahih, diriwayatkan Muslim]

Alasan Larangan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan alasan dilarangnya shalat pada tiga waktu tersebut, berdasarkan sabdanya kepada Amr bin ’Abasah: ”Kerjakanlah shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan. Pada saat itu orang-orang kafir sujud kepadanya. Setelah itu, silakan mengerjakan shalat sunnah, karena shalat pada saat itu disaksikan dan dihadiri (para malaikat). Hingga ketika bayangan tegak lurus dengan tombak (tengah hari), janganlah kerjakan shalat, karena pada saat itu Neraka Jahannam dinyalakan. Jika bayangan telah condong, maka silakan mengerjakan shalat, karena shalat pada saat itu disaksikan dan dihadiri (oleh para malaikat). Hingga engkau mengerjakan shalat Ashar. Sesudah itu, janganlah shalat hingga matahari terbenam. Karena matahari terbenam di antara dua tanduk setan. Pada sat itu orang-orang kafir sujud kepadanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Pengecualian dari Larangan

1. Tengah hari pada hari Jum’at. Karena pada saat itu seseorang dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunnah mutlak sebelum dilangsungkannya shalat Jum’at hingga imam keluar (untuk naik mimbar). Apabila imam shalat telah keluar naik mimbar, maka tidak diperbolehkan lagi mengerjakan shalat sunnah mutlak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at lalu bersuci sebersih-bersihnya, meminyaki rambut-nya, atau memakai wewangian yang dimilikinya, kemudian berangkat (ke masjid) dan tidak mencerai beraikan shaf (barisan), kemudian ia mengerjakan shalat sunnah yang mampu dikerjakannya, kemudia ia diam ketika imam telah memulai khuthbah, melainkan akan diampuni dosanya antara Jum’at ke Jum’at berikutnya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]

Ini adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i, berdasarkan hadits di atas dan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat pada tengah hari hingga matahari tergelincir, kecuali pada hari Jum’at – hadits ini sanadnya dha’if (lemah) diriwayatkan oleh Asy_Syafe’i dalam kitab Al_’Umm –. Karena hadits dari Abu Hurairah ini dha’if, maka tidak berpengaruh terhadap apa yang telah penulis sebutkan. Wallahu ’alam

Selain pendapat Imam Asy_Syafe’i di atas, para ulama memiliki dua pendapat lainnya: Pertama, shalat pada tengah hari Jum’at dan selain hari Jum’at tidak timakruhkan secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Malik, berdasarkan amalan penduduk kota Madinah. Tentunya pendapat ini tertolak dengan hadits yang lalu. Kedua, shalat pada tengah hari Jum’at dan selainnya hukumnya makruh. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Penulis berkata, ”Pendapat yang paling kuat adalah adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i, dan pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.” [Lihat Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad (I/378)]

2. Dua rakaat shalat sunnah thawaf di Baitul Haram (Makkah)

Berdasarkan hadits dari Jubair bin Muth’im bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Wahai Bani Abdul Manaf! Jangan kalian halang seorang pun yang ingin berthawaf di Ka’bah dan melaksanakan shalat di waktu apa pun yang diinginkannya, baik malam maupun siang.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh At_Tirmidzi, An_Nasa’i, dan Ibnu Majah]

3. Mengqadha shalat pada saat waktu-waktu terlarang

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum mengqadha shalat pada waktu terlarang:

Pertama, tidak boleh mengqadha shalat pada waktu-waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan ashabur ra’yi, dengan dalil-dalil sebagai berikut:

* Bahwasannya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertidur sehingga tidak shalat Shubuh hingga matahari terbit, beliau menundanya hingga matahari memutih. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim dari ’Imran bin Husain]

* Diriwayatkan dari Abu Bakrah bahwa ia tidur dekat jentera air, lalu terbangun ketika matahari hampir terbenam, maka ia menunggunya hing-ga matahari benar-benar terbenam lantas ia shalat. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq]

* Diriwayatkan dari Ka’ab bin ’Ujrah bahwa anaknya tertidur hingga terbit dua tanduk setan. Lalu ia mendudukan anaknya. Setelah matahari meninggi, ia berkata: ”Sekarang shalatlah!” [Sanadnya dha’if, Imam At_Tirmidzi mencantumkan dengan sanad yang mu’allaq, dan Ibnu Abi Syaibah menyebutkan dengan sanad yang bersambung. Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, hal. 405]

Kedua, boleh mengqadha shalat pada waktu-waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy_Syafe’i, Ahmad, dan jumhur sahabat serta tabi’in dengan dalil-dalil sebagai berikut:

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa tertidur atau lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika mengingatnya.”

* Hadits dari Abu Qatadah dengan sanad yang marfu’, ”Sesungguhnya yang disebut dengan kelalaian itu hanyalah bagi orang yang tidak melaksanakan shalat hingga masuk waktu shalat yang lain. Barangsiapa yang terlupa, maka laksanakanlah ketika ia mengingatnya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain]

Penulis berkata, ”Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua bahwa boleh mengqadha shalat pada waktu-waktu terlarang. Adapun kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun karena sengatan matahari lalu menunda shalat Shubuh hingga matahari memutih, maka beliau telah menjelaskan sebabnya, yaitu karena tempat tersebut dihadiri oleh setan. Dengan demikian, larangan beliau berkaitan dengan situasi tempat, bukan karena waktu.” Wallahu ’alam

4. Mengqadha shalat sunnah rawatib pada waktu-waktu terlarang.

Berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ’anha bahwa ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat setelah shalat Ashar, lalu aku bertanya kepada beliau tentang shalat yang beliau kerjakan. Maka beliau menjawab, ”Wahai putri Abu Umayyah, engkau bertanya tentang dua rakaat setelah shalat Ashar. Tadi orang-orang dari Bani Qais datang dan membuatku sibuk sehingga aku tidak sempat mengerjakan dua rakaat setelah Zhuhur. Dan shalat yang aku kerjakan ini adalah dua rakaat setelah Zhuhur.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]

Berdasarkan juga hadits dari Qais bin Amir, ia berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatku shalat sunnah Shubuh dua rakaat setelah shalat Shubuh, maka beliau bertanya, ’Dua rakaat apakah ini, wahai Qais?’ Aku menjawab, ’Wahai Rasulullah, tadi aku tidak sempat mengerjakan shalat sunnah Shubuh.’ Beliau diam tanpa ada komentar.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, Ahmad dengan sanad yang mursal. Namun hadits ini memiliki jalur lain yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab Al_Ausath, Al_Hakim, Al_Baihaqi, sehingga dengan seluruh jalur yang ada, maka hadits ini menjadi hadits hasan]

5. Shalat janazah setelah shalat Shubuh dan Ashar

Para ulama bersepakat bahwa shalat jenazah boleh dikerjakan setelah shalat Shubuh dan Ashar. Tetapi mereka berselisih pendapat bila dilaksanakan pada waktu terlarang yang tercantum dalam hadits dari ’Uqbah bin ’Amr: ketika matahari terbit hingga posisinya tinggi; ketika tengah hari hingga matahari tergelincir; dan ketika matahari akan terbenam hingga benar-benar terbenam. Dalam masalah ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat:

Pertama, tidak boleh melaksanakn shalat jenazah pada tiga waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik Ahmad, dan mayoritas ulama, berdasarkan hadits shahih di atas – hadits Uqbah bin Amr.

Kedua, boleh mengerjakan shalat jenazah pada semua waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Argumen Imam Asy_Syafe’i bahwa shalat jenazah adalah shalat yang dilakukan karena suatu sebab. Oleh karena itu, ia dikecualikan dari larangan tersebut.

Penulis berkata, ”Pendapat yang paling jelas adalah pendapat pertama bahwa tidak boleh mengerjakan shalat jenazah pada tiga waktu terlarang tersebut. Karena dalam hadits tersebut, di samping terdapat larangan shalat, ada pula larangan menguburkan mayat. Hal ini menunjukkan bahwa shalat jenazah terlarang dilakukan pada waktu-waktu terlarang itu. Karena waktu larangan itu hanya sebentar saja, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatir-kan jika ditunggu hingga waktu tersebut lewat.” Wallahu ’alam

6. Shalat yang dikerjakan karena suatu sebab

Shalat sunnah – seperti shalat sunnah tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah gerhana, shalat jenazah setelah shalat Shubuh dan Ashar, dan lainnya – boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Ini adalah pendapat Imam Asy_Syafe’i dan riwayat lain dari Imam Ahmad. Adapun dalil-dalil mereka adalah:

* Dalam hadits shahih bahwa dibolehkan shalat sunnah thawaf di semua waktu.

* Dibolehkannya shalat setelah wudhu di semua waktu, sebagaimana yang terkandung dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal: “Wahai Bilal, katakanlah kepadaku amalah apakah yang telah engkau lakukan dalam Islam yang paling engkau harapkan? Sesungguhnya aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Aku tidak melakukan suatu amalan yang paling aku harapkan. Hanya saja setiap aku bersuci, baik pada waktu malam maupun siang hari, aku selalu mengerjakan shalat setelahnya sebanyak semampuanku.” [HR. Al_Bukhari (1149) dan Muslim (2458)]

* Berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat gerhana, ”Apabila kalian melihat gerhana, segera laksanakan shalat.”

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sehingga ia shalat dua rakaat.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud. Lihat kitab Ta’zhim Qadr Ash_Shalah (1008)]

* Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat sunnah Zhuhur setelah shalat Ashar.

* Berdasarkan ijma’ ulama yang membolehkan shalat jenazah setelah shalat Shubuh dan Ashar

Penulis berkata, ”Semua ini adalah shalat-shalat yang dikerjakan karena suatu sebab, dan boleh dikerjakan kapan saja. Dengan demikian, shalat-shalat ini dikecualikan dari larangan tersebut.”

Penulis :Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I

Sumber : http://alhafizh84.wordpress.com/2009/11/02/waktu-waktu-yang-terlarang-mengerjakan-shalat/

Shalat Arba’in di Masjid Nabawi

In Islam, Kiyai, Pesantren, Shalat, Ulama, Ustadz on 30 Oktober 2009 at 12:41

Sebagian jama’ah haji ada yang menggunakan kesempatan berziarah ke Madinah untuk melaksanakan shalat empat puluh kali secara berturut-turut di masjid Nabawi. Amaliah ini lebih kita kenal dengan istilah Shalat Arba’in. Bagaimanakah Shalat Arba’in itu? Adakah tuntunan Nabi SAW yang mengajarkannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau melihat hadlts Nabi SAW, yang menjelaskan keutamaan tiga masjid yang mempunyai sejarah besar dalam Islam, yakni masjidil Haram, masjib Nabawi serta masjidil Aqsha.

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَاتَشُدُّ الرِّحَالَ إلاَّ فِيْ ثَلَاثٍ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِيْ هَذَا وَاْلمَسْجِدِ الْأقْصَى –صحيح البخاري

“Dari Abli. Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda, ‘Janganlah kamu bersikeras untuk berkunjung kecuali pada tiga tempat, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), serta Masjidil Aqsa.’” (HR Bukhari)

Dalam hadits ini, ada anjuran yang sangat kuat dari Nabi SAW untuk berziarah, mendatangi sekaligus beribadah di tiga masjid itu. Karena tempat-tempat tersebut mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki tempat lain di dunia ini. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ صَلاَةٌ فِيْ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفٍ فِيْمَا سِوَاهُ –مسند أحمد بن حنبل

“Dari Jabir RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Melakukan shalat satu kali di masjidku ini lebih utama dari shalat seribu kali di tempat lain, kecuali Masjidil Haram. Dan melakukan shalat satu kali di Masjidil Haram lebih utama dari pada melakukan shalat seratus ribu kali di tempat lainnya.” (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Dari hadits ini terlihatjelas bahwa melakukan ibadah di dua masjid tersebut memiliki keutamaan yang sangat besar. Karena itu, para ulama sangat menganjurkan orang yang sedang melakukan ibadah haji, sebisa mungkin untuk memperbanyak melaksanakan ibadah di masjid tersebut. Al¬Imam ar-Rabbani Yahya bin Syarf an-Nawawi dalam Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj menjelaskan:

“Orang yang melakukan ibadah haji, selama ia di Madinah, selayaknya untuk selalu melaksanakan shalat di Masjid Rasulullah SAW. Dan sudah seharusnya dia juga berniat ‘i’tikaf, sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang ibadah di Masjidil Haram. (Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal Umrah, hal 456)

Dan sangat dianjurkan untuk melaksanakan shalat tersebut secara berturut turut selama empat puluh kali. Sebab ada fadhilah yang sangat besar jika perbuatan ini dilaksanakan di Masjid Nabawi. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى فِيْ مَسْجِدِيْ أَرْبَعِيْنَ صَلَاةً لَا تَفُوْتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَ بَرَاءَةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَ بَرِيْءٌ مِنَ النِّفَاقِ –مسند أحمد بن حنبل

“Dari Anas bin Miilik, bahwa Rasululliih SAW bersabda, “Barangsiapa shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) selama empat puluh kali berturut-turut, maka dicatat baginya kebebasan dari neraka, selamat dari adzab, serta terbebas dari kemunafikan.” (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Shalat Arba’in oleh jama’ah haji atau umat Islam lainnya ketika di Madinah memang dianjurkan di dalam syariat Islam.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

________________________________________
Komentar:
________________________________________
AHWAN AKHADI menulis:

Setuju sekali Mbah Kyai, Namun sebaiknya jangan hanya dibatasi untuk Arba’in di Madinah saja, Alangkah bijak bila Arba’in ini diterapkan juga di masjid-masjid di dekat umat muslim tinggal atau di mana saja muslim (laki-laki) masih mendengarkan adzan.
Bahkan Rasulullah tidak memberikan rukshoh kepada orang buta sekalipun untuk meninggalkan sholat fardlu berjamaah di masjid.
________________________________________
lutfi syafi’i menulis:

ass. maaf pak kiai..
saya mau tanya, apakah boleh ketika melakukan wukuf di ‘arafah, melepaskan jilbab bagi perempuan, padahal masih dalam waktu wukuf?
mohon petunjuk dan jawabannya pak kiai, dan terima kasih sebelumnya.
________________________________________
nahdludin menulis:
Boleh ustadz saya sebagai pembaca memberanaikan diri menjawab sekaligus bertanya, … bukankah saat wukuf itu sedang memakai ihram ? terus definisi pakaian ihram bagi perempuan itu apa saja, ini saja pertanyaan saya kepada Ust. lutfi syafii,

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15046

Bagaimana Menyambut Ramadhan?

In Kiyai, Pesantren, Puasa, Ulama, Ustadz on 29 Oktober 2009 at 02:06

Agar puasa Ramadhan dapat dikerjakan dengan sempuma dan mendapatkan pahala dari Allah SWT, maka hendaknya melakukan hal-hal berikut:

1. Mempersiapkan jasmani dan rohani, mental spiritual seperti membersihkan lingkungan, badan, pikiran dan hati dengan memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT dan minta maaf kepada sesama manusia.

2. Menyambut bulan suci Ramadhan dengan rasa senang dan gembira karena akan meraih kebajikan yang berlipat ganda.

3. Meluruskan niat yang tulus ikhlas, hanya ingin mendapat ridha Allah SWT. Karena setan tidak akan mampu mengganggu orang yang tulus ikhlas dalam ibadah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al¬-Hijr ayat 39-40:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di an tara mereka. (QS Al-Hijr: 39-40)

4. Berpuasa dengan penuh sabar untuk melatih fisik dan mental, karena kesabaran itu akan mendapat pahala yang sangat banyak. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az-¬Zumar: 10)

5. Segera berbuka jika waktunya sudah tiba dan, mengakhirkan makan sahur. Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا أَخَرُّوْا السَّحُوْرَ وَعَجَّلُوْا اْلفِطْرَ

Umatku senantiasa berada dalam kebaikan jika mereka menyegerakan buka dan mengakhirkan sahur. (HR Ahmad).

6. Berdoa waktu berbuka.
Rasulullah SAW selalu berdoa ketika berbuka puasa, dengan membaca doa:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ

Ya Allah, Aku berpuasa hanya untuk¬Mu dan dengan rizki-Mu aku berbuka. (HR. Abu Dawud)

ذَهَبَ الظَّمَاءُ وَابْتَلَّتْ العُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأجْرُ إنْ شَاءَ اللهُ

Hilanglah rasa haus, tenggorakan menjadi basah, semoga pahala ditetapkan, Insya Allah. (HR Abu Dawud)

7. Berbuka dengan kurma, atau air. Rasulullah SAW bersabda:

كَانَ رَسُوْْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْتِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ فَإنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاةٍ مِنْ مَاءٍ

Rasulullah SAW berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat maghrib, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air. (HR Abu Dawud)

8. Bersedekah sebanyak-banyaknya. Karena sedekah yang paling baik adalah pada bulan Ramadhan.

9. Memperbanyak membaca Al-Qur’an, menghayati dan mengamalkannya, sebagaimana Rasulullah SAW setiap bulan didatangi Malaikat Jibril untuk mengajarkan Al¬Qur’an. Al-Qur’an yang dibaca pada bulan Ramadhan akan memberi syafaat kepada pembacanya kelak di hari kiamat.

10. Meninggalkan kata-kata kotor dan tidak bermanfaat, karena akan menghilangkan pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ فَيْ أنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa saja (selagi puasa) tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukan berbuat tidak bermanfaat, maka tidak ada artinya disisi Allah, walau dia tidak makan atau minum. (HR Bukhari)

11. Tidak bermalas-malasan dalam semua aktivitas dengan alasan berpuasa, karena puasa bukan menghambat aktivitas dan produkvitas justru meningkatkan prestasi.

12. I’tikaf di masjid terutama pada 10 hari akhir bulan Ramadhan. Rasulullah SAW membiasakan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir tiap bulan Ramadhan. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi SAW selalu I’tikaf pada 10 hari terakhir bula Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau juga beri’tikaf setelahnya. (HR Bukhari)

13. Memperbanyak ibadah, shalat malam dengan mengajak keluarga untuk ibadah malam.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأحْياَ لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ

Apabila memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW lebih giat ibadah, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya. (HR Bukhari)

14. Bagi yang mampu dianjurkan untuk Umrah dibulan Ramadhan, karena pahala-nya seperti berhaji.

15. Memperbanyak membaca Tasbih, karena sekali tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari seribu tasbih diluar Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:

تَسْبِيْحَةٌ فِيْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ ألْفِ تَسْبِيْحَةٍ فِيْ غَيْرِهِ

Sekali membaca tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari 1000 kali tasbih di luar bulan Ramadhan. (HR Tirmidzi)

Hal-Hal yang Makruh Ketika Puasa

Beberapa hal berikut tidak membatalkan puasa tetapi bisa membatalkan puasa jika tidak berhati-hati, yaitu:

1. Berlebihan dalam berkumur dan menghisap air ke hidung ketika wudhu.
2. Berciuman dengan istri, karena dikhawatirkan membangkitkan syahwat.
3. Mencicipi makanan, karena dikhawatirkan akan tertelan.
4. Berbekam (cantuk), dikhawatirkan membuat badan lemah.
5. Memandang istri dengan syahwat.
6. Menggosok gigi dengan berlebihan, dikhawatirkan akan tertelan.
7. Tidur sepanjang hari.

Hal-Hal yang Boleh Dikerjakan Ketika Puasa

Berikut ini boleh dikerjakan oleh orang yang sedang puasa:
1. Bersiwak
2. Berobat dengan obat yang halal dengan syarat tidak memasukkan sesuatu ke dalam lubang-lubang rongga badan, seperti boleh menggunakan jarum suntik asal tidak memasukkan gizi makanan.
3. Memakai minyak wangi, minyak angin atau balsem.
4. Melakukan perjalan jauh, walaupun akan membatalkan puasanya.
5. Mendinginkan badan dengan air ketika udara sangat panas.
6. Memasukkan oksigen.
7. Memasukkan alat-alat kedokteran tapi bukan tujuan mengenyangkan.
8. Menggauli istri pad a malam hari, berdasarkan firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari , bulan puasa bercampur dengan isteri¬isteri kamu… (QS. Al-Baqarah: 187)

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
________________________________________
Komentar:
________________________________________
MUSLIM menulis:
Untuk beberapa edisi, NU Online menerbitkan kajian yang menyertakan data hujjah, bukan qias/pendapat selain Rasul. Disini tidak ada beda pendapat, ini yang kita nanti. Ayo bersama tegakkan hujjah dan bersatu dalam Islam, laksanakan sunnah, tinggalkan Bid’ah dan hancurkan syririk (apapun nama dan bentuknya) Lawan zindiq dan missioneris dengan strategi, visi dan misi yang terformat. Kalau mau berkunjung ke M. Darul, SE Wuled/coprayan, tirto Pekalongan klik aja nama Muslim diatas
________________________________________
Fafa menulis:
Komentar yang sudah saya duga akan keluar dari mulut orang wahabi. Seakan-akan orang NU tidak berpegang pada Qur’an dan sunnah. Seakan pemahaman mereka terhadap Qur’an dan Sunnah paling otentik, padahal itu juga pendapat para ulama’ panutan mereka (jadi sama2 relatif, kadang malah ngawur) Saya sudah masuk ke blognya orang ini.Isinya penuh dengan artikel2 dan copy-paste dari situs2 wahabi.
________________________________________
MUSLIM menulis:
Dari komentarku, apa ada yang tidak berkenan, apa ucapan pujian itu berlebihan. Maaf kalau demikian kiranya.

Insya Allah tulisanku dalam blog bukan copypaste, saya gali sendiri dari berbagai kitab, baik bersumber dari kitab-kitab NU, Muhammadiyah, salafi, al irsyad, mana yang bisa menunjukkan manhaj dan hujjah yang jelas. Saya pakai.

Saya sendiri tidak membatasi diri pada satu madzhab, semua baik. Saya tidak memahami apakah Abdul wahab itu juga mazhab. Saya juga tidak terikat dengan grand consept beliau, soalnya tidak ada yang baru, semua aplikasi sunnah. Saya pernah baca kitab beliau berjudul at-Tauhid, isinya tidak beda dengan kitabnya Syafi’i, dan Ulama lainnya yang memberantas syirik dan bid’ah, malah penduduk tradisional, gol. Syi’ah sangat membencinya dan memeranginya. NU juga berjuang memberantas kesyirikan didesa-desa. Kalau penegakan tauhid sesuai ajaran Rasul, di kategorikan Wahabi, Bismillah saya masuk Wahabi, karena Allah Ta’ala.
________________________________________
merdeka menulis:
Debat emacam inilah yang membuat orang islam semakin tertinggal. karena selalu berkutat pada masalah itu saja. dan membuat di uar islam semakin tertawa lebar. Bukankan perbedaan sudah di takdirkan. Apakah anda sekalian tidak menyadarinya. Atau mungkin anda yang mengaku muslim sebenarnya adalah. tangan dari orang di luar islam.
________________________________________
Sukitman Sudjatmiko menulis:
satu sisi kadang2 muslim ini menukil pendapatnya seolah2 semua datang dari rosul tetapi disisi lain/di artikel lain menyertakan hujjah2 ulama mazhabat dg ngototnya (percis sama dgn apa yg dia hujat atas NU).mas yang konsisten dong.Plis deh!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
________________________________________
fafa menulis:
Tuh kan jelas, si Muslim ini memproklamirkan masuk Wahabi. Ah yang benar Mas Anda sdh pernah baca kitab-kitabnya Imam Syafi’i? Soal Syirk dan Bid’ah saya n orang NU yang lain juga anti Mas! Tapi menyatakan bahwa Tawassul, tabaruk, dan tarekat sebagai perbuatan syirik dan bid’ah tanpa kecuali ya nanti dulu! Insya Allah kami orang NU dan mayoritas muslim se-dunia yang ahli tawasul, tabaruk dan tarekat tidak akan sebodoh itu tenggelam dalam lumpur kesyirikan. Yang kami lakukan semata-mata mengikuti Sunnah Rasul dan para shahabat sebagimana yang diajarkan para guru ngaji kami, Kyai Nawawi (Al-adzkar), Kyai Jalaludin Ash-shuyuti, Kyai Ghazali, Kyai Syafi’i, Kyai Abdul-Qadir Al-Jaelani, Kyai Ibnu Hajar Al-asqalani dan para ulama’ lainnya.
________________________________________
MUSLIM PEKALONGAN menulis:

Shohib Fafa

1. Masalah definisi bid’ah, Tawassul, tabaruk, dan tarekat itu controversonal dari berbagai ulama. Jadi lebih selamat mengamalkan ibadah/sunnah yg rajih hukum (bukan hadits palsu/mitos), bebas klaim bid’ah bahkan syirik

kadang ibadah kita mengikuti leluhur/tradisi lokal, bisa di lingkungan syi’ah, mu’tazilah atau kepercayaan kejawen, takut keluar jamaah/dikucilkan pilih yg rajih

2. Kebenaran bukan milik mazhab, atau mengakui mazhab paling bagus, semua ulama mazhab bagus, bisa jadi dalil rajih ada pada mazhab lain, ini yg dipilih.

3. Pencerahan ulama lain bisa untuk wacana/perbandingan, untuk menghindari kejumudan/kekakuan/ketertutupan ilmu selama tdk keluar dari qaidah

Maaf kutunjukkan jatidiri, saya bukan kristen/pihak lain yg memecah belah islam

M. Darul, SE Wuled Tirto Pekalongan Coprayan Buaran

________________________________________
Mohammad Taufiq menulis:
Saya sangat menghormati anda sebagai seorang muslim yang taat dan terus belajar agama, tetapi ketahuilah bahwa sebelum amar, Anda perlu ilmu, kemudian amal, lalu ‘alim, dan anjur. Anda saya nilai baru bersemangat memahami agama tetapi tidak mendapat bimbingan dari guru sehingga pemahamanya cenderung skripturalis, saklek, dan kaku

pemahaman yang seperti ini memang baik dan konsisten tetapi tidak bisa diterima karena tidak relevan dengan kehidupan nyata
________________________________________
naulil menulis:
Assalamu’alaikum
tolong buka http://www.majelisrasulullah.org
download ebook yang ada…
saya kira cukup memberi penjelasan anda semua
trimakasih..
Wassalamu’alaikum

Sumber:
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13959

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya

In Islam, Kiyai, Shalat, Ulama, Ustadz on 29 Oktober 2009 at 01:48

Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama’ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.

Ada beberapa pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka’at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka’at; ada pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.

Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي

”Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah Thawaf.

Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:

أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان

“Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah.

Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka’b.

Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.

Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).

Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun sesudah aku “. (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 raka’at:

وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .

“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360).

Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11 raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah bukan masalah aqidah tidak perla dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Komentar:

Sutan Mantari menulis:
Tanya: Apakah salat witir itu sebagai penutup salat malam atau salat tarawih.
Jika benar dan hadis Siti Aisyah dipercaya berarti salat malam sama dengan tarawih.
dan lebih baik kita mencontoh Rasulullah saja. Benar ngak pak HM Cholol Nafis Abumusa menulis:
Shalat tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat sebaiknya dilaksanakan secara thuma’ninah. Janganlah melakukan shalat tarawih dengan sangat cepat seperti yang digambarkan oleh Rasuulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalaam sebagai ayam yang mematuk-matuk atau pencuri yang paling jahat.

Mari kita melaksanakan shalat tarawih dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala sehingga kita dapat menikmatinya dan dosa kita yang telah lalu dihapuskan.

Wallahu a’lam. hamba Allah menulis:
Mari kita tingkatkan kwalitas jangan hanya kwantitas. kwantitasnya banyak tapi kwalitasnya renda itu tidak ada artinya. untuk itu kami mohon kepada jajaaran NU dimana saja berada untuk menghimbau kepada semua jam’iyah agar meningkatkan kwalitas terwaihnya. Nia menulis:
Di Masjidil Haram Mekkah juga 23 raka’at, tidak ada yang menyalahkan. Beberapa tahun yang lalu ada satu stasiun TV swasta yang selalu menyiarkannya secara langsung (mulainya kira2 jam 12 malam WIB) hingga bisa diikuti pemirsa Indonesia dengan bacaan Al Quran-nya yang merdu dan 1 juz per malam. Bahkan menurut keterangan presenternya, dinihari sekitar jam 2-3, para jama’ah kembali lagi ke Masjid untuk melakukan solat tahajjud bersama. Berarti lebih banyak lagi shalatnya dan raka’atnya. Yang mempercayai 11 raka’at, tinggal berhenti setelah raka’at ke-8, dan melanjutkan dengan witir sendiri. Beres kan? hadi menulis:
buat mas Sutan Mantari:
klo seperti pendapat anda kenapa di bulan Ramadlan disebut solat malam dan di bulan luar ramadhan disebut solat malam..

bukan kah solat malam dan solat taraweh ada perbedaan arti??

sejarah istilah solat taraweh adalah dimulai pada jaman sahabat dgn jumlah 20+3 rakaat. ketika Kanjeng Rasul masih hidup istilah solat taraweh belum ada..

Abdullah menulis:
klo aku boleh komentar, …
aku lebih suka terhadap mereka yang mau konsisten melaksanakan shalat malam (tarawih) disetiap malam ramadhan penuh dengan keimanan dan mencari pahala & ridho-Nya sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah Azza wa-Jall ketimbang mereka yang terus berkutit mempermaslahkan konteks ini tanpa ada faidah sama sekali, … ok ?!. agar supaya kita benar-benar termasuk sebagai orang yang bertaqwa seperti yang disinggung dalam alquran ..
ketahuilah Allah hanya melihat hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, .. MUSLIM menulis:
Khilafiyah ini berkualitas, masing-masing menunjukkan argumentasi dalil hujjah yang kuat (shahih) Insya Allah semoga tidak bemasalah dalam agama, tidak seperti masalah penciptaan yang baru (bid’ah) kadang hujjah yang digunakan tidak matching dengan, terkesan dalil memaksakan/disambungkan untuk memperkuat argumentasinya. Tapi kalau pendapat Umar jamaah tarawih bidah yang baik, itu hanya pernyataan dari sudut etimologi, bukan syariyah. Rasul sering tarawih jamaah, karena takut dijadikan wajib, beliau tidak hadir mengimaminya (lihat Hadis Hasan Thabrani/Fath Al Aziz 4/265) Ini ijtihad beliau karena melihat fenomena jamaah tarawih yang berkelompok-kelompok waktu itu. Akhirnya disatukan jamaah-jamaah itu. Kita ikuti ijtihad (bukan bid’ah hasanah)khulafaturrasyidin. Yang menjadi essensi bukan kita memperkuat pendapat golongan, tapi kebersamaan menikmati suasana ramadhan dengan shalat tarawih jamaah. Bukan gembar-gembor berpendapat tapi tarawihnya bolong-bolong. Lalu bagaimana rajihnya j

MUSLIM menulis:
Lanjutan Khilafiyah berdalil 4 Oleh Muslim

5. Ibn Taimiyah berkata, “boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at (madzhab Malik). Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.” “Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul di Ramadhan dan di luar Ramadhan- maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40. “Barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.”(Majmu’ Al Fatawa, 23/113)

Demikian pendapat para ulama’ tanpa kita memandang madhzab/golongan karena amalan ini bagus dan ber

MUSLIM menulis:
Lanjutan Khilafiyah berdalil 5 Oleh Muslim

Menyangkut perubahan jumlah rakaat,

6. Al Tharthusi berkata “Mungkin Umar pertama kali memerintahkan 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar 200ayat, karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat.Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8-12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj.” Waktu itu imam membaca antara 20-30 ayat. berlangsung hingga yaumul Harrah, maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian (Pertama atas perintah Khalifah Muawiyah 60 H). 36 Rakaat sejak Khalifah Utsman, Lalu Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Lihat Al Hawadits, 143-145)

Abumusa menulis:
Janganlah shalat tarawih dijadikan beban, tapi jadikanlah ia sebagai kegiatan yang sangat menyenangkan sehingga kita enjoy saja melakukannya walau surat yang dibaca panjang-panjang hingga satu juz.

Wallahu a’lam. Gus Nur menulis:
Permasalahan shalat tarawih ini sudah pernah dibahas di halaman lain pada bagian ubudiyyah dalam situs ini juga (lihat arsip).

Sebenarnya artikel yang diangkat pada beberapa kali terakhir ini cukup memberi pencerahan dan tidak menimbulkan perdebatan.

Sekedar usul untuk redaksi, permasalahan ‘ubudiyyah tentu tidak hanya meliputi masalah itu-itu saja yang bisa menjadi pemicu perdebatan, apalagi diangkat secara berulang-ulang.

Masih banyak urusan ibadah yang lebih sejuk dan mencerahkan bagi umat.

Ini hanya sekedar usul, terima kasih. Redaksi NU Online menulis:
Pembaca Yth.
Tujuan utama rubrik Ubudiyah adalah menjelaskan atau “mengingatkan kembali” umat Islam tentang dasar hukum amaliyah keagamaan yang berkembang di Nusantara yang oleh sementara kalangan dianggap bid’ah, sesat bahkan musyrik. Beberapa ibadah yang kami anggap penting kita ulang pembahasannya pada momen tertentu, dan tentunya dari perpektiif yang agak berbeda.
Namun kami juga masih membuka pertanyaan atau tanggapan pembaca untuk memperdalam materi atau meluaskan pembahasan, sebatas disampaikan dengan kalimat yang baik.
Materi Ubudiyah lainnya akan kami sampaikan secara bertahap. Dan kami mohon maaf kepada pembaca jika misalnya memuat sesuatu yang sifatnya sangat dasar misalnya doa berbuka puasa yang sudah banyak diketahui, karena pembaca NU Online adalah dari kalangan yang beragam.
Terimakasih atas semua saran dan partisipasinya.
Wassalam
Redaksi NU Online Inggrid Dewata menulis:
Beberapa masalah klasik yang terus muncul saat ramadhan dan sesudahnya tiba: 1. ru’yah dan hisab. 2. jumlah bilangan teraweh. 3 qunut di witir separo ramadhan. 4. hala bihalal 5. dll.
mungkin yang lain bisa menambahkan…… MUSLIM menulis:
Kalau ubudiyah yang dikaji NU Online selalu direspon dengan controversial, sunnah/bid’ah/syirik. Menunjukkan tujuannya hanya mencari legitimasi bahwa ibadah yang selama ini diamalkan benar, dengan menujukkan dalil dan argumentasinya. Pada bab diatas, pembahasan hanya pada satu sisi madzhab tidak terbuka dengan ulama lainnya. justru umat akan terpasung/tidak ada pencerahan atau takut kalau mereka lari dari golongannya. Contoh dalam kajian ini saya kirimkan beberapa pendapat dari berbagai ulama semua mazhab dan para salaf, yang diterbitkan hanya yang mendukung pendapanya saja, pendapat lainya di edit pihak admin yang terkesan corrupt tidak transparan dan tidak obyektif. Bagaimana Islam akan maju. Maaf ini kritisi konstuktif untuk kemajuan bersama.

ntoes menulis:
to muslim :
kalo 1 tema dibahas semua dengan persfektif madzhab dan pendapat yg berbeda namanya ngaji mas, bkn artikel seperti yg tedapat dalm kolom ubudiyah ini. kalo mau ngaji sampeyan sm sy aja, bawa kitab-kitab andalan sampeyan, kita ngaji bareng-bareng, mau sampeyan ato sy yg baca silahkan pilih, kita berdiskusi tanpa saling menyalahkan semata-mata ingin mencari dalih yg lbh rajih

silahkan hubungi saya di ntoes_wilnon@yahoo.com MUSLIM menulis:

“Adapun hadits yg diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah,Nabi pernah shalat (malam) dibulan Ramadhan 20 raka’at dan beriwitir satu raka’at itu,sanadnya lemah”(Ibnu Hajar,FathulBaari IV).Perawi Abu Syaibah Ibrahim Bin ’Utsman sbg Matrukul Hadits/ditinggalkan (Dlm At-Taqriib). rawi ini Syadidud-dha’fi/sangat lemah/Maudhu (Dlm Al-Fatawal Kubra I) Dan Bukhari berkata ia Sakatu’anhu (Ulama Hadits mendiamkannya)Indikasi hadits bertentangan dg hadits ‘Aisyah dlm shahihain. ‘Aisyah-lah lbh mengetahui hal ihwal Nabi pd malam harinya, Nabi SAW tidak pernah mengerjakan lebih dari 11 raka’at, kebiasaan beliau bila mengerjakan sesuatu amalan, dikerjakan dg tetap.

Imam Suyuthi, berkata:”Singkatnya 20 raka’at itu, tidak pernah dikerjakan Nabi.Dan hadis riwayat Ibnu Hibban sesuai dg hadits ‘Aisyah, bahwa beliau tidak pernah mengerjakan lebih dari 11 raka’at, baik Ramadhan/lainnya, sebab dlm riwayat Ibnu Hibban tsb diterangkan bahwa beliau shalat Tarawih 8 raka’at.Berwitir 3, jmlnya 11 raka’at.

Abumusa menulis:
Kebanyakan kaum Muslim di Indonesia kurang menyukai shalat tarawih sehingga mereka melakukannya dengan terpaksa dan ingin cepat-cepat selesai.

Namun ada sebagian kecil manusia yang menyukai bahkan menikmati shalat tarawih sehingga betah berlama-lama dalam shalat tarawih.

Wallahu a’lam. azvel menulis:
masalahnya bukan 20 atau 8, tapi ada dari sodara2 kita di suatu ponpes di kab. M yang shalat tarawihnya kencang sekali, amm…..puuunnn. bayangin isya’ + tarawih hanya sekitar 12 menit. sekali lagi tuh bayangin!!!! hadi menulis:
to mas muslim:
napa anda berpendapat terlalu memaksakan bahwa ijtihad khalifah Umar bukan disebut bidah hasanah??

memang itu ijtihad sahabat di zaman khal Umar tapi khal Umar jelas menyatakan bidah hasanah..

Klo mengikuti pendapat anda untuk menyampaikan pendapat semua mazhab semua ulama JELAS banyak ulama mazhab yg menyatakan bahwa bidah digolongkan jd 2 : hasanah dan dholalah..

apakah anda akan menyangkal??
mahmud rifai n menulis:
to Muslim,saya kira dgn logika awam tentu kita sudah bs langsung menganalisa,ketika Umar RA memerintahkan utk mjdkan satu jama’ah tarawih 23 rokaat kpd seluruh sahabat(termsuk UstmanRA,Ali KW yg mjd pintu ilmunya Rosul dan jg penghujung para wali disamping keutamaan yang lain jg masih banyak)mereka semua sutuju dan tidak ad yg menolak termasuk Aisyah RA yg meriwayatkan hadis bahwasannya Rosululloh SAW “melakukan sholat malam baik romadhon ato bukan 11 rokaat” dia jg tdk kok menolak dgn perintah Umar dgn mengajukan dalil yg diriwayatkannya sendiri.Dr sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’n,Imam Bukhori & Muslim,sampai skrang pd kita telah mashur bahwasannya jumlah rokaat tarweh itu 23 rokaat.kecuali “mazhabnya muhamadiyah dan pengikutnya”.tp yg jls itu cuma Sunah,lebih banyak rokaatnya tentunta lbh baik&berjama’ah tentunya akan lbh afdhol.Itu kalo sampeyan mau memahami dan mengerti dgn arif dan sabar.alangkah baiknya anda mengaji di pondok dan bertanya lgsng dng penuh tumo’ninah kpd pak Kiyai.

Sumber:
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=14047